Sabtu, 24 Maret 2012

Kebebasan Banyak Partai bukan Bentuk Demokrasi yang Baik

Menurut Aristoteles, orang yang pertama kali menerapkan system pemerintahan demokrasi, menyatakan demokrasi ialah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan banyak orang (rakyat). Hal tersebut semakin berkembang dan semakin banyak dipakai oleh Negara-negara yang ada di dunia ini, sehingga dirumuskanlah beberapa ciri dari bentuk demokrasi, diantaranya adanya suara rakyat dalam pengambilan keputusan di kepemerintahan, mengakui persamaan hak setiap manusia, adanya kebebasan bagi seluruh warga, dan ditandai dengan pemilu.

Sebagai Negara yang menganut bentuk demokrasi, Indonesia juga menekankan berbagai ciri di atas. Sederhananya Demokrasi Indonesia merupakan bentuk kebebasan rakyat berpendapat, berbicara, dan turut serta dalam mengawasi keberjalanan pemerintah, baik dalam bentuk kritikan maupun hal lain. Lalu yang jadi pertanyaannya ialah mengapa kebebasan banyak partai bukan bentuk demokrasi yang baik, bukankah dengan banyaknya partai artinya semakin banyak rakyat Indonesia yang ingin memajukan Negara ini, salah satunya dengan membentuk partai-partai baru.

Secara terminologinya, partai merupakan kumpulan orang-orang yang bertujuan sama untuk menguasai kekuasaan suatu negara dan menjalankannya berdasarkan nilainya. Oleh sebab itu, bisa dikatakan semakin banyak partai yang beredar, maka semakin banyak persepsi dan nilai yang akan dibawa untuk Indonesia, karena tidak ada kesatuan nilai yang dibawa untuk mengendalikan pemerintah. Dengan hal itu terlihat bahwa rakyat Indonesia masih belum cerdas untuk memahami apa itu arti