Tampilkan postingan dengan label Rasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rasa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Juli 2016

Menaklukkan Diri



Gbr. Dari Hutan Jayagiri Hingga Ke Cikole
 “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.” Atau kata pepatah, “Mulutmu Harimaumu.”

Terkadang aku menulis memang bukan untuk orang lain atau pembaca. Makanya banyak dari tulisanku hanya kutulis di secarik kertas lalu terbuang entah kemana. Baru akhir-akhir ini saja aku menulis dibuku lalu kusalin ke media sosial sebut saja “blog”. Tak lain ialah supaya aku selalu ingat bahwa apa yang ada di hatiku, saat aku menulis, tetap ada sebagai pengingat diriku, setidaknya tiap kali aku menghela nafas. Sedang kalau ada pembaca yang baik hati ingin membaca dan ingin berbagi pandangannya dari apa yang kutulis, maka dengan senang hati aku menanggapinya untuk perbaikan diriku kedepannya.

Adapun “Menaklukkan Diri” di sini ialah ujian untuk tulisan demi tulisan, entah tulisan yang terbuang ataupun sempat kusalin, yang pernah ada. Tentang “Kekuatan Mengenal Rasa”, tentang “Manusia Dewasa”, “Integritas”, dan tentang tulisan lainnya. Agar tulisanku tak sekedar tulisan yang berlalu bagai secarik kertas terbang ditelan waktu. Apalagi telingaku terlatih mendengar semboyan “Belajarlah dari Alam” sebab memang alam tidak pernah berbohong. Bagaimana diciptakan, begitu adanya. Apa yang dilihat mata itulah sesungguhnya. Apa yang didengar telinga itulah yang terjadi. Apa yang dirasakan hati itu pula yang tergambarkan di alam bebas. Sesungguhnya hanya manusia yang ada tidak seperti adanya.

Pada tulisan sebelumnya tentang “Menerima Tantangan” aku memaknainya sebagai jalan sebelum aku mampu menaklukkan diriku sendiri. Ketika aku menantang diriku, semesta menjawabnya dan aku menerima semuanya dengan senyuman. Mungkin semesta berkata bahwa hanya-sekedar tidur di alam itu mudah bagi siapapun. Sehingga tidak seorangpun ada yang “mau” menemaniku menjalani tantangan yang ada dalam rencanaku. Tak cukup sampai di situ, aku juga diberi pemanasan, pendahuluan, untuk menelusuri hutan belantara selama 3 (tiga) jam sebagai bahan tambahan untuk merefleksikan diriku lebih dalam. Karena semua bisa terjadi saat itu juga.

Kalau aku mundur, sebenarnya mudah saja. Tetapi bagaimana tentang “Integritas” yang pernah kutulis? Orang lain mungkin akan mengerti dengan kukatakan bahwa aku tidak punya teman sehingga aku tidak jadi berkelana di hutan Cikole. Padahal karena takut, mungkin. Sedang bagaimana pertanggungjawabannya kepada diriku? Karena hanya diriku yang tahu seberapa besar makna segala yang tertulis dan seberapa besar pembuktian untuk semuanya itu. Bisa saja aku mundur dan orang-orang menerimaku dengan biasa. Tetapi hatiku akan meronta bahwa apa yang kutulis hanyalah dusta belaka, hanyalah tentang teori dan tidak mampu kubuktikan, meskipun banyak dari tulisanku itu ialah pengalaman yang sudah kualami.

Aku tidak ingin hidup seperti orang mati. Atau orang hidup yang hanya bernafas tetapi tidak menghidupi nafasnya. Karena tulisan bagiku bukan sekedar tulisan, melainkan ungkapan nafas dan detak jantungku. Bagiku tulisanku hidup. Dan sesungguhnya seharusnya semua tulisan memang hidup dan melekat di sanubari setiap penulisnya.

Mungkin terlihat bodoh bagi beberapa orang. Tetapi aku sendiri tidak ingin main-main dengan setiap apa yang terlontar dari mulutku apalagi berupa tulisan, yang mungkin beberapa puluh tahun lagi orang lain membacanya, atau bahkan anak-cucuku jika memang hidupku sampai pada tahap itu. Aku juga ingat bahwa perjalananku dari jam 12 siang hari pertama hingga hari kedua pada jam yang sama aku ingin menjalaninya dengan berpuasa, sebagai bentuk penghormatan dan mendekatkan diri lebih jauh dengan alam dan pencipta.

