Tampilkan postingan dengan label kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kehidupan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Juni 2016

Manusia Dewasa



Dia yang berdiri tetapi tidak meninggi
Dia yang merendah tetapi tidak hina
Dia yang terbuka bukan karena bodoh
Karena dia berjalan bukan sekedar jalan


Berawal dari satu pertanyaan konyol yakni perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa. HIngga saat ini aku melihat belum seorangpun anak-anak yang mampu merefleksikan kesehariannya, sesuatu yang dihadapinya, kehidupannya. Anak kecil selalu melihat apa yang terjadi dengan mata kepalanya. Semisal ia dimarahi ibunya, maka ia akan mengatakan ibunya pemarah. Kedepannya ia akan mendekati orang-orang yang tidak pernah marah. Akan menyebut ayahnya sebagai orang jahat ketika dibentak oleh ayahnya. Segala sesuatu perlu dihidangkan, disuap.

Sedang manusia dewasa seharusnya mampu sebaliknya. Mampu bercermin ke diri sendiri ketika terjadi sesuatu atau apapun yang dilihatnya terlebih yang menimpanya. Mampu melihat jauh ke dalam diri sendiri ketika mendapat amarah dari ibunya, ayahnya, lingkungan sekitarnya. Mampu melihat hal positif sekalipun hal buruk terjadi. Karena sesungguhnya seorang dewasa memiliki kemampuan untuk merefleksikan diri dari setiap kejadian yang ada disekitarnya.

Seorang dewasa tidak berdiri di atas tangga benar dan salah apalagi surga dan neraka, sesungguhnya tidak. Seorang dewasa tidak peduli arti kata, tidak lagi memerhatikan ketenaran, pujian, atau bahkan cacian. Ibarat pengembara, sekali dua kali ia mencari tahu arti dari kata berkelana. Mencari peta atau petunjuk menuju suatu desa, sebut saja desa “A”. Selanjutnya, esok hari jika ingin berkunjung ke desa tersebut, dia hanya akan berpikir, fokus, bagaimana perjalanannya berarti bagi setiap makhluk yang ada di sekitarnya dan mengabaikan arti kata berkelana sebab sesungguhnya dialah pengelana.

Bagi manusia dewasa pengalaman adalah ajaran. Mereka memahami bahwa nasehat berguna sebagai pelita bagi kakinya dan terang bagi jalannya. Mencoba bukan untuk bermain-main melainkan untuk mengetahui. Selalu berlatih karena sadar dengan melatih mampu menanam nilai yang ingin dimiliki. Selalu melakukan kini di sini bukan nanti di sana.

Terakhir, seharusnya seseorang yang mengaku dewasa mampu merefleksikan diri yakni melihat dan memaknai sesuatu hingga ke bagian terdalam dari suatu peristiwa, bukan hanya sejauh kemampuan mata.

@ricolg

Kamis, 21 April 2016

Untunglah Bernafas Masih Gratis



“Jakartaaaaaaaa...”

“Ah... Betapa malunya membuat suatu tulisan yang menceritakan ketidakmampuan kita sendiri. Sangat tidak elegan ketika aku mengutuk kegelapan, bukannya menyalakan lilin. Akan tetapi semua ini realita dan bukan andai-mengandai, kawan. Iya, ini fakta tentang kota besar itu.”


Hari ini adalah hari ke dua aku di kota ini. Bangun lebih siang karena pertemuan lebih siang, yakni jam sepuluh pagi. Berani lebih siang karena berangkatpun sudah direncanakan menggunakan motor. Namun tetap saja, tiga jam atau setidaknya dua jam sebelumnya sudah harus berangkat. Benar saja, hari ini aku berangkat jam delapan lebih sedikit.

Aku tidak ingin bercerita tentang kemacetan, keributan, panasnya Jakarta, tentang wanita malamnya lagi. Aku hanya ingin teriak kalau di kota itu semuanya serba mahal. Untuk makan, sekali makan, dengan menu sederhana aku harus mengeluarkan setidaknya lima belas ribu rupiah, makan siang di hari pertama. Oh tidak.

