Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Mei 2018

Hujan Januari



Rico Ricardo Lumban Gaol

Bagiku dunia itu, hmmm tempatnya miliaran perbedaan. Jika melihat kenyataan di sekitarku, aku bisa menyebutkan sejutanya, itupun kalau waktuku ada untuk menuliskannya dan kalau ada waktumu untuk membacanya.

Ada kucing, ada anjing, pepohonan, ada juga tanah, air, udara, api, embun, gelap, cahaya, dan... Itupun aku bisa menunjukkan padamu kucing saja banyak jenisnya ada persia, kucing kota, kucing kampung, haha... Kucing kampung saja ada yang hitam polos, ada putih polos, ada belang dan lainnya. Benar kan, kamu tidak punya waktu untuk membacanya. Aku bilang juga apa...

Jadi kalau ada yang ingin bersatu tapi menghilangkan perbedaan pastilah suatu saat mereka akan berpisah, se... Sebelum waktunya untuk berpisah. Sama seperti halnya tragedi pengeboman rumah ibadah yang kemaren. Saking bencinya dengan perbedaan dan tidak mau membuka mata dengan sekitarnya, mereka berpisah satu sama lain. Dengan keluarganya, dengan sahabatnya, dan jauh sebelum itu mereka sudah terlebih dahulu memisahkan diri dari lingkungannya.

Apa aku salah mengungkit tragedi itu sebagai contoh..? Mkasih ya sudah mendukungku.

Sebagai manusia kita ada dengan berbagai karakter. Semuanya sejak awal sudah berbeda. Namun, seiring bertambahnya usia, kita hanya peka terhadap kesamaan. Kita menutup mata dengan yang lain.

Loh..? Ga percaya? Aku lahir katanya di WC (kakus) loh, ketika orang tuaku merasa ingin buang air besar. Haha... Sedang kakak-kakakku ada yang lahir di rumah ada yang di rumah sakit. Dan bahkan keponakanku ada yang lahir di mobil sampe-sampe namanya saja Rocky. Bukankah itu perbedaan..?

Hiduplah dengan keduanya, hei kamu. Iya kamu, tak perlu begitu wajahmu. Lagi pula tak ada orang di belakangmu. Sini kutunjukkan padamu yang harus kau ingat dariku hingga kelak nanti.

Ini ya, kutuliskan di jemarimu. "Bernafaslah dengan dua hal yakni kesamaan dan perbedaan. Jika salah satunya kamu lupakan niscaya denyut jantungmu akan meronta menangis pilu. Ingat ya, aku tak mengatakan menghargai perbedaan. Namun, terimalah dan hiduplah bersamanya."

Apa..? Kamu mau hidup bersamaku? Aku ga dengar, coba teriak... Kamu ingin hidup bersamaku? Haha... Cie...

Oh iya, ada dua hal yang aku rasakan mendengar hal itu. Yang pertama aku senang dan yang ke... Sini kubisikkan yang keduanya.

"Kamu tau di mana tempat operasi jenis kelamin?" iya aku nanya serius, kamu tau di mana tempatnya. Soalnya papa kamu selalu bilang akan menerimaku kalau kita sama anunya. Haha

Hoi, serius amat. Sudah jangan dipikirin. Mending kita ke taman.

Ehhh... Jangan... Jangan di sentuh. Kalau kamu suka dengan bunga mawar putih itu, kamu tidak boleh menyentuhnya. Kamu cukup pejamkan mata dari sini, lalu cium dan rasakan aromanya. Berbicaralah padanya seperti halnya kamu berbicara padaku setiap senja pergi. Dari hati.

Bagaimana? Tentu jauh lebih dapatkan yang kamu harapkan..? Kalau kamu tadi memegangnya aromanya tak lagi murni seperti seharusnya dia ada. Apalagi kalau sampai memetiknya, kasihan orang yang di belakangmu. Lah, dia juga dari tadi ngelihatin bunga itu. Berarti dia juga pengen berkomunikasi dengannya. Iya kan?

Yuk, kita pulang. Aku juga lapar. Mau makan di kantin bi Iyem. Mau nambah ah. Hehe

"Dear, kamu. Maafin aku hari ini bicara ngaco. Mungkin karena semakin hari aku semakin sadar bahwasanya aku ini hanya manusia biasa yang terlahir dari rahim bumi dan akan pergi menemuinya tidak akan lama lagi. Nggak kok. Aku bukan akan segera mati. Hanya saja semakin menyadari bahwa tujuanku semakin dekat. Tujuan mengapa aku harus ada di rahim bumi dan lahir ke dunia. Supaya aku bisa bertemu kamu dan menuliskan cerita ini. Mungkin melalui cerita ini orang-orang akan tahu bahwa kita hidup menyentuh debu batu dan penuh lika liku tanjakan terjal. Lengah sedikit terjatuh. Kita hidup di dunia bukan di surga seperti kata-kata yang pernah kubaca dari berbagai buku-buku sakti. Kita lahir di bumi bukan di surga lalu turun ke bumi. Aku selalu bilang ke kamu, hiduplah bukan seperti berharap seperti yang kamu baca di kitabmu, terkait surga. Surga dan temannya kita tidak pernah tahu dan tidak perlu membayangkannya. Tetapi berjalanlah ke arah di mana kamu tidak akan tersandung. Aku percaya kamu tidak akan terjatuh. Kalaupun tetap jatuh kamu tidak akan kesakitan, karena ada aku yang menopangmu. Salam rindu dari seseorang yang baru saja menemukan hidupnya. Bumi dan... Kamu!"

Senin, 27 Juni 2016

Integritas



“Mau belajar? Belajarlah dari teori-teori yang ada! Tapi ingat, integritas bukan sekedar teori,” Andrian Gostik & Dana Telford.

Ada banyak teori yang bertebaran mengenai integritas di era sekarang ini. Cukup dengan mengetik kata “integritas” di kolom fungsi pencarian dari telepon genggam atau “gadget” lainnya maka kita akan mendapatkan hasilnya. Namun, apakah masalahnya selesai? Tentu tidak. Integritas tidak semudah mengucapkan namun tidak sesulit yang ada dipikiran. Pilihannya hanya ada dua yakni mau atau tidak.

Sederhananya, integritas itu kesesuaian antara nilai-nilai yang ada, yang diucapkan, dengan tindakan. Tindakan di sini bukanlah tindakan ketika orang sekitar melihat. Karena di dalam (maaf) toilet pun integritas itu seharusnya berlaku. Sehingga penting disadari bahwa teori hanyalah tangga pertama untuk memahami sesuatu dalam hal ini integritas. Dan kedua ialah kesadaran akan pentingnya integritas, yang selanjutnya ada penanaman nilai-nilai integritas tersebut ke dalam diri. Terakhir dan yang paling penting ialah melakukannya.

Bagi seseorang yang sudah memiliki integritas itu maka dengan mudah ia berkata bahwa dia tidak lagi butuh sebuah teori, dia juga tidak butuh ketenaran, dia yakin bahwa integritas ialah jalan yang harus ditempuh. Jadi, tak ada yang perlu didefinisikan atau dipamerkan, cukup dijalani dengan sungguh-sungguh dan berkelanjutan.

Berbeda dengan lingkungan kita saat ini, sebut saja di negara Indonesia. Di Lingkungan kita sendiri integritas itu dianggap sebagai keset. Contohnya ialah ketika seorang anak sedang melaksanakan ujian. Anak itu punya pepatah bodoh dan diyakini oleh kebanyakan orang bahwa mencontek itu boleh asal tidak ketahuan. Sama saja dengan moto yang bernada serupa yakni mencuri itu tidak apa-apa asal tidak ada yang melihat. Miris ketika mendengar pernyataan itu. Integritas itu tidak berbicara tentang mata kawan! Melainkan hati! Camkan itu baik-baik di dalam hati kita masing-masing.

Integritas itu bukan tentang nilai seperti nilai 90 dari 100, melainkan tentang sikap dan perilaku. Integritas bukan hanya di organisasi, bukan pula di dunia pendidikan saja, bukan terkotak berlaku di pemerintahan, tetapi di segala aspek kehidupan, di kehidupan sehari-hari dan di segala tempat disepanjang waktu.

Integritas juga berlaku ketika kita berteman, ketika kita makan, ketika di lingkungan kerja, ketika di kamar, ketika di dalam angkutan umum. Ketika di jalan, pun ketika hidup bersama masyarakat apalagi ketika mengemban tugas sebagai wakil masyarakat yang katanya ingin mengembangkan potensi lokal demi mendukung terwujudnya salah dua cita-cita negara Indonesia yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub di Pembukaan UUD 1945.

Terakhir sebagai penutup, ketahuilah sesungguhnya seseorang yang telah mengetahui akan sesuatu yang baik dan bermanfaat tetapi tidak dilakukan merupakan salah satu bentuk atau ciri seseorang yang tidak memiliki integritas.

Kamis, 23 Juni 2016

Matahari dan Hujan



Aku mengumpamakan, dari rangkuman hasil perbincangan dengan beberapa orang, matahari sebagai lambang sumber bahagia sebab ia mampu mengendalikan gelap menjadi terang dan dingin menjadi hangat. Hujan sebagai lambang ratapan atau kesedihan sebab ketika ia datang banyak tangis yang mengerang hingga senyum menghilang. Meskipun kenyataannya kedua-duanya ialah anugerah yang begitu besar maknanya, aku minta maaf untuk hal ini. Hanya untuk mempermudah memahami tulisan ini.

Sangat disayangkan ketika hari kita penuh dengan kesedihan, sukar kebahagiaan masuk ke dalam diri. Hal itu bagai goa. Goa tak mungkin mampu menerima cahaya sebab memang goa tertutup dan selamanya akan begitu. Sukar bagi manusia bangkit atau menerima sebuah nasehat atau cahaya yang ingin memberinya kehangatan jika manusia itu menolak untuk bahagia. Selamanya manusia akan dideru pedih jika ia tak mampu membuka hati.

Sesungguhnya cahaya selalu menantikan pintu yang terbuka. Sebab ia enggan untuk meronta memaksa diri. Jika pintu tidak dibuka maka cahayapun tak akan masuk ke dalam kamar. Pun kebahagiaan. Kebahagiaan layaknya cahaya. Ia selalu ada di hadapan setiap manusia. Tantangannya ialah manusia sudah terbiasa terlarut dalam kegelapan, dalam kesedihan. Sehingga mereka tak tahu ke mana tujuan mereka. Sedang berjalan dalam terang, kebahagiaan, saja masih banyak percabangan yang membingungkan, apalagi berjalan dalam kegelapan, kesedihan.

Kesedihan, yang melarut, mampu mengusir kebahagiaan. Ibarat awan hitam, ia mampu menutup pintu cahaya, meskipun kenyataannya cahaya selalu ada, tetapi ia tak mampu menyinari bumi. Bahayanya, awan gelap tak hanya mampu menutup cahaya, ia juga mampu mengundang kesedihan hingga tangis yang terisak. Bahkan rela mengabaikan bahagia hingga malam tiba, kegelapan datang lagi.

Hmmm memang terkadang ada hujan dan ada cahaya matahari yang berkejar-kejaran. Aku sendiri mengumpamakannya sebagai lambang kebingungan. Entah manusia menangis karena kebahagiaan atau bahkan manusia pura-pura bahagia padahal sesungguhnya ia sedang bersedih. Hanya manusia itu sendiri yang tahu. Dan semoga bukan yang kedua.