Dalam keheningan, dalam ribuan rasa yang ada saat itu, dalam kegelapan, dalam kesendirian sebagai manusia. Ya, hanya ada aku manusia di situ pada malam itu. Malam dalam kesejukan, sebenarnya sangat dingin, aku menggigil. Hingga aku tak tahu kata apalagi yang ingin kutuliskan untuk menggambarkan malam itu. Aku tidak tidur hingga kudengar suara merdu Adzan Subuh. Kupejamkan mataku dan kuucapkan begitu pelan “ujianmu selesai, sahabatku.”

Bangun dari tidur, sekitar jam 6 pagi, setelah semua perlengkapan kubungkus rapi dan kumasukkan dalam tasku. Kupeluk diriku sendiri sembari berkata, “Engkau kunobatkan sebagai seseorang yang telah berhasil menaklukkan diri!”

Musuh terkuatku ada di dalam hati dan pikiranku!
Cikole, 8 Juli 2016

Senin, 20 Juni 2016

Kekuatan Mengenal Rasa

Rasa merupakan salah satu yang hampir tidak pernah berbohong. Ketika cabe menyentuh lidah, rasanya pasti pedas. Ketika gula masuk ke mulut rasanya pasti manis. Ketika kulit tersayat pasti rasanya sakit. Ketika tidak tidur semalam saja pasti mengantuk. Itu sudah hukum alam. Tidak seorangpun yang akan berkata bahwa garam itu manis, terkecuali dia belum pernah makan garam dan tak mengenal manis.

Penting bagi setiap orang untuk mengenali apa yang sedang dirasa, agar mampu menjalani hari yang lebih baik dan bermakna. Pun dalam suatu hubungan, penting di dalam suatu hubungan memahami rasa pasangannya. Penting juga di suatu forum atau tempat keramaian untuk mersak dalam rasa yang mereka alami, sebelum kita tampil dengan rasa yang kita miliki.

Pernah di satu forum, ketika ingin mendapatkan poin apa saja yang ingin dituliskan dalam salah satu tugas pelatihan yakni buku refleksi harian, aku menyarankan untuk memasukkan rasa sebagai poin utama. Poin yang harus selalu ada di setiap lembar tulisannya, entah itu hanya sekata saja. Dengan begitu pengamat akan mampu melihat penulis buku harian jauh ke dalam tulisannya bukan sekedar apa yang tertulis, tertera di buku. Baik pengamat maupun penulis sama-sama menggunakan hati. Dengan begitu ketika ingin menyapa pun tidak sekedar sapaan basa yang sudah basi.

Misalnya seseorang yang menuliskan buku hariannya dengan satu kata yaitu “kecewa”. Pengamat tentu tidak langsung membaca “oh dia sedang kecewa” dan langsung pergi atau lanjut ke buku selanjutnya. Justru dengan satu rasa “kecewa” pengamat harus mampu melihat lebih dalam. Aku sendiri biasanya membuka dengan pertanyaan “mengapa?” untuk mengetahui penyebab seseorang kecewa dan “bagaimana?” untuk memancing keluar dari yang sudah terjadi dan melangkah kedepan.

Kita akan mendapatkan asumsi-asumsi. Tidak masalah, kita bisa kaji dengan masuk ke dalam diri kita. Apa penyebab kita sendiri bisa kecewa. Mungkin kita pernah kecewa dengan diri sendiri, karena terlambat masuk ke kelas. Kita terlambat masuk ke kelas salah satunya pasti karena terlambat bangun, terlambat bangun karena tidur terlalu malam atau begadang. Begadang terkadang karena sesuatu yang tidak terlalu penting misalnya terbuai dengan permainan.

Nah, setelah sampai pada tahap akar permasalahan, barulah kita menemuinya dan berkomunikasi dengannya agar lebih terkait atau bahasa kerennya “nyambung”. Dan seseorang yang kita ajak berbicara mampu melihat “kecewa” yang dimilikinya dan mampu pula mengubah rasa itu menjadi “semangat” yakni semangat untuk hari esok yang lebih baik, tentu dengan tidak tidur terlalu larut.