Iya, akupun menyadari memang tak pantas hal ini diangkat menjadi sebuah tulisan. Karena bisa saja pembaca menyalahkanku. “Salah sendiri main di Jakarta. Kalau tidak sanggup mengapa harus di Jakarta. Iri tanda tak mampu.” Dan lain circaan bisa terungkap dari pembaca. Tapi aku tidak peduli, barangkali masih ada yang akan memberi tanggapan, “Iya juga ya...” atas tulisan ini, dan aku lebih suka dengan mereka.

Sehabis pertemuan pagi itu aku menemani teman bertemu dengan temannya. Kali ini bertemu di tempat yang mewah, selevel mall. Kusadari ini bukan tempatku tapi tidak ada salahnya mencoba hal-hal baru. Dan sampailah pada tahap pemilihan menu yang akan dipesan, aku memilih “matcha xyz”. Ouw, kupilih menu itu karena harga tiap menunya tidak berbeda jauh, namun ukuran yang kupilih lebih besar, akhirnya itulah menjadi santapan siang itu.

Wah, rasanya nikmat sekali senikmat harganya. Aku mencoba menikmati rasanya tiap sedotan sembari mengingat-ingat harganya, jujur nikmatnya tiga kali lipat. Kalau tidak percaya, silahkan dibuktikan sendiri. 
Namun, dilain cerita, sempat terpikir, setelah minuman itu habis, “aku tidak akan makan siang, kenyang.” Padahal bukan kenyang karena perut sudah penuh, melainkan menghitung-hitung pengeluaran selama dua hari di kota itu.

Baiklah, perjalanan itupun berakhir dan segera menuju travel ke arah bandung. Aku dan teman mendapat keberangkatan jam 5 sore. Tentu saja, melihat jam segitu, dan memperhitungkan waktu tiba di bandung, waktunya makan sebelum berangkat.

Aku memilih makan dengan menu ayam saja. Aku tidak melihat harganya, karena lama-kelamaan bisa pusing sendiri, hehe. Dan tibalah tahap membayar.

“Ayam doang kan Co, 14.000,” kata temanku.

Oke, kuberikan seperti yang tertera di menunya. Tentu saja aku curiga, karena baru kali ini menemukan menu ayam dengan harga seperti itu, di kota ini. Dan tak lama, kulihat dia kebingungan di depan kasir.

“Jadi itu baru harga ayamnya, untuk nasinya 4 ribu, mas,” kata kasir itu kudengar dari kejauhan.

Kudekati temanku, lalu kuselipkan lima ribu dan kami keluar menuju ruang tunggu travel. Haha
Yah, selesailah perjalanan hari itu, dengan beberapa pengalaman harga makanan dan minuman di kota besar yang sangat dikejar-kejar orang, kecuali aku, sebagai tempat mencari kerja.

Jakarta, 19 April 2016
Rico Ricardo Lumban Gaol

Kota Pembunuh



“Hahaha... Akhirnya aku harus melepaskan penatku dengan penat yang lebih mendalam. Menulis! Tunggu, beri aku semenit saja untuk melepaskan sepatu dan menghirup satu tarikan nafas yang cukup dalam. Oke aku, Siap!”

Tak pernah terpikirkan olehku untuk menginjakkan kaki demi mencari sesuap nasi di kota besar ini. Rasanya lebih baik bagiku tinggal di tempat yang masih banyak suara jangkrik dan nyanyian merdu burung-burung di pohon kala aku butuh teman. Bukan! Bukan aku tak ingin hidup berdampingan dengan manusia.

Hari ini ialah langkah awal aku membuktikan kalau tekadku untuk tidak berperang demi bagian tubuhku yang hanya sejengkal ini dimulai. Iya, setidaknya setahun kedepan aku akan tinggal di kota para bos besar ini tapi bukan untuk urusan perut, melainkan panggilan untuk mengambil bagian mengisi cawan kotor dengan setetes demi setetes air bersih-bening, semoga bisa.

Hmmm sebenarnya agak kikuk ketika berbicara tentang kota besar kalau aku tak menyebut namanya, tapi okelah sebut saja namanya Jakarta, setidaknya begitu kata orang-orang menyebut nama tempat itu.

Agak tidak sopan juga aku menghindari untuk hidup di kota ini tanpa alasan yang jelas. Baiklah! Pertama aku bukanlah orang yang terlalu suka dengan keramaian dan ketidaksabaran yang menggebu-gebu. Klakson di mana-mana tanpa kenal waktu padahal bisa saja saat itu masih lampu merah. Serobot sana-sini, yang diserobot mobil besar yang berada di jalurnya, sebut saja transJakarta, yang menyerobot kendaraan yang sudah pasti bukan jalurnya.

Oh iya, salah satu yang paling kutakutin juga untuk tinggal di kota ini adalah aku takut tua di jalan, haha. Semua orang sudah tahu betapa nyatanya kemacetan di kota ini. Salah satu siasat orang-orang ialah dengan mengorbankan tidurnya dengan bangun lebih awal, mungkin jam setengah lima atau jam lima. Yah mungkin paling siang jam setengah enam atau semalas-malasnya jam enam. Aku sendiri jam setengah lima sudah bangun, tadi pagi. Bukan menunjukkan selama ini aku ingin tidur lebih lama dan bangun lebih siang. Yang pasti bukanlah keinginanku bangun lebih awal dan pulang lebih malam, mungkin jam 8 atau 9 malam, demi menghindari kemacatan akibat kepadatan kota. Ah masih banyak fakta yang membuatku tidak nyaman di tempat ini.

Baru saja, ketika tulisan ini kutulis di kepalaku, bukan di jidatku, aku pulang dari daerah Jakarta Selatan menuju Jakarta Timur. Ada banyak yang ingin kutuliskan hanya dengan melihat 2 jam kondisi malam kota ini. Namun, satu yang tak mungkin tak ingin kutulis yaitu tentang wanita bergincu di pinggiran jalan.

Hehe, ingin sesekali berbicara dengan mereka, tapi ingin juga tidak. Tapi aku penasaran, apa yang ada di benak mereka ketika mereka pertama kali mengoleskan gincu ke bibir mereka lalu mengatur gaya mereka. 
Tapi aku juga tidak ingin turun dari mobil tumpanganku, sebutlah metro mini, memang begitu adanya, lalu disebut sebagai pahlawan kost-kostan. Tapi memang aku tertarik setidaknya untuk menghargai mereka bukan penghinaan kepada pekerjaan mereka, setidaknya makan bersama di amperan sembari bercerita sana-sini tentang kota yang menuntut mereka bermain mata.

Sekali lagi, aku juga tak ingin menjadi malaikat yang turun dari bajaj lalu menghukum dengan tidak jelas. Aku hanya ingin mendengar dan belajar dari perspektif pekerja “bebas” seperti mereka. Ah tapi itu masih jauh dari keberanianku, mungkin nanti atau tahun depan. Aku butuh udara segar agar bisa berbicara lebih tidak kaku dengan mereka nantinya.

Oke, cukup sampai di sini dulu, ingat. Pembaca tak perlu ikut berpusing-pusing. Ini pergumulanku yang sekarang belum punya atau tidak punya tempat mencurahkan isi hati daripada dipendam menjadi bisul. Kalau bisa, biarkan ini menjadi rahasia diantara kita. Tidak perlu diumbar, tapi untuk didiskusikan, mari kita diskusikan di wadah ini. Terutama mengapa judulnya begitu sadis, padahal tidak ada yang dibunuh di dalam ceritanya, tampaknya sih begitu, maka perlu kita menyamakan persepsi kita, hehe. Sekian terima kasih.