Sebagai pelengkap, masuklah dalam sedalam-dalamnya, seperti udara yang terhirup masuk ke seluruh tubuh. Terimalah sesungguhnya bersedih ialah hal yang wajar dan tak perlu menyembunyikannya atau bahkan sampai berpura-pura kuat, pura-pura bahagia. Pun terimalah, ketika bersedih tak perlu sampai melewatkan hari hingga berlarut-larut dan mengabaikan pagi yang menanti, seperti kebahagiaan yang selalu menanti masuk. Cobalah buka sedikit jendela kamar maka dengan cepat cahaya itu masuk dan membawa senyum kebahagiaan. Terlalu sayang hidup ini hanya dihabiskan untuk meratapi kegagalan atau kepedihan.

Dan tiliklah kembali bahwa ternyata baik matahari maupun hujan sama-sama sumber kebahagiaan dan lambang kehidupan. Mereka bahkan tidak peduli bagaimana manusia mendefinisikannya, tetapi mereka senantiasa berbagi dan tak kenal siapa yang akan mendapatkannya.

Kamis, 07 April 2016

Dua Jalan Satu Tujuan



Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol

“Mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi orang-orang hanya  bisa diam tanpa mengambil tindakan,” teriak salah seorang anak dari desa Penutur, tak jauh dari Sumatra. “Aku si Koko yang berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua jurang kehidupan namun terlihat hanya berujung pada satu arah.”

...

(Tok-tok... Tok-tok... Tok-tok) “Nak. Bangun, Nak. Matahari sudah di atas, berapa lama lagi ibu menunggu?” panggil ibunya sambil menyiapkan peralatan berkebun.

“Iya, Bu. Koko sudah bangun dari subuh tadi,” jawabnya sambil melompat dari kasurnya dan keluar dari kamarnya.

Ayo, Bu. Kita berangkat.

(Di tengah jalan dalam keheningan) “Bu, Koko mau nanya, apa yang membedakan antara bebatuan ini dan kita?” tanya Koko saat perjalanan menuju perkebunan. “Kita tinggal di tempat yang sama dan tidak jauh pula jaraknya.”

“Ketika kamu ingin makan, kamu makan. Ketika kamu ingin tidur, kamu tidur. Ketika kamu ingin teriak, menangis, tertawa? Kamu bisa teriak, menangis, dan tertawa sesukamu,” jawab ibunya. “Batu itu tidak akan berpindah jika tidak ada yang memindahkannya. Tidak seperti kita. Batu itu tidak merasakan apa yang pernah kita rasakan.”

“Kalau begitu Koko bisa pergi kemana saja Koko mau, Bu? Begitu,” celetuk Koko.

“Kamu mau pergi kemana hmmm, Koko? Ayah kamu sudah tua, begitu juga Ibu. Siapa yang akan menemani kami di sini? Tapi itu hak kamu, ibu tidak melarang. Terkadang agar kita mengerti hidup, kita harus pergi jauh, bahkan meninggalkan orang terkasih sekalipun. Tapi kelak, jika kamu merindukan kasih setia, pulanglah, Nak. Pulanglah ke rumah kita, di sini kamu akan mengerti arti kasih, arti dari pentingnya keluarga, arti cinta yang sempurna meski sederhana” tutur ibunya terlihat sambil meneteskan air mata, sebenarnya berat untuk melepaskan anaknya.

“Ibu, lihatlah! Di bawah sana ada dua jurang dan di ujung atas keduanya terlihat samar-samar. Seakan dari awal hanya ada satu jurang. Ibu, ibu pasti tahu Koko. Koko mengumpamakan itu sebagai dua jalan dan satu tujuan. Koko di sini itu untuk Ayah dan Ibu, begitu juga jika Koko pergi, itu juga untuk Ayah dan Ibu. Cintaku pada ibu dan ayah,” jelas Koko sambil menunjuk ke arah jurang dan kadang berbalik menuju ibunya.

