Tampilkan postingan dengan label Fokus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fokus. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Juni 2016

Manusia Dewasa



Dia yang berdiri tetapi tidak meninggi
Dia yang merendah tetapi tidak hina
Dia yang terbuka bukan karena bodoh
Karena dia berjalan bukan sekedar jalan


Berawal dari satu pertanyaan konyol yakni perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa. HIngga saat ini aku melihat belum seorangpun anak-anak yang mampu merefleksikan kesehariannya, sesuatu yang dihadapinya, kehidupannya. Anak kecil selalu melihat apa yang terjadi dengan mata kepalanya. Semisal ia dimarahi ibunya, maka ia akan mengatakan ibunya pemarah. Kedepannya ia akan mendekati orang-orang yang tidak pernah marah. Akan menyebut ayahnya sebagai orang jahat ketika dibentak oleh ayahnya. Segala sesuatu perlu dihidangkan, disuap.

Sedang manusia dewasa seharusnya mampu sebaliknya. Mampu bercermin ke diri sendiri ketika terjadi sesuatu atau apapun yang dilihatnya terlebih yang menimpanya. Mampu melihat jauh ke dalam diri sendiri ketika mendapat amarah dari ibunya, ayahnya, lingkungan sekitarnya. Mampu melihat hal positif sekalipun hal buruk terjadi. Karena sesungguhnya seorang dewasa memiliki kemampuan untuk merefleksikan diri dari setiap kejadian yang ada disekitarnya.

Seorang dewasa tidak berdiri di atas tangga benar dan salah apalagi surga dan neraka, sesungguhnya tidak. Seorang dewasa tidak peduli arti kata, tidak lagi memerhatikan ketenaran, pujian, atau bahkan cacian. Ibarat pengembara, sekali dua kali ia mencari tahu arti dari kata berkelana. Mencari peta atau petunjuk menuju suatu desa, sebut saja desa “A”. Selanjutnya, esok hari jika ingin berkunjung ke desa tersebut, dia hanya akan berpikir, fokus, bagaimana perjalanannya berarti bagi setiap makhluk yang ada di sekitarnya dan mengabaikan arti kata berkelana sebab sesungguhnya dialah pengelana.

Bagi manusia dewasa pengalaman adalah ajaran. Mereka memahami bahwa nasehat berguna sebagai pelita bagi kakinya dan terang bagi jalannya. Mencoba bukan untuk bermain-main melainkan untuk mengetahui. Selalu berlatih karena sadar dengan melatih mampu menanam nilai yang ingin dimiliki. Selalu melakukan kini di sini bukan nanti di sana.

Terakhir, seharusnya seseorang yang mengaku dewasa mampu merefleksikan diri yakni melihat dan memaknai sesuatu hingga ke bagian terdalam dari suatu peristiwa, bukan hanya sejauh kemampuan mata.

@ricolg

Senin, 20 Juni 2016

Kekuatan Mengenal Rasa

Rasa merupakan salah satu yang hampir tidak pernah berbohong. Ketika cabe menyentuh lidah, rasanya pasti pedas. Ketika gula masuk ke mulut rasanya pasti manis. Ketika kulit tersayat pasti rasanya sakit. Ketika tidak tidur semalam saja pasti mengantuk. Itu sudah hukum alam. Tidak seorangpun yang akan berkata bahwa garam itu manis, terkecuali dia belum pernah makan garam dan tak mengenal manis.

Penting bagi setiap orang untuk mengenali apa yang sedang dirasa, agar mampu menjalani hari yang lebih baik dan bermakna. Pun dalam suatu hubungan, penting di dalam suatu hubungan memahami rasa pasangannya. Penting juga di suatu forum atau tempat keramaian untuk mersak dalam rasa yang mereka alami, sebelum kita tampil dengan rasa yang kita miliki.

Pernah di satu forum, ketika ingin mendapatkan poin apa saja yang ingin dituliskan dalam salah satu tugas pelatihan yakni buku refleksi harian, aku menyarankan untuk memasukkan rasa sebagai poin utama. Poin yang harus selalu ada di setiap lembar tulisannya, entah itu hanya sekata saja. Dengan begitu pengamat akan mampu melihat penulis buku harian jauh ke dalam tulisannya bukan sekedar apa yang tertulis, tertera di buku. Baik pengamat maupun penulis sama-sama menggunakan hati. Dengan begitu ketika ingin menyapa pun tidak sekedar sapaan basa yang sudah basi.

Misalnya seseorang yang menuliskan buku hariannya dengan satu kata yaitu “kecewa”. Pengamat tentu tidak langsung membaca “oh dia sedang kecewa” dan langsung pergi atau lanjut ke buku selanjutnya. Justru dengan satu rasa “kecewa” pengamat harus mampu melihat lebih dalam. Aku sendiri biasanya membuka dengan pertanyaan “mengapa?” untuk mengetahui penyebab seseorang kecewa dan “bagaimana?” untuk memancing keluar dari yang sudah terjadi dan melangkah kedepan.

Kita akan mendapatkan asumsi-asumsi. Tidak masalah, kita bisa kaji dengan masuk ke dalam diri kita. Apa penyebab kita sendiri bisa kecewa. Mungkin kita pernah kecewa dengan diri sendiri, karena terlambat masuk ke kelas. Kita terlambat masuk ke kelas salah satunya pasti karena terlambat bangun, terlambat bangun karena tidur terlalu malam atau begadang. Begadang terkadang karena sesuatu yang tidak terlalu penting misalnya terbuai dengan permainan.

Nah, setelah sampai pada tahap akar permasalahan, barulah kita menemuinya dan berkomunikasi dengannya agar lebih terkait atau bahasa kerennya “nyambung”. Dan seseorang yang kita ajak berbicara mampu melihat “kecewa” yang dimilikinya dan mampu pula mengubah rasa itu menjadi “semangat” yakni semangat untuk hari esok yang lebih baik, tentu dengan tidak tidur terlalu larut.

Namun, seharusnya rasa itu datangnya dari dalam. Rasa itu harus mampu menyentuh bagian terdalam dari diri agar mampu memaknai setiap peristiwa yang ada. Agar tidak timbul prasangka buruk, merasa tertipu, atau dipermainkan, dan hal negatif lainnya.

Pernah aku menyangka bahwa rasa makanan yang kulihat, yang ada di meja hidangan, pasti rasanya manis. Setelah kumakan, apa yang terjadi, ternyata rasanya asin. Dari peristiwa sederhana ini aku belajar banyak, apakah mungkin sepotong roti yang kumakan telah berbohong padaku, telah menghianatiku? Atau pikirankulah yang terlalu cepat menyimpulkan suatu hal yang belum kurasakan? Aku jadi ingat dengan perkataan seorang petani yang pernah kutemui. Petani padi sangat membutuhkan angin ketika petani sedang menampi padinya dan memisahkan padi yang berisi dengan jerami. Namun, angin yang cepat pula, angin kencang dan besar, yang mengakibatkan petani kerja dua kali.

Sama halnya dengan pikiran, pikiran yang membawa manusia menjadi lebih baik dari hari kemaren. Namun, pikiran yang terlalu cepat merespon sesuatu membuat seseorang itu kehilangan makna terpenting dari setiap perjalanannya. Terasa hari sama saja setiap hari.

Pun dengan hati yang terluka. Terkadang orang yang mengatakan hatinya telah dilukai seseorang, itu mungkin saja karena terlalu cepat mengambil kesimpulan. Misalnya ada seseorang melukai tangan saudara kita, apa respon pertama kita terhadap kejadian itu? Tentu kita tidak langsung mengejar pelakunya. Namun sebaliknya, kita melihat lukanya dan membalutnya agar darahnya tidak keluar dan terutama agar sakitnya tidak semakin parah.

Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah, jika seseorang melukai hati kita, apa yang kita lakukan? Dengan begitu cepat dan tanpa berpikir ulang kita memaki pelakunya dan mengejar sampai keujung dunia, kemanapun pelakunya bersembunyi. Mengapa kita tidak menilik hati kita terlebih dahulu? Mengapa kita tidak membalut lukanya? Percayalah lukanya ada di dalam bukan di luar. Semakin kita menyalahkan pelakunya semakin kita merobek luka hati kita dan semakin besar dan perih rasanya.

Mari kita belajar mengenal rasa kita dan belajar memeluknya, merangkulnya, membalutnya, memberikannya kehangatan. Niscaya luka yang ada akan pulih total meski prosesnya tidak mudah dan tidak cepat. Namun percayalah, ketika hati kita telah pulih, rasanya tidak perlu menyinggungnya kembali terkecuali kita ingin melukainya kembali. Tetapi tentu tidak ada manusia sehat yang ingin menyayat hatinya untuk yang kedua kalinya.

Hanya sedikit saran bagi siapa saja yang sedikit-sedikit, sebentar-sebentar, cerita ke temannya tentang luka yang dialaminya. “Cobalah ceritakan terlebih dahulu kepada dirimu sendiri tentang apa saja yang kamu rasakan sebelum bercerita kepada orang lain. Jangan-jangan kamu sendiri tidak pernah memahami hatimu, apalagi orang lain. Atau jangan-jangan setelah bercerita dengan diri sendiri, hati sendiri, berdamai dengannya, kamu merasa sudah tidak perlu bercerita kepada orang lain?”

“Silahkan duduk bersila, pejamkan matamu, sebagai pembuka agar bisa fokus, belajarlah fokus pada nafas. Ikuti aliran nafasmu dan sadari darimana datangnya udara yang masuk melalu hidung dan sisitem pernafasanmu. Menyebar ke seluruh tubuh dan kembali ke alam bebas. Kemudian ikuti aliran darahmu, dengarkan denyut nadimu, dan temui hatimu. Peluk mesra hatimu, rangkul rasamu, beri dia kehangatan, berceritalah mendalam dan pelan-pelan. Tak perlu malu, keluarkan semua yang kamu rasakan sebab hanya ada kamu dan dirimu sendiri di tempat itu saat itu. Jika ingin marah, marahlah. Jika ingin teriak, teriaklah. Dan jika ingin menangis maka menangislah jika memang itu bisa menyembuhkan lukamu dan menetralkan rasamu, memulihkan hatimu.”

@ricolg