Jakarta, 18 April 2016.
Rico Ricardo Lumban Gaol

Kearifan Lokal



Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol

Masih kuingat hari itu hari Selasa. Aku duduk dan berlayar menjelajahi sungai terlebar yang pernah kulihat selain sungai di daerahku, dan sungai terpanjang yang pernah kuarungi dengan perahu mesin  sepanjang umurku. Lamunan demi lamunan terlahir di benakku hingga dewasa menjadi sebuah tuisan. Berharap pula tulisan ini bisa lahir di dalam hati dan pikiran para pembaca sehingga tidak terbenam dalam anganku saja.


Kearifan lokal di dalam perahu


Sangatlah terlalu dini bagiku berbicara tentang kearifan lokal sedang aku baru saja belajar tentang itu. Sebuah teori yang nyata di depan mata yakni kebijakan yang bijaksana menyentuh hati menampar pipi. Hmmm baru saja perahu berangkat sekitar 10 menit, aku sudah penuh pertanyaan yang sama dengan perilaku pengendali perahu.

“Mengapa si pengendali perahu ini mematikan mesinnya ketika akan berhadapan atau melewati perahu dayung atau bahkan ketinting?” menjadi pertanyaan yang membuatku mendapat pelajaran berharga mengenai arifnya kebijakan lokal. Oh iya, ketinting itu perahu kecil dengan bantuan mesin tetapi bukan mesin speed.

Aku tidak langsung terburu-buru mencari jawabannya. Masih kusimpan rapat-rapat di dalam pikiranku meski sudah tergambar dalam keburaman. Akupun tak lekas ke belakang atau teriak bertanya kepada pengendali perahu itu. Dengan senyuman, kubentangkan tanganku, keduanya, hingga membentuk sudut 180 derajat. Kalau pembaca pernah menonton film yang berjudul “Titanic”, nah seperti itulah kira-kira. Hanya saja posisiku duduk dan sendiri. Seandainya persis seperti film itu kurasa tak sempat aku belajar dari alam yang kulewati.

Kemudian setelah beberapa kali kejadian yang sama terulang. Akupun dengan yakin menyimpulkan bahwa itu adalah tanda toleransi kepada sesama yang berada di atas air. Menghormati sesama dan menjaga perasaan yang lebih kecil. Sengaja dilakukan untuk menghindari guncangan dari ombak yang terbentuk karena perahu besar kea rah perahu kecil. Ya, dengan mematikan mesinnya hingga melewati perahu kecil itu.

Terhanyut aku dalam lamunan siang itu. Aku berandai sekiranya para pengendali Negara ini punya prinsip seperti itu betapa bahagianya kaum yang tergolong kecil. Tidak sekedar duduk menonton di atas kursi empuk sambil tertawa di atas penderitaan warganya. Hmmm tapi sayang, lamunan itu terhenti seiring berhentinya perahu kami.

Dipemberhentian ini aku bertanya-tanya kembali.Kebingungan meningkat sangat cepat ditambah emosi karena mengingat waktu yang akan semakin sore. Karena apa? Ternyata perahu berhenti karena ada salah satu penumpang ingin mengunjungi keluarganya terlebih dahulu. Dan memang pernah kudengar bahwa tradisi di sini ialah mengunjungi rumah keluarganya apabila mereka melewati kawasan rumah keluarga mereka.

Hmmm sepengetahuanku dan sepenglihatanku bentuk pemukiman di daerah ini masih mengikuti arah sungai. Pemukiman hanya ada di sekitaran sungai itu. Jadi desa di hulu dan di hilir hanya bisa dilalui dengan jalur air. Nah melalu teori “mumpung” biasanya mereka berkunjung ke keluarga mereka.

Dengan melihat kejadian itu secara langsung, emosi menghilang dan rasa senang menghampiri, aku bisa belajar tentang sejarah Indonesia yang masih hidup hingga kini. Dahulu sewaktu kecil aku dicekokin cerita yang namanya kehidupan nomaden, system berburu dan nelayan, bahkan system barter. Memang semuanya sudah tidak seutuh yang dahulu. Namun, ruh dari cara hidup itu masih kental terasa. Apalagi oleh orang-orang yang baru datang ke tempat seperti itu.

Lagi-lagi aku terhanyut dalam cerita-cerita di kepalaku. Lamunan yang kian semakin dalam. Berandai orang-orang di perkotaan sesekali mengunjungi tempat-tempat yang seperti ini agar bisa belajar kearifan lokal bangsa ini. Agar tidak lupa bahwa sesungguhnya Indonesia terbentuk karena asas kekeluargaan dan kesamaan penderitaan, bukan yang lain.

Tidak lama kami melanjutkan perjalanan setelah kembalinya penumpang yang tadi naik mengunjungi keluarganya. Kupandangi terus kiri dan kanan sungai yang menjadi basis jalan. Tak jarang memang aku terjatuh dalam kantuk karena kelelahan apalagi pantat yang memanas karena berjam di atas perahu kayu dengan kondisi air yang deras mengalir berlawanan arah dengan perahu.

Ahhh, betapa bahagianya aku saat itu. Ingin rasanya kembali lagi mengarungi tempat yang memberiku arti hidup dan bagaimana cara menghidupi hidup, sederhana dan mengerti satu sama lain; mengerti kebutuhan sesama dan penderitaan sesama.

Perjalanan ke Sumentobol, 15 Maret 2015

Kamis, 07 April 2016

Dua Jalan Satu Tujuan



Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol

“Mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi orang-orang hanya  bisa diam tanpa mengambil tindakan,” teriak salah seorang anak dari desa Penutur, tak jauh dari Sumatra. “Aku si Koko yang berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua jurang kehidupan namun terlihat hanya berujung pada satu arah.”

...

(Tok-tok... Tok-tok... Tok-tok) “Nak. Bangun, Nak. Matahari sudah di atas, berapa lama lagi ibu menunggu?” panggil ibunya sambil menyiapkan peralatan berkebun.

“Iya, Bu. Koko sudah bangun dari subuh tadi,” jawabnya sambil melompat dari kasurnya dan keluar dari kamarnya.

Ayo, Bu. Kita berangkat.

(Di tengah jalan dalam keheningan) “Bu, Koko mau nanya, apa yang membedakan antara bebatuan ini dan kita?” tanya Koko saat perjalanan menuju perkebunan. “Kita tinggal di tempat yang sama dan tidak jauh pula jaraknya.”

“Ketika kamu ingin makan, kamu makan. Ketika kamu ingin tidur, kamu tidur. Ketika kamu ingin teriak, menangis, tertawa? Kamu bisa teriak, menangis, dan tertawa sesukamu,” jawab ibunya. “Batu itu tidak akan berpindah jika tidak ada yang memindahkannya. Tidak seperti kita. Batu itu tidak merasakan apa yang pernah kita rasakan.”

“Kalau begitu Koko bisa pergi kemana saja Koko mau, Bu? Begitu,” celetuk Koko.

“Kamu mau pergi kemana hmmm, Koko? Ayah kamu sudah tua, begitu juga Ibu. Siapa yang akan menemani kami di sini? Tapi itu hak kamu, ibu tidak melarang. Terkadang agar kita mengerti hidup, kita harus pergi jauh, bahkan meninggalkan orang terkasih sekalipun. Tapi kelak, jika kamu merindukan kasih setia, pulanglah, Nak. Pulanglah ke rumah kita, di sini kamu akan mengerti arti kasih, arti dari pentingnya keluarga, arti cinta yang sempurna meski sederhana” tutur ibunya terlihat sambil meneteskan air mata, sebenarnya berat untuk melepaskan anaknya.

“Ibu, lihatlah! Di bawah sana ada dua jurang dan di ujung atas keduanya terlihat samar-samar. Seakan dari awal hanya ada satu jurang. Ibu, ibu pasti tahu Koko. Koko mengumpamakan itu sebagai dua jalan dan satu tujuan. Koko di sini itu untuk Ayah dan Ibu, begitu juga jika Koko pergi, itu juga untuk Ayah dan Ibu. Cintaku pada ibu dan ayah,” jelas Koko sambil menunjuk ke arah jurang dan kadang berbalik menuju ibunya.