“Ada banyak bentuk kasih yang sudah Ibu beri dan Ayah ajarkan, itu akan menjadi senjata utama Koko di tanah rantau. Percayalah, Koko tidak akan mengecewakan kalian. Tidak akan lupa tangan Koko tuk menghapus air mata Ibu. Takkan mungkin beralih mata ini dari tempat tidur Ayah,” jelasnya. “Sampai batu ini berpindahpun, Koko tidak akan meninggalkan kalian. Koko tahu jalan pulang. Koko tahu siapa yang Koko tuju.”

“Baiklah, Nak. Ibu melihat ketulusanmu untuk merantau. Dari air matamu ibu lihat kamu akan kembali sebelum kita berpisah untuk selamanya,” dukung ibunya. “Ingat ya, Nak. Kelak kamu harus seperti ayahmu. Berakit hingga ketepian, berlari hingga ke puncak, dan menyebrangi berbagai tantangan untuk melanjutkan hidupnya. Kelak juga kamu kan temukan seorang wanita yang bersedia menemanimu dalam bangun dan tidurmu dalam sakitmu sekalipun.Dulu  Ayahmu menarik perhatian ibu bukan dari parasnya. Tapi dari kesederhanaannya. Tutur katanya yang tidak meninggi. Melakukan yang terbaik untuk ibu. Berubah haluan menjadi teladan baik bagi sekitarnya, setidaknya untuk ibu. Dan yang terpasti ayahmu selalu ada untuk Ibu, semampu dia. Dia temani ibu dengan penuh kesabaran, dia ajari ibu dengan penuh kasih sayang. Cuma yang ibu takutkan, kamu juga sama seperti ayahmu, yang hanya bisa menunjukkan kasih sayangnya, namun sukar untuk mengungkapkannya.”

“Nak... Kalau tiba saatnya kamu jatuh hati, pilihlah wadah yang pasti bisa menampung benih kasihmu. Yang pasti bisa tumbuh dan berbuah. Yang selalu menatap kedepan dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran berharga,” pesan ibunya sambil mengelus kepala Koko.

“ Memangnya seperti apa hati yang tidak bisa ditanami benih kasih, Bu?” tanya Koko.

 “Ada banyak hati yang sukar ditanami kasih. Salah satunya hati yang sudah tawar, terutama tawar yang dikarenakan bekas kasih yang dulu pernah tumbuh, namun kasih itu pergi dengan alasan tertentu. Wadahnya menjadi tawar dan sukar untuk ditanami,” terang ibunya sambil duduk dan meneguk secangkir air.
Dalam suasana penuh keringat, si Koko dan ibunya tetap bekerja meski terkadang berhenti karena harus bertanya ataupun menjawab pertanyaan.

“Bu, kalau begitu masih ada peluang kan? Ibarat tanah yang di belakang rumah. Dulunya tanah merah. Yang di samping ada dulunya tandus. Tapi setelah kita rawat, kita perhatikan, kita jaga, akhirnya bisa kita tanami berbagai jenis bibit. Bukan begitu bu?” tanya Koko lagi sembari menjelaskan pandangannya.

“Kamu benar nak. Namun hati tidak seutuhnya seperti tanah. Tanah yang tandus bisa kita pupuk lalu menjadi subur. Tanah berpasir dan bebatuan juga begitu. Setelah kita rawat, mereka seutuhnya menjadi subur,” jawab ibunya dengan singkat lalu pergi meninggalkan Koko untuk sejenak berisitirahat, makan.

“Hati bagaimana, Bu?” tanya Koko penasaran.

“Sini, istirahat dulu, kita sambil makan saja. Sepertinya kamu serius untuk menanggapinya,” pecah ibunya. “ Jadi Hati memang bisa kita rawat, dan memang lebih mudah kembali subur, tapi sewaktu-waktu jika ia menemukan benih yang dulu pernah tumbuh, kamu bisa tersakiti. Sesungguhnya hati tidak akan pernah bersih dari masa lalunya,” ringkas ibunya.

“Tanpa terkecuali, Bu?” Tanya Koko dengan penuh kebingungan.

