Kamis, 21 April 2016

Kearifan Lokal



Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol

Masih kuingat hari itu hari Selasa. Aku duduk dan berlayar menjelajahi sungai terlebar yang pernah kulihat selain sungai di daerahku, dan sungai terpanjang yang pernah kuarungi dengan perahu mesin  sepanjang umurku. Lamunan demi lamunan terlahir di benakku hingga dewasa menjadi sebuah tuisan. Berharap pula tulisan ini bisa lahir di dalam hati dan pikiran para pembaca sehingga tidak terbenam dalam anganku saja.


Kearifan lokal di dalam perahu


Sangatlah terlalu dini bagiku berbicara tentang kearifan lokal sedang aku baru saja belajar tentang itu. Sebuah teori yang nyata di depan mata yakni kebijakan yang bijaksana menyentuh hati menampar pipi. Hmmm baru saja perahu berangkat sekitar 10 menit, aku sudah penuh pertanyaan yang sama dengan perilaku pengendali perahu.

“Mengapa si pengendali perahu ini mematikan mesinnya ketika akan berhadapan atau melewati perahu dayung atau bahkan ketinting?” menjadi pertanyaan yang membuatku mendapat pelajaran berharga mengenai arifnya kebijakan lokal. Oh iya, ketinting itu perahu kecil dengan bantuan mesin tetapi bukan mesin speed.

Aku tidak langsung terburu-buru mencari jawabannya. Masih kusimpan rapat-rapat di dalam pikiranku meski sudah tergambar dalam keburaman. Akupun tak lekas ke belakang atau teriak bertanya kepada pengendali perahu itu. Dengan senyuman, kubentangkan tanganku, keduanya, hingga membentuk sudut 180 derajat. Kalau pembaca pernah menonton film yang berjudul “Titanic”, nah seperti itulah kira-kira. Hanya saja posisiku duduk dan sendiri. Seandainya persis seperti film itu kurasa tak sempat aku belajar dari alam yang kulewati.

Kemudian setelah beberapa kali kejadian yang sama terulang. Akupun dengan yakin menyimpulkan bahwa itu adalah tanda toleransi kepada sesama yang berada di atas air. Menghormati sesama dan menjaga perasaan yang lebih kecil. Sengaja dilakukan untuk menghindari guncangan dari ombak yang terbentuk karena perahu besar kea rah perahu kecil. Ya, dengan mematikan mesinnya hingga melewati perahu kecil itu.

Terhanyut aku dalam lamunan siang itu. Aku berandai sekiranya para pengendali Negara ini punya prinsip seperti itu betapa bahagianya kaum yang tergolong kecil. Tidak sekedar duduk menonton di atas kursi empuk sambil tertawa di atas penderitaan warganya. Hmmm tapi sayang, lamunan itu terhenti seiring berhentinya perahu kami.

Dipemberhentian ini aku bertanya-tanya kembali.Kebingungan meningkat sangat cepat ditambah emosi karena mengingat waktu yang akan semakin sore. Karena apa? Ternyata perahu berhenti karena ada salah satu penumpang ingin mengunjungi keluarganya terlebih dahulu. Dan memang pernah kudengar bahwa tradisi di sini ialah mengunjungi rumah keluarganya apabila mereka melewati kawasan rumah keluarga mereka.

Hmmm sepengetahuanku dan sepenglihatanku bentuk pemukiman di daerah ini masih mengikuti arah sungai. Pemukiman hanya ada di sekitaran sungai itu. Jadi desa di hulu dan di hilir hanya bisa dilalui dengan jalur air. Nah melalu teori “mumpung” biasanya mereka berkunjung ke keluarga mereka.

Dengan melihat kejadian itu secara langsung, emosi menghilang dan rasa senang menghampiri, aku bisa belajar tentang sejarah Indonesia yang masih hidup hingga kini. Dahulu sewaktu kecil aku dicekokin cerita yang namanya kehidupan nomaden, system berburu dan nelayan, bahkan system barter. Memang semuanya sudah tidak seutuh yang dahulu. Namun, ruh dari cara hidup itu masih kental terasa. Apalagi oleh orang-orang yang baru datang ke tempat seperti itu.

Lagi-lagi aku terhanyut dalam cerita-cerita di kepalaku. Lamunan yang kian semakin dalam. Berandai orang-orang di perkotaan sesekali mengunjungi tempat-tempat yang seperti ini agar bisa belajar kearifan lokal bangsa ini. Agar tidak lupa bahwa sesungguhnya Indonesia terbentuk karena asas kekeluargaan dan kesamaan penderitaan, bukan yang lain.

Tidak lama kami melanjutkan perjalanan setelah kembalinya penumpang yang tadi naik mengunjungi keluarganya. Kupandangi terus kiri dan kanan sungai yang menjadi basis jalan. Tak jarang memang aku terjatuh dalam kantuk karena kelelahan apalagi pantat yang memanas karena berjam di atas perahu kayu dengan kondisi air yang deras mengalir berlawanan arah dengan perahu.

Ahhh, betapa bahagianya aku saat itu. Ingin rasanya kembali lagi mengarungi tempat yang memberiku arti hidup dan bagaimana cara menghidupi hidup, sederhana dan mengerti satu sama lain; mengerti kebutuhan sesama dan penderitaan sesama.

Perjalanan ke Sumentobol, 15 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar