Tak Cukup Menjadi
Religius!
“Kenistaan yang terjadi tak lain karena kaum religius yang
tidak memiliki nilai spiritual.”
Betapa lantangnya seseorang yang di hadapanku sore itu
berkata demikian. Tentu pikiranku sontak melayang entah kemana. Seakan aku
pernah meyakini hal yang sama. Oh yah, tak lama, hanya hitungan detik jiwaku
mengarahkanku ke media sosial yang berinisial FB. Aku pernah dan bahkan belum
kuganti hingga saat ini yang tertulis di kolom “About” bagian “Religious Views”.
“Jangan sebut aku punya agama kalau agama itu memisahkan
kita. Sebab Dia menciptakan kita bukan beserta agama, melainkan KASIH. Jadi
kalau aku punya agama dan kamu punya agama, tapi agama itu justru digunakan
sebagai alat pemisah, lebih baik tidak sama sekali. Jadi dari sekarang sebut
saja aku sebagai orang Kristen, sebab aku yakin Kristus hadir dalam diriku
setiap saat. Bukan atas nama agama yang anda tangkap. (maaf kalo ada yang
kurang sopan, ini menurutku, peganganku) I JESUS YOU.”
Berat bagiku mengulik bagian ini sebab tidak bisa dipungkiri
akan ada pro-kontra. Tetapi aku menguatkan diriku kepada nilai yang ingin
kusampaikan bukan pada hasil. Jika ingin frontal, sikapilah dengan dewasa, kedatangan
Nabi pun masih ada pro-kontra hingga saat ini, dan bahkan keberadaan Tuhan pun
begitu. Maka hanya sedikit takut yang tersisa dan keberanian yang membawaku ke
topik ini.
Akupun mendalami sembari mengamati dan mengalami segala yang
bergerak di sekitarku. Tentu saja, kutemukan seorang religius lebih besar
peranannya terkait agamanya dan di luar itu dia akan lupa bahwa dia seorang
manusia. Entah akan ada yang akan menyerangku setelah ini atau tidak, koreksi
aku kalau aku salah, manusia diciptakan, bagi yang percaya bahwa manusia
diciptakan, disertai dengan akal-budi. Ialah yang mampu membuat gelisah, yang
membuat tenang, yang mampu melihat keindahan, yang tahu tentang agama, yang
mampu “merasakan” banyak hal lainnya.
Lantas aku menelaah lebih dalam benda apa itu spiritual dan
mengapa begitu penting peranannya menurut beliau. Kucari dan selalu kucari. Kulihat,
kupelajari, kudengar, dan kupelajari hingga tulisan ini ada. Kutemukan kebenaran
yang kuyakini bahwa orang-orang yang religius belum tentu memiliki nilai kejiwaan
yang hakiki. Dan jiwa itulah yang disebut sebagai spiritual. Sehingga dengan
yakin aku menyimpulkan seseorang yang nilai spiritualnya tinggi tentu dia
seorang religius. Karena sesungguhnya spiritual itu bercerita tentang
kebatinan, kejiwaan, dan kerohaniaan. Mengingatkanku pula pada apa yang pernah
kubaca dan kuyakini dia adalah seorang yang memiliki nilai spiritual “Why are
you depressed, o my soul? Why are you upset? Wait for God!”
Mudah saja untuk melihat orang-orang religius yang tidak
melekat nilai spiritualnya. Pada ajaran yang kuyakini ada perintah untuk
mengasihi sesamaku manusia, dan itu tidak menarik untuk kutulis. Aku ingin menulis
tentang perintah untuk mengasihi musuh. “Jika ditampar pipi kanan, berikan juga
pipi kiri.” Berbuat baik kepada musuh dan turut membawanya kedalam doa. Hahhhhh
jangankan melakukannya, mengingatnya saja tidak ketika ada yang tidak suka
dengannya. Semisal ada yang memaki, sontak akan memaki kembali. Apakah orang
yang memaki ulang itu tidak religius? Tentu tidak. Hanya saja ia tidak mampu
mengimplementasikan apa yang diyakininya. Sebutlah spiritualnya masih rendah.
Bagiku religius tentang kepintaran, tetapi spiritual tentang
rasa; tentang jiwa. Seorang religius mengetahui banyak hal tentang kitab-kitab
tetapi tidak mampu menerapkannya maka yang ia lakukan hanyalah ritual semata. Seorang
religius menyalin apa yang tertulis sebagai “quote” tetapi mengabaikan jiwanya
maka ia sedang menghafal dan semua sekedar teori. Seorang religius terjebak
pada kotak simbol dan cara-cara sedang seseorang yang memiliki nilai spiritual
mampu melihat hakikatnya.
Seorang religius akan dengan yakin berkata bahwa agamanya
adalah agama yang paling benar dan kitabnya adalah kitab yang terbaik. Seorang
spiritual akan berkata bahwa manusia sama-sama diciptakan oleh pencipta. Tentu
saja bahwa manusia memang diciptakan oleh pencipta. Masak iya aku tahu
diciptakan oleh Tuhan yang beragama Kristen, kamu tahu diciptakan oleh Tuhan
yang beragama Islam, mereka diciptakan dewi bulan, sebagiannya diciptakan dewa
matahari? Itu hakNya.
Jika percaya bahwa surga neraka itu ada, benarkah ada kaum
yang direncanakan akan diciptakan sebagai penghuni neraka atau penghuni surga? Entahlah!
Ada Indonesia, ada Amerika, ada Arab, ada Jawa, ada Nias, ada Minang, ada
Cipit, ada Mancung, ada Keriting, dan perbedaan lainnya. Ada yang tidak
memiliki mata, ada yang hanya satu kaki, ada yang tidak bernafas sebelum keluar
dari rahim ibunya. Siapakah diantara mereka penghuni surga? Siapa pula penghuni
neraka? Bukankah hanya pencipta itu sendiri yang tahu siapa yang layak dan
siapa yang tidak layak?
Lalu bagaimana jika surga dan neraka seperti salah satu lagu
rohani yang menyentil kaum religius, aku sebut sebagai kaum religius sebab kaum
spiritual percaya bahwa urusan surga dan neraka bukan urusan yang diciptakan, benar-benar
tidak pernah ada? Benarkah kita umat yang beragam ini masih percaya dan
menyembah pencipta kita? Masih kah kita takut kepadaNya? Masihkah kita cinta
kepadaNya?
Kaum religius akan melarang anaknya untuk tidak mencuri
karena pencuri nanti akan masuk neraka. Kaum spiritual akan memberitahu anaknya
tentang derita yang dialami oleh korban pencurian dan derita itu pula yang
tidak bisa dipungkiri, tidak dapat dielakkan, akan diterima oleh si pencuri,
entah itu upahnya neraka atau langsung seperti dihakimi warga sekitar atau
bahkan dipenjara.
Kaum religius akan berkata “Hanya dengan percaya kepada Dia
dan hanya melalui Dialah kita masuk surga”, sedang kaum spiritual akan berkata,
“Tak usah kita muluk-muluk berjuang untuk sesuatu yang tak tampak oleh kita, kalau
sesama kita saja yang tampak oleh kita tak kita kasihi!” Akupun setuju barang siapa
berkata mengasihi Tuhannya, tentulah dia juga mengasihi sesamanya. Maka jika
ada yang berkata “AKU CINTA TUHAN” tetapi ia menghancurkan sesamanya, itulah
religius tingkat tinggi. Sebab seorang yang memiliki nilai spiritual akan
menambahkan “DAN CIPTAANNYA”. Barang siapa memilah dan memisahkan manusia A,
manusia B, dan manusia Z, juga merupakan kaum-kaum religius. Karena kaum
spiritual tidak mampu memilah manusia. Bagi mereka manusia adalah manusia itu
sendiri.
Maaf bukan tentang benar dan salah. Hanya bercermin dari
nista yang ada. Mari sama-sama mengoreksi diri sendiri. Dan ini bukan tentang
teori karena teori sudah ada di mana-mana melainkan tentang sesuatu yang sudah
terjadi dan mungkin akan terjadi. Entahlah! Qalbu-ku berbisik, aku sudah melangkah
di jalan yang seharusnya. Dan aku sudah bisa tidur.