“Ada banyak bentuk kasih yang sudah Ibu beri dan Ayah ajarkan, itu akan menjadi senjata utama Koko di tanah rantau. Percayalah, Koko tidak akan mengecewakan kalian. Tidak akan lupa tangan Koko tuk menghapus air mata Ibu. Takkan mungkin beralih mata ini dari tempat tidur Ayah,” jelasnya. “Sampai batu ini berpindahpun, Koko tidak akan meninggalkan kalian. Koko tahu jalan pulang. Koko tahu siapa yang Koko tuju.”

“Baiklah, Nak. Ibu melihat ketulusanmu untuk merantau. Dari air matamu ibu lihat kamu akan kembali sebelum kita berpisah untuk selamanya,” dukung ibunya. “Ingat ya, Nak. Kelak kamu harus seperti ayahmu. Berakit hingga ketepian, berlari hingga ke puncak, dan menyebrangi berbagai tantangan untuk melanjutkan hidupnya. Kelak juga kamu kan temukan seorang wanita yang bersedia menemanimu dalam bangun dan tidurmu dalam sakitmu sekalipun.Dulu  Ayahmu menarik perhatian ibu bukan dari parasnya. Tapi dari kesederhanaannya. Tutur katanya yang tidak meninggi. Melakukan yang terbaik untuk ibu. Berubah haluan menjadi teladan baik bagi sekitarnya, setidaknya untuk ibu. Dan yang terpasti ayahmu selalu ada untuk Ibu, semampu dia. Dia temani ibu dengan penuh kesabaran, dia ajari ibu dengan penuh kasih sayang. Cuma yang ibu takutkan, kamu juga sama seperti ayahmu, yang hanya bisa menunjukkan kasih sayangnya, namun sukar untuk mengungkapkannya.”

“Nak... Kalau tiba saatnya kamu jatuh hati, pilihlah wadah yang pasti bisa menampung benih kasihmu. Yang pasti bisa tumbuh dan berbuah. Yang selalu menatap kedepan dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran berharga,” pesan ibunya sambil mengelus kepala Koko.

“ Memangnya seperti apa hati yang tidak bisa ditanami benih kasih, Bu?” tanya Koko.

 “Ada banyak hati yang sukar ditanami kasih. Salah satunya hati yang sudah tawar, terutama tawar yang dikarenakan bekas kasih yang dulu pernah tumbuh, namun kasih itu pergi dengan alasan tertentu. Wadahnya menjadi tawar dan sukar untuk ditanami,” terang ibunya sambil duduk dan meneguk secangkir air.
Dalam suasana penuh keringat, si Koko dan ibunya tetap bekerja meski terkadang berhenti karena harus bertanya ataupun menjawab pertanyaan.

“Bu, kalau begitu masih ada peluang kan? Ibarat tanah yang di belakang rumah. Dulunya tanah merah. Yang di samping ada dulunya tandus. Tapi setelah kita rawat, kita perhatikan, kita jaga, akhirnya bisa kita tanami berbagai jenis bibit. Bukan begitu bu?” tanya Koko lagi sembari menjelaskan pandangannya.

“Kamu benar nak. Namun hati tidak seutuhnya seperti tanah. Tanah yang tandus bisa kita pupuk lalu menjadi subur. Tanah berpasir dan bebatuan juga begitu. Setelah kita rawat, mereka seutuhnya menjadi subur,” jawab ibunya dengan singkat lalu pergi meninggalkan Koko untuk sejenak berisitirahat, makan.

“Hati bagaimana, Bu?” tanya Koko penasaran.

“Sini, istirahat dulu, kita sambil makan saja. Sepertinya kamu serius untuk menanggapinya,” pecah ibunya. “ Jadi Hati memang bisa kita rawat, dan memang lebih mudah kembali subur, tapi sewaktu-waktu jika ia menemukan benih yang dulu pernah tumbuh, kamu bisa tersakiti. Sesungguhnya hati tidak akan pernah bersih dari masa lalunya,” ringkas ibunya.

“Tanpa terkecuali, Bu?” Tanya Koko dengan penuh kebingungan.

“ Hmmm... Dulu ibu pernah menaruh kasih kepada seorang pria. Dia baik. Cukup perhatian dengan ibu. Kita menjalin kasih diwaktu yang tidak bisa dibilang singkat. Namun, karena alasan tertentu, kita pisah. Ibumu ini hampir tidak bisa melupakannya. Pernah beberapa pria lain mendekati ibu. Ibu tetap tak bisa melupakannya. Sampai akhirnya ayahmu hadir di kehidupan ibu. Ayahmu dengan penampilan yang memang ciri khasnya. Dia mendekati ibu dengan caranya. Dia sangat sabar. Perhatian, dan rela memberikan waktunya untuk ibu,” Jawab ibunya.

“Bahkan ibu sudah melupakannya hingga saat ini, meski dulu sempat lagi berpapasan di transportasi umum yang sama,” tambah ibunya. “Ibu jadi merasa lucu mengingatnya. Mungkin inilah maksud dari pengalaman itu, agar ibu bisa bercerita ke kamu nak.”

“Hmmm... Ibu percaya, tak jauh buah jatuh dari pohonnya. Ayahmu punya cara tersendiri dan ternyata itulah cara terbaik saat itu untuk keadaan ibu. Begitu juga kelak kamu. Apalagi dengan kondisi saat ini. Tak ada lagi hati yang belum pernah ditanami. Hampir semua pernah ditumbuhi benih kasih. Saatnya kamu nak. Kamu jangan mau kalah sama ayahmu,” harap ibunya.

Lalu si Koko sedikit merenungkan apa maksud dari ibunya berkata demikian. Hingga dia berjalan dan kembali lagi, dan berjalan lagi ke tempat yang lebih jauh. Kembali lagi.

“Jadi apa yang harus Koko lakukan Bu misalnya hal itu terjadi pada Koko?”

“Kuncinya hanya ada satu, yakni kesabaran. Dari kesabaran akan tumbuh rasa kasih sayang yang bisa mengalahkan semua benih yang dahulu pernah tumbuh. Teruslah mengasihi meski kasih itu terkadang menyakitimu,” pungkas ibunya.

Terlihat cuaca sudah semakin mendung. Matahari sudah tidak ada. Merekapun bergegas dan segera pulang sebelum turun hujan. Lalu beberapa saat sebelum mereka pulang, ayahnya tiba-tiba datang menghampiri mereka.

“Ketika kamu cinta, kamu tak mengenal waktu. Kamu selalu ingin bersama. Tapi ingat, kamu punya cita-cita, kamu tetap harus meraihnya. Wanita baik ialah wanita yang mendukung yang dikasihinya untuk menatap masa depan dan kesuksesan yang ingin diraihnya. Seperti ibu kamu terhadap ayah. Iya kan, Bu?” jelas papanya sembari mengenang  kembali memori yang sudah lama ia tinggalkan.

“Ayah baru membaca buku kamu, ada sebuah tulisan singkat mengenai cita dan harapanmu. Ayah sangat setuju. Kamu katakan bahwa untuk mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi orang-orang hanya  bisa diam tanpa mengambil tindakan. Kamu berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua jurang kehidupan namun terlihat hanya berujung pada satu arah. Kamu katakan itu sebagai ‘dua jalan satu tujuan’, ayah setuju. Itu artinya kamu sudah mengerti arti hidupmu. Kamu disini itu untuk cintamu, kamu pergipun juga untuk cintamu. Raihlah impianmu. Ketika kamu takut, seketika itu lipatlah tanganmu, tunduklah, dan katakan apa yang kamu takutkan. Akan ada jawaban untuk segalanya,” tutup ayahnya.

Keesokannya, Koko berangkat merantau dan mengikuti arah jurang yang selalu ia lihat setiap kali bangun pagi. Dan bahkan menjadi pembuka mimpi-mimpinya. 

Bintan, 12 Desember 2014