Namun, seharusnya rasa itu datangnya dari dalam. Rasa itu harus mampu menyentuh bagian terdalam dari diri agar mampu memaknai setiap peristiwa yang ada. Agar tidak timbul prasangka buruk, merasa tertipu, atau dipermainkan, dan hal negatif lainnya.

Pernah aku menyangka bahwa rasa makanan yang kulihat, yang ada di meja hidangan, pasti rasanya manis. Setelah kumakan, apa yang terjadi, ternyata rasanya asin. Dari peristiwa sederhana ini aku belajar banyak, apakah mungkin sepotong roti yang kumakan telah berbohong padaku, telah menghianatiku? Atau pikirankulah yang terlalu cepat menyimpulkan suatu hal yang belum kurasakan? Aku jadi ingat dengan perkataan seorang petani yang pernah kutemui. Petani padi sangat membutuhkan angin ketika petani sedang menampi padinya dan memisahkan padi yang berisi dengan jerami. Namun, angin yang cepat pula, angin kencang dan besar, yang mengakibatkan petani kerja dua kali.

Sama halnya dengan pikiran, pikiran yang membawa manusia menjadi lebih baik dari hari kemaren. Namun, pikiran yang terlalu cepat merespon sesuatu membuat seseorang itu kehilangan makna terpenting dari setiap perjalanannya. Terasa hari sama saja setiap hari.

Pun dengan hati yang terluka. Terkadang orang yang mengatakan hatinya telah dilukai seseorang, itu mungkin saja karena terlalu cepat mengambil kesimpulan. Misalnya ada seseorang melukai tangan saudara kita, apa respon pertama kita terhadap kejadian itu? Tentu kita tidak langsung mengejar pelakunya. Namun sebaliknya, kita melihat lukanya dan membalutnya agar darahnya tidak keluar dan terutama agar sakitnya tidak semakin parah.

Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah, jika seseorang melukai hati kita, apa yang kita lakukan? Dengan begitu cepat dan tanpa berpikir ulang kita memaki pelakunya dan mengejar sampai keujung dunia, kemanapun pelakunya bersembunyi. Mengapa kita tidak menilik hati kita terlebih dahulu? Mengapa kita tidak membalut lukanya? Percayalah lukanya ada di dalam bukan di luar. Semakin kita menyalahkan pelakunya semakin kita merobek luka hati kita dan semakin besar dan perih rasanya.

Mari kita belajar mengenal rasa kita dan belajar memeluknya, merangkulnya, membalutnya, memberikannya kehangatan. Niscaya luka yang ada akan pulih total meski prosesnya tidak mudah dan tidak cepat. Namun percayalah, ketika hati kita telah pulih, rasanya tidak perlu menyinggungnya kembali terkecuali kita ingin melukainya kembali. Tetapi tentu tidak ada manusia sehat yang ingin menyayat hatinya untuk yang kedua kalinya.

Hanya sedikit saran bagi siapa saja yang sedikit-sedikit, sebentar-sebentar, cerita ke temannya tentang luka yang dialaminya. “Cobalah ceritakan terlebih dahulu kepada dirimu sendiri tentang apa saja yang kamu rasakan sebelum bercerita kepada orang lain. Jangan-jangan kamu sendiri tidak pernah memahami hatimu, apalagi orang lain. Atau jangan-jangan setelah bercerita dengan diri sendiri, hati sendiri, berdamai dengannya, kamu merasa sudah tidak perlu bercerita kepada orang lain?”

“Silahkan duduk bersila, pejamkan matamu, sebagai pembuka agar bisa fokus, belajarlah fokus pada nafas. Ikuti aliran nafasmu dan sadari darimana datangnya udara yang masuk melalu hidung dan sisitem pernafasanmu. Menyebar ke seluruh tubuh dan kembali ke alam bebas. Kemudian ikuti aliran darahmu, dengarkan denyut nadimu, dan temui hatimu. Peluk mesra hatimu, rangkul rasamu, beri dia kehangatan, berceritalah mendalam dan pelan-pelan. Tak perlu malu, keluarkan semua yang kamu rasakan sebab hanya ada kamu dan dirimu sendiri di tempat itu saat itu. Jika ingin marah, marahlah. Jika ingin teriak, teriaklah. Dan jika ingin menangis maka menangislah jika memang itu bisa menyembuhkan lukamu dan menetralkan rasamu, memulihkan hatimu.”

@ricolg