Tampilkan postingan dengan label refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label refleksi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 November 2016

Manusia dan Alam adalah Sahabat



Baru saja mendengar berita yang terjadi di Kepulauan Riau dikatakan bahwa kapal yang karam dikarenakan cuaca yang BURUK. Hmmm baiklah, sebelumnya saya minta maaf bukan bermaksud tidak menghormati keluarga yang sedang berduka. Ada hal yang terlalu mengusik telinga ketika alam yang tidak* tahu apa-apa malah disebutkan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau bahkan diburuk-burukkan.

Setahu saya, sewaktu dulu saya sekilas belajar di bidang keilmuan Meteorologi, ada beberapa penggolongan level cuaca dan iklim. Mudah saja jika penasaran, bisa dicari dengan gadget masing-masing, kita akan mendapatkan kata yang cocok untuk penyebutan cuaca yang ada.

Seingat saya tidak ada penyebutan untuk cuaca maupun iklim seperti hal yang dikategorikan orang-orang pada umumnya sebut saja buruk, jelek, jahat, nakal, dan tidak bersahabat, kan lucu. Tidak juga mempelajari gejala alam untuk menuduhkan mereka sebagai penyebab terjadinya suatu bencana. Coba pikirkan, pernah tidak orang mengakui bahwa banjir di Jakarta itu karena manusia membuang sampah sembarangan atau karena tanah sudah tertutup oleh gedung-gedung sehingga kemampuan tanah untuk menyerap air sudah tidak ada, saluran air sudah tidak punya kekuatan untuk menampung air. Manusia akan menyebutkan sebagai bencana oleh alam. Bahkan ada yang membangun di dataran rendah yang notabene sarangnya salah satu keluaraga alam sebut saja air, juga bencana oleh alam.

Kami belajar untuk mengenali dan memahami agar manusia tahu tanda-tanda atau ciri-ciri suatu peristiwa untuk pencegahan diwaktu yang akan datang. Sedang pemberitaan yang ada malah berlainan atau parahnya lebih sering mengkambinghitamkan alam yang ada.

Supaya kedepannya tidak lagi asal menyebutkan, saya akan menyarankan penggunaan beberapa pemilihan kata yang cocok yakni rendah, sedang, dan tinggi. Atau pelan, sedang, dan kencang, atau lainnya. Para peneliti pun mengklasifikasikannya begitu, dan saya hanya mengulang serta mengingatkan. Tidak rumit, semisal ingin menyebutkan angin, silahkan tambahkan salah satu dari level yang telah saya sarankan. Misalnya angin kencang, atau ingin penyebutan hujan sebut saja curah hujan tinggi.

Tentu tidak! Longsor bukan karena tanah yang jahat. Banjir bukan karena air yang kejam. Gelombang tinggi bukan karena cuaca buruk. Angin kencang bukan karena tidak bersahabat. Suhu dingin sekali atau panas sekali bukan karena mereka jelek. Itu adalah sebuah siklus kehidupan mereka, pergerakan mereka. Alam punya caranya sendiri untuk makan dan minum. Mereka punya kemampuan yang unik untuk hidup. Justru kehadiran manusia yang tidak bersahabatlah menjadikan mereka terlihat tidak bersahabat.

Dan kita harus segera sadar bahwa penghuni bumi dan seisinya bukan hanya manusia. Segala sesuatu yang ada di bawah kolong langit dan yang ada di dalam bumi atau di atas kerak bumi punya hidup dan hak yang sama untuk bergerak. Sudah sewajarnya kita memahami bahwa pada dasarnya kita hidup bersahabat dengan semuanya. Bukan saling menuding atau bahkan menguasai. Karena manusia dan alam serta seisinya adalah sahabat.

Sabtu, 25 Juni 2016

Bukan Satu atau Dua



Bagi ibu pertiwi tak ada patriot satu atupun patriot dua. Patriot ialah mereka-mereka yang mampu memberikan jiwanya dan hatinya dengan sungguh-sungguh. Totalitas jiwa!

Terkadang level terkesan memisahkan, entahlah. Padahal itu hanya sebuah angka yang datang dari kesepakatan untuk mempermudah mengenal. Tapi, tak bisa dipungkiri, hal itu berefek kepada setiap orang yang mendengarnya, contohnya patriot angkatan atau yang diberangkatkan pertama dan patriot yang akan diberangkatkan kedua.

Selama pelatihan, seakan ada yang memisahkan antar angkatan. Bukan tentang materi atau teori yang didapatkan, karena memang kebutuhannya berbeda. Namun, lebih ke sikap dan perilaku. Untuk mempermudahnya sebutlah angkatan pertama sebagai P1 dan angkatan dua sebagai P2.