“ Hmmm... Dulu ibu pernah menaruh kasih kepada seorang pria. Dia baik. Cukup perhatian dengan ibu. Kita menjalin kasih diwaktu yang tidak bisa dibilang singkat. Namun, karena alasan tertentu, kita pisah. Ibumu ini hampir tidak bisa melupakannya. Pernah beberapa pria lain mendekati ibu. Ibu tetap tak bisa melupakannya. Sampai akhirnya ayahmu hadir di kehidupan ibu. Ayahmu dengan penampilan yang memang ciri khasnya. Dia mendekati ibu dengan caranya. Dia sangat sabar. Perhatian, dan rela memberikan waktunya untuk ibu,” Jawab ibunya.

“Bahkan ibu sudah melupakannya hingga saat ini, meski dulu sempat lagi berpapasan di transportasi umum yang sama,” tambah ibunya. “Ibu jadi merasa lucu mengingatnya. Mungkin inilah maksud dari pengalaman itu, agar ibu bisa bercerita ke kamu nak.”

“Hmmm... Ibu percaya, tak jauh buah jatuh dari pohonnya. Ayahmu punya cara tersendiri dan ternyata itulah cara terbaik saat itu untuk keadaan ibu. Begitu juga kelak kamu. Apalagi dengan kondisi saat ini. Tak ada lagi hati yang belum pernah ditanami. Hampir semua pernah ditumbuhi benih kasih. Saatnya kamu nak. Kamu jangan mau kalah sama ayahmu,” harap ibunya.

Lalu si Koko sedikit merenungkan apa maksud dari ibunya berkata demikian. Hingga dia berjalan dan kembali lagi, dan berjalan lagi ke tempat yang lebih jauh. Kembali lagi.

“Jadi apa yang harus Koko lakukan Bu misalnya hal itu terjadi pada Koko?”

“Kuncinya hanya ada satu, yakni kesabaran. Dari kesabaran akan tumbuh rasa kasih sayang yang bisa mengalahkan semua benih yang dahulu pernah tumbuh. Teruslah mengasihi meski kasih itu terkadang menyakitimu,” pungkas ibunya.

Terlihat cuaca sudah semakin mendung. Matahari sudah tidak ada. Merekapun bergegas dan segera pulang sebelum turun hujan. Lalu beberapa saat sebelum mereka pulang, ayahnya tiba-tiba datang menghampiri mereka.

“Ketika kamu cinta, kamu tak mengenal waktu. Kamu selalu ingin bersama. Tapi ingat, kamu punya cita-cita, kamu tetap harus meraihnya. Wanita baik ialah wanita yang mendukung yang dikasihinya untuk menatap masa depan dan kesuksesan yang ingin diraihnya. Seperti ibu kamu terhadap ayah. Iya kan, Bu?” jelas papanya sembari mengenang  kembali memori yang sudah lama ia tinggalkan.

“Ayah baru membaca buku kamu, ada sebuah tulisan singkat mengenai cita dan harapanmu. Ayah sangat setuju. Kamu katakan bahwa untuk mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi orang-orang hanya  bisa diam tanpa mengambil tindakan. Kamu berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua jurang kehidupan namun terlihat hanya berujung pada satu arah. Kamu katakan itu sebagai ‘dua jalan satu tujuan’, ayah setuju. Itu artinya kamu sudah mengerti arti hidupmu. Kamu disini itu untuk cintamu, kamu pergipun juga untuk cintamu. Raihlah impianmu. Ketika kamu takut, seketika itu lipatlah tanganmu, tunduklah, dan katakan apa yang kamu takutkan. Akan ada jawaban untuk segalanya,” tutup ayahnya.

Keesokannya, Koko berangkat merantau dan mengikuti arah jurang yang selalu ia lihat setiap kali bangun pagi. Dan bahkan menjadi pembuka mimpi-mimpinya. 

Bintan, 12 Desember 2014