Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol
Masih kuingat hari itu hari Selasa. Aku duduk dan berlayar
menjelajahi sungai terlebar yang pernah kulihat selain sungai di daerahku, dan
sungai terpanjang yang pernah kuarungi dengan perahu mesin sepanjang umurku. Lamunan demi lamunan terlahir
di benakku hingga dewasa menjadi sebuah tuisan. Berharap pula tulisan ini bisa
lahir di dalam hati dan pikiran para pembaca sehingga tidak terbenam dalam
anganku saja.
Kearifan lokal di dalam perahu
Sangatlah terlalu dini bagiku berbicara tentang kearifan lokal
sedang aku baru saja belajar tentang itu. Sebuah teori yang nyata di depan mata
yakni kebijakan yang bijaksana menyentuh hati menampar pipi. Hmmm baru saja
perahu berangkat sekitar 10 menit, aku sudah penuh pertanyaan yang sama dengan
perilaku pengendali perahu.
“Mengapa si pengendali perahu ini mematikan mesinnya ketika
akan berhadapan atau melewati perahu dayung atau bahkan ketinting?” menjadi
pertanyaan yang membuatku mendapat pelajaran berharga mengenai arifnya
kebijakan lokal. Oh iya, ketinting itu perahu kecil dengan bantuan mesin tetapi
bukan mesin speed.
Aku tidak langsung terburu-buru mencari jawabannya. Masih
kusimpan rapat-rapat di dalam pikiranku meski sudah tergambar dalam keburaman.
Akupun tak lekas ke belakang atau teriak bertanya kepada pengendali perahu itu.
Dengan senyuman, kubentangkan tanganku, keduanya, hingga membentuk sudut 180
derajat. Kalau pembaca pernah menonton film yang berjudul “Titanic”, nah
seperti itulah kira-kira. Hanya saja posisiku duduk dan sendiri. Seandainya
persis seperti film itu kurasa tak sempat aku belajar dari alam yang kulewati.
Kemudian setelah beberapa kali kejadian yang sama terulang.
Akupun dengan yakin menyimpulkan bahwa itu adalah tanda toleransi kepada sesama
yang berada di atas air. Menghormati sesama dan menjaga perasaan yang lebih
kecil. Sengaja dilakukan untuk menghindari guncangan dari ombak yang terbentuk
karena perahu besar kea rah perahu kecil. Ya, dengan mematikan mesinnya hingga
melewati perahu kecil itu.
Terhanyut aku dalam lamunan siang itu. Aku berandai
sekiranya para pengendali Negara ini punya prinsip seperti itu betapa
bahagianya kaum yang tergolong kecil. Tidak sekedar duduk menonton di atas
kursi empuk sambil tertawa di atas penderitaan warganya. Hmmm tapi sayang,
lamunan itu terhenti seiring berhentinya perahu kami.
Dipemberhentian ini aku bertanya-tanya kembali.Kebingungan
meningkat sangat cepat ditambah emosi karena mengingat waktu yang akan semakin
sore. Karena apa? Ternyata perahu berhenti karena ada salah satu penumpang ingin
mengunjungi keluarganya terlebih dahulu. Dan memang pernah kudengar bahwa
tradisi di sini ialah mengunjungi rumah keluarganya apabila mereka melewati
kawasan rumah keluarga mereka.
Hmmm sepengetahuanku dan sepenglihatanku bentuk pemukiman di
daerah ini masih mengikuti arah sungai. Pemukiman hanya ada di sekitaran sungai
itu. Jadi desa di hulu dan di hilir hanya bisa dilalui dengan jalur air. Nah
melalu teori “mumpung” biasanya mereka berkunjung ke keluarga mereka.
Dengan melihat kejadian itu secara langsung, emosi
menghilang dan rasa senang menghampiri, aku bisa belajar tentang sejarah
Indonesia yang masih hidup hingga kini. Dahulu sewaktu kecil aku dicekokin
cerita yang namanya kehidupan nomaden, system berburu dan nelayan, bahkan
system barter. Memang semuanya sudah tidak seutuh yang dahulu. Namun, ruh dari
cara hidup itu masih kental terasa. Apalagi oleh orang-orang yang baru datang
ke tempat seperti itu.
Lagi-lagi aku terhanyut dalam cerita-cerita di kepalaku.
Lamunan yang kian semakin dalam. Berandai orang-orang di perkotaan sesekali
mengunjungi tempat-tempat yang seperti ini agar bisa belajar kearifan lokal
bangsa ini. Agar tidak lupa bahwa sesungguhnya Indonesia terbentuk karena asas
kekeluargaan dan kesamaan penderitaan, bukan yang lain.
Tidak lama kami melanjutkan perjalanan setelah kembalinya
penumpang yang tadi naik mengunjungi keluarganya. Kupandangi terus kiri dan
kanan sungai yang menjadi basis jalan. Tak jarang memang aku terjatuh dalam
kantuk karena kelelahan apalagi pantat yang memanas karena berjam di atas
perahu kayu dengan kondisi air yang deras mengalir berlawanan arah dengan
perahu.
Ahhh, betapa bahagianya aku saat itu. Ingin rasanya kembali
lagi mengarungi tempat yang memberiku arti hidup dan bagaimana cara menghidupi
hidup, sederhana dan mengerti satu sama lain; mengerti kebutuhan sesama dan
penderitaan sesama.
Perjalanan ke Sumentobol, 15 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar