Tampilkan postingan dengan label menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label menulis. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Juni 2016

Kekuatan Mengenal Rasa

Rasa merupakan salah satu yang hampir tidak pernah berbohong. Ketika cabe menyentuh lidah, rasanya pasti pedas. Ketika gula masuk ke mulut rasanya pasti manis. Ketika kulit tersayat pasti rasanya sakit. Ketika tidak tidur semalam saja pasti mengantuk. Itu sudah hukum alam. Tidak seorangpun yang akan berkata bahwa garam itu manis, terkecuali dia belum pernah makan garam dan tak mengenal manis.

Penting bagi setiap orang untuk mengenali apa yang sedang dirasa, agar mampu menjalani hari yang lebih baik dan bermakna. Pun dalam suatu hubungan, penting di dalam suatu hubungan memahami rasa pasangannya. Penting juga di suatu forum atau tempat keramaian untuk mersak dalam rasa yang mereka alami, sebelum kita tampil dengan rasa yang kita miliki.

Pernah di satu forum, ketika ingin mendapatkan poin apa saja yang ingin dituliskan dalam salah satu tugas pelatihan yakni buku refleksi harian, aku menyarankan untuk memasukkan rasa sebagai poin utama. Poin yang harus selalu ada di setiap lembar tulisannya, entah itu hanya sekata saja. Dengan begitu pengamat akan mampu melihat penulis buku harian jauh ke dalam tulisannya bukan sekedar apa yang tertulis, tertera di buku. Baik pengamat maupun penulis sama-sama menggunakan hati. Dengan begitu ketika ingin menyapa pun tidak sekedar sapaan basa yang sudah basi.

Misalnya seseorang yang menuliskan buku hariannya dengan satu kata yaitu “kecewa”. Pengamat tentu tidak langsung membaca “oh dia sedang kecewa” dan langsung pergi atau lanjut ke buku selanjutnya. Justru dengan satu rasa “kecewa” pengamat harus mampu melihat lebih dalam. Aku sendiri biasanya membuka dengan pertanyaan “mengapa?” untuk mengetahui penyebab seseorang kecewa dan “bagaimana?” untuk memancing keluar dari yang sudah terjadi dan melangkah kedepan.

Kita akan mendapatkan asumsi-asumsi. Tidak masalah, kita bisa kaji dengan masuk ke dalam diri kita. Apa penyebab kita sendiri bisa kecewa. Mungkin kita pernah kecewa dengan diri sendiri, karena terlambat masuk ke kelas. Kita terlambat masuk ke kelas salah satunya pasti karena terlambat bangun, terlambat bangun karena tidur terlalu malam atau begadang. Begadang terkadang karena sesuatu yang tidak terlalu penting misalnya terbuai dengan permainan.

Nah, setelah sampai pada tahap akar permasalahan, barulah kita menemuinya dan berkomunikasi dengannya agar lebih terkait atau bahasa kerennya “nyambung”. Dan seseorang yang kita ajak berbicara mampu melihat “kecewa” yang dimilikinya dan mampu pula mengubah rasa itu menjadi “semangat” yakni semangat untuk hari esok yang lebih baik, tentu dengan tidak tidur terlalu larut.

Namun, seharusnya rasa itu datangnya dari dalam. Rasa itu harus mampu menyentuh bagian terdalam dari diri agar mampu memaknai setiap peristiwa yang ada. Agar tidak timbul prasangka buruk, merasa tertipu, atau dipermainkan, dan hal negatif lainnya.

Pernah aku menyangka bahwa rasa makanan yang kulihat, yang ada di meja hidangan, pasti rasanya manis. Setelah kumakan, apa yang terjadi, ternyata rasanya asin. Dari peristiwa sederhana ini aku belajar banyak, apakah mungkin sepotong roti yang kumakan telah berbohong padaku, telah menghianatiku? Atau pikirankulah yang terlalu cepat menyimpulkan suatu hal yang belum kurasakan? Aku jadi ingat dengan perkataan seorang petani yang pernah kutemui. Petani padi sangat membutuhkan angin ketika petani sedang menampi padinya dan memisahkan padi yang berisi dengan jerami. Namun, angin yang cepat pula, angin kencang dan besar, yang mengakibatkan petani kerja dua kali.

Sama halnya dengan pikiran, pikiran yang membawa manusia menjadi lebih baik dari hari kemaren. Namun, pikiran yang terlalu cepat merespon sesuatu membuat seseorang itu kehilangan makna terpenting dari setiap perjalanannya. Terasa hari sama saja setiap hari.

Pun dengan hati yang terluka. Terkadang orang yang mengatakan hatinya telah dilukai seseorang, itu mungkin saja karena terlalu cepat mengambil kesimpulan. Misalnya ada seseorang melukai tangan saudara kita, apa respon pertama kita terhadap kejadian itu? Tentu kita tidak langsung mengejar pelakunya. Namun sebaliknya, kita melihat lukanya dan membalutnya agar darahnya tidak keluar dan terutama agar sakitnya tidak semakin parah.

Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah, jika seseorang melukai hati kita, apa yang kita lakukan? Dengan begitu cepat dan tanpa berpikir ulang kita memaki pelakunya dan mengejar sampai keujung dunia, kemanapun pelakunya bersembunyi. Mengapa kita tidak menilik hati kita terlebih dahulu? Mengapa kita tidak membalut lukanya? Percayalah lukanya ada di dalam bukan di luar. Semakin kita menyalahkan pelakunya semakin kita merobek luka hati kita dan semakin besar dan perih rasanya.

Mari kita belajar mengenal rasa kita dan belajar memeluknya, merangkulnya, membalutnya, memberikannya kehangatan. Niscaya luka yang ada akan pulih total meski prosesnya tidak mudah dan tidak cepat. Namun percayalah, ketika hati kita telah pulih, rasanya tidak perlu menyinggungnya kembali terkecuali kita ingin melukainya kembali. Tetapi tentu tidak ada manusia sehat yang ingin menyayat hatinya untuk yang kedua kalinya.

Hanya sedikit saran bagi siapa saja yang sedikit-sedikit, sebentar-sebentar, cerita ke temannya tentang luka yang dialaminya. “Cobalah ceritakan terlebih dahulu kepada dirimu sendiri tentang apa saja yang kamu rasakan sebelum bercerita kepada orang lain. Jangan-jangan kamu sendiri tidak pernah memahami hatimu, apalagi orang lain. Atau jangan-jangan setelah bercerita dengan diri sendiri, hati sendiri, berdamai dengannya, kamu merasa sudah tidak perlu bercerita kepada orang lain?”

“Silahkan duduk bersila, pejamkan matamu, sebagai pembuka agar bisa fokus, belajarlah fokus pada nafas. Ikuti aliran nafasmu dan sadari darimana datangnya udara yang masuk melalu hidung dan sisitem pernafasanmu. Menyebar ke seluruh tubuh dan kembali ke alam bebas. Kemudian ikuti aliran darahmu, dengarkan denyut nadimu, dan temui hatimu. Peluk mesra hatimu, rangkul rasamu, beri dia kehangatan, berceritalah mendalam dan pelan-pelan. Tak perlu malu, keluarkan semua yang kamu rasakan sebab hanya ada kamu dan dirimu sendiri di tempat itu saat itu. Jika ingin marah, marahlah. Jika ingin teriak, teriaklah. Dan jika ingin menangis maka menangislah jika memang itu bisa menyembuhkan lukamu dan menetralkan rasamu, memulihkan hatimu.”

@ricolg

Kamis, 07 April 2016

Dua Jalan Satu Tujuan



Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol

“Mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi orang-orang hanya  bisa diam tanpa mengambil tindakan,” teriak salah seorang anak dari desa Penutur, tak jauh dari Sumatra. “Aku si Koko yang berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua jurang kehidupan namun terlihat hanya berujung pada satu arah.”

...

(Tok-tok... Tok-tok... Tok-tok) “Nak. Bangun, Nak. Matahari sudah di atas, berapa lama lagi ibu menunggu?” panggil ibunya sambil menyiapkan peralatan berkebun.

“Iya, Bu. Koko sudah bangun dari subuh tadi,” jawabnya sambil melompat dari kasurnya dan keluar dari kamarnya.

Ayo, Bu. Kita berangkat.

(Di tengah jalan dalam keheningan) “Bu, Koko mau nanya, apa yang membedakan antara bebatuan ini dan kita?” tanya Koko saat perjalanan menuju perkebunan. “Kita tinggal di tempat yang sama dan tidak jauh pula jaraknya.”

“Ketika kamu ingin makan, kamu makan. Ketika kamu ingin tidur, kamu tidur. Ketika kamu ingin teriak, menangis, tertawa? Kamu bisa teriak, menangis, dan tertawa sesukamu,” jawab ibunya. “Batu itu tidak akan berpindah jika tidak ada yang memindahkannya. Tidak seperti kita. Batu itu tidak merasakan apa yang pernah kita rasakan.”

“Kalau begitu Koko bisa pergi kemana saja Koko mau, Bu? Begitu,” celetuk Koko.

“Kamu mau pergi kemana hmmm, Koko? Ayah kamu sudah tua, begitu juga Ibu. Siapa yang akan menemani kami di sini? Tapi itu hak kamu, ibu tidak melarang. Terkadang agar kita mengerti hidup, kita harus pergi jauh, bahkan meninggalkan orang terkasih sekalipun. Tapi kelak, jika kamu merindukan kasih setia, pulanglah, Nak. Pulanglah ke rumah kita, di sini kamu akan mengerti arti kasih, arti dari pentingnya keluarga, arti cinta yang sempurna meski sederhana” tutur ibunya terlihat sambil meneteskan air mata, sebenarnya berat untuk melepaskan anaknya.

“Ibu, lihatlah! Di bawah sana ada dua jurang dan di ujung atas keduanya terlihat samar-samar. Seakan dari awal hanya ada satu jurang. Ibu, ibu pasti tahu Koko. Koko mengumpamakan itu sebagai dua jalan dan satu tujuan. Koko di sini itu untuk Ayah dan Ibu, begitu juga jika Koko pergi, itu juga untuk Ayah dan Ibu. Cintaku pada ibu dan ayah,” jelas Koko sambil menunjuk ke arah jurang dan kadang berbalik menuju ibunya.

“Ada banyak bentuk kasih yang sudah Ibu beri dan Ayah ajarkan, itu akan menjadi senjata utama Koko di tanah rantau. Percayalah, Koko tidak akan mengecewakan kalian. Tidak akan lupa tangan Koko tuk menghapus air mata Ibu. Takkan mungkin beralih mata ini dari tempat tidur Ayah,” jelasnya. “Sampai batu ini berpindahpun, Koko tidak akan meninggalkan kalian. Koko tahu jalan pulang. Koko tahu siapa yang Koko tuju.”

“Baiklah, Nak. Ibu melihat ketulusanmu untuk merantau. Dari air matamu ibu lihat kamu akan kembali sebelum kita berpisah untuk selamanya,” dukung ibunya. “Ingat ya, Nak. Kelak kamu harus seperti ayahmu. Berakit hingga ketepian, berlari hingga ke puncak, dan menyebrangi berbagai tantangan untuk melanjutkan hidupnya. Kelak juga kamu kan temukan seorang wanita yang bersedia menemanimu dalam bangun dan tidurmu dalam sakitmu sekalipun.Dulu  Ayahmu menarik perhatian ibu bukan dari parasnya. Tapi dari kesederhanaannya. Tutur katanya yang tidak meninggi. Melakukan yang terbaik untuk ibu. Berubah haluan menjadi teladan baik bagi sekitarnya, setidaknya untuk ibu. Dan yang terpasti ayahmu selalu ada untuk Ibu, semampu dia. Dia temani ibu dengan penuh kesabaran, dia ajari ibu dengan penuh kasih sayang. Cuma yang ibu takutkan, kamu juga sama seperti ayahmu, yang hanya bisa menunjukkan kasih sayangnya, namun sukar untuk mengungkapkannya.”

“Nak... Kalau tiba saatnya kamu jatuh hati, pilihlah wadah yang pasti bisa menampung benih kasihmu. Yang pasti bisa tumbuh dan berbuah. Yang selalu menatap kedepan dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran berharga,” pesan ibunya sambil mengelus kepala Koko.

“ Memangnya seperti apa hati yang tidak bisa ditanami benih kasih, Bu?” tanya Koko.

 “Ada banyak hati yang sukar ditanami kasih. Salah satunya hati yang sudah tawar, terutama tawar yang dikarenakan bekas kasih yang dulu pernah tumbuh, namun kasih itu pergi dengan alasan tertentu. Wadahnya menjadi tawar dan sukar untuk ditanami,” terang ibunya sambil duduk dan meneguk secangkir air.
Dalam suasana penuh keringat, si Koko dan ibunya tetap bekerja meski terkadang berhenti karena harus bertanya ataupun menjawab pertanyaan.

“Bu, kalau begitu masih ada peluang kan? Ibarat tanah yang di belakang rumah. Dulunya tanah merah. Yang di samping ada dulunya tandus. Tapi setelah kita rawat, kita perhatikan, kita jaga, akhirnya bisa kita tanami berbagai jenis bibit. Bukan begitu bu?” tanya Koko lagi sembari menjelaskan pandangannya.

“Kamu benar nak. Namun hati tidak seutuhnya seperti tanah. Tanah yang tandus bisa kita pupuk lalu menjadi subur. Tanah berpasir dan bebatuan juga begitu. Setelah kita rawat, mereka seutuhnya menjadi subur,” jawab ibunya dengan singkat lalu pergi meninggalkan Koko untuk sejenak berisitirahat, makan.

“Hati bagaimana, Bu?” tanya Koko penasaran.

“Sini, istirahat dulu, kita sambil makan saja. Sepertinya kamu serius untuk menanggapinya,” pecah ibunya. “ Jadi Hati memang bisa kita rawat, dan memang lebih mudah kembali subur, tapi sewaktu-waktu jika ia menemukan benih yang dulu pernah tumbuh, kamu bisa tersakiti. Sesungguhnya hati tidak akan pernah bersih dari masa lalunya,” ringkas ibunya.

“Tanpa terkecuali, Bu?” Tanya Koko dengan penuh kebingungan.

“ Hmmm... Dulu ibu pernah menaruh kasih kepada seorang pria. Dia baik. Cukup perhatian dengan ibu. Kita menjalin kasih diwaktu yang tidak bisa dibilang singkat. Namun, karena alasan tertentu, kita pisah. Ibumu ini hampir tidak bisa melupakannya. Pernah beberapa pria lain mendekati ibu. Ibu tetap tak bisa melupakannya. Sampai akhirnya ayahmu hadir di kehidupan ibu. Ayahmu dengan penampilan yang memang ciri khasnya. Dia mendekati ibu dengan caranya. Dia sangat sabar. Perhatian, dan rela memberikan waktunya untuk ibu,” Jawab ibunya.

“Bahkan ibu sudah melupakannya hingga saat ini, meski dulu sempat lagi berpapasan di transportasi umum yang sama,” tambah ibunya. “Ibu jadi merasa lucu mengingatnya. Mungkin inilah maksud dari pengalaman itu, agar ibu bisa bercerita ke kamu nak.”

“Hmmm... Ibu percaya, tak jauh buah jatuh dari pohonnya. Ayahmu punya cara tersendiri dan ternyata itulah cara terbaik saat itu untuk keadaan ibu. Begitu juga kelak kamu. Apalagi dengan kondisi saat ini. Tak ada lagi hati yang belum pernah ditanami. Hampir semua pernah ditumbuhi benih kasih. Saatnya kamu nak. Kamu jangan mau kalah sama ayahmu,” harap ibunya.

Lalu si Koko sedikit merenungkan apa maksud dari ibunya berkata demikian. Hingga dia berjalan dan kembali lagi, dan berjalan lagi ke tempat yang lebih jauh. Kembali lagi.

“Jadi apa yang harus Koko lakukan Bu misalnya hal itu terjadi pada Koko?”

“Kuncinya hanya ada satu, yakni kesabaran. Dari kesabaran akan tumbuh rasa kasih sayang yang bisa mengalahkan semua benih yang dahulu pernah tumbuh. Teruslah mengasihi meski kasih itu terkadang menyakitimu,” pungkas ibunya.

Terlihat cuaca sudah semakin mendung. Matahari sudah tidak ada. Merekapun bergegas dan segera pulang sebelum turun hujan. Lalu beberapa saat sebelum mereka pulang, ayahnya tiba-tiba datang menghampiri mereka.

“Ketika kamu cinta, kamu tak mengenal waktu. Kamu selalu ingin bersama. Tapi ingat, kamu punya cita-cita, kamu tetap harus meraihnya. Wanita baik ialah wanita yang mendukung yang dikasihinya untuk menatap masa depan dan kesuksesan yang ingin diraihnya. Seperti ibu kamu terhadap ayah. Iya kan, Bu?” jelas papanya sembari mengenang  kembali memori yang sudah lama ia tinggalkan.

“Ayah baru membaca buku kamu, ada sebuah tulisan singkat mengenai cita dan harapanmu. Ayah sangat setuju. Kamu katakan bahwa untuk mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi orang-orang hanya  bisa diam tanpa mengambil tindakan. Kamu berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua jurang kehidupan namun terlihat hanya berujung pada satu arah. Kamu katakan itu sebagai ‘dua jalan satu tujuan’, ayah setuju. Itu artinya kamu sudah mengerti arti hidupmu. Kamu disini itu untuk cintamu, kamu pergipun juga untuk cintamu. Raihlah impianmu. Ketika kamu takut, seketika itu lipatlah tanganmu, tunduklah, dan katakan apa yang kamu takutkan. Akan ada jawaban untuk segalanya,” tutup ayahnya.

Keesokannya, Koko berangkat merantau dan mengikuti arah jurang yang selalu ia lihat setiap kali bangun pagi. Dan bahkan menjadi pembuka mimpi-mimpinya. 

Bintan, 12 Desember 2014