Dari beberapa kegiatan yang sering terlihat ialah P1 menganggap dirinya paling berpengalaman. Ada keangkuhan muncul dalam diri mereka ketika berhadapan dengan P2. Terpancar jiwa membedakan yang dialaminya dengan yang dilihatnya. Pun P2 memandang P1. Seakan P1 menjadi anak emas dan yang paling baik dari setiap pemateri bahkan induk semang atau bahkan penyelenggara, menurut kacamata P2. Perbandingan menjadi bom peledak. Padahal, seharusnya perbandingan itu hanyalah landasan untuk terus tumbuh.

Kedua angkatan ini, baik P1 terhadap P2 maupun sebaliknya, semakin hari terlihat semakin terpisah. Bahkan ada beberapa yang sebelum mengikuti patriot ini adalah sahabat sekarang mereka menjadi tidak nyaman. Aneh bukan? Pergerakan ini sebenarnya mati tanpa orang-orang yang di dalamnya. Dan jika orang di dalamnya pecah, apa jadinya patriot ini? Apa akhirnya pergerakan ini?


Usia hanyalah usia. Bukan dari besarnya angka atau banyaknya rambut yang memutih membuat orang dihormati, melainkan seberapa banyak garam yang ditabur, seberapa sering dia bermanfaat bagi sesamanya.


Lagipula, mengapa harus saling menganggap negatif? Mengapa tidak berkolaborasi? Bukankah  semboyan Indonesia “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” sudah cukup menjadi pegangan? Ketahuilah bahwa sesungguhnya tanah tumpah darah kita, Ibu Pertiwi, tidak berharap atau bahkan tidak peduli kita patriot satu atau patriot dua. Penantian hingga saat ini ialah sentuhan lembut dari kasih sayang kita semua.

Masih banyak hal yang harus kita lakukan bersama-sama. Terlalu sayang waktu yang singkat ini dihabiskan hanya untuk saling menyakiti. Lebih baik bergandengan tangan, saling menguatkan, saling melengkapi, membangun Indonesia yang lebih baik untuk kesejahteraan bangsa, untuk kemanusiaan.

#Patriot! #SiapMembangunBangsa!

Selasa, 21 Juni 2016

Manusia Dewasa



Dia yang berdiri tetapi tidak meninggi
Dia yang merendah tetapi tidak hina
Dia yang terbuka bukan karena bodoh
Karena dia berjalan bukan sekedar jalan


Berawal dari satu pertanyaan konyol yakni perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa. HIngga saat ini aku melihat belum seorangpun anak-anak yang mampu merefleksikan kesehariannya, sesuatu yang dihadapinya, kehidupannya. Anak kecil selalu melihat apa yang terjadi dengan mata kepalanya. Semisal ia dimarahi ibunya, maka ia akan mengatakan ibunya pemarah. Kedepannya ia akan mendekati orang-orang yang tidak pernah marah. Akan menyebut ayahnya sebagai orang jahat ketika dibentak oleh ayahnya. Segala sesuatu perlu dihidangkan, disuap.

Sedang manusia dewasa seharusnya mampu sebaliknya. Mampu bercermin ke diri sendiri ketika terjadi sesuatu atau apapun yang dilihatnya terlebih yang menimpanya. Mampu melihat jauh ke dalam diri sendiri ketika mendapat amarah dari ibunya, ayahnya, lingkungan sekitarnya. Mampu melihat hal positif sekalipun hal buruk terjadi. Karena sesungguhnya seorang dewasa memiliki kemampuan untuk merefleksikan diri dari setiap kejadian yang ada disekitarnya.

Seorang dewasa tidak berdiri di atas tangga benar dan salah apalagi surga dan neraka, sesungguhnya tidak. Seorang dewasa tidak peduli arti kata, tidak lagi memerhatikan ketenaran, pujian, atau bahkan cacian. Ibarat pengembara, sekali dua kali ia mencari tahu arti dari kata berkelana. Mencari peta atau petunjuk menuju suatu desa, sebut saja desa “A”. Selanjutnya, esok hari jika ingin berkunjung ke desa tersebut, dia hanya akan berpikir, fokus, bagaimana perjalanannya berarti bagi setiap makhluk yang ada di sekitarnya dan mengabaikan arti kata berkelana sebab sesungguhnya dialah pengelana.

Bagi manusia dewasa pengalaman adalah ajaran. Mereka memahami bahwa nasehat berguna sebagai pelita bagi kakinya dan terang bagi jalannya. Mencoba bukan untuk bermain-main melainkan untuk mengetahui. Selalu berlatih karena sadar dengan melatih mampu menanam nilai yang ingin dimiliki. Selalu melakukan kini di sini bukan nanti di sana.

Terakhir, seharusnya seseorang yang mengaku dewasa mampu merefleksikan diri yakni melihat dan memaknai sesuatu hingga ke bagian terdalam dari suatu peristiwa, bukan hanya sejauh kemampuan mata.

@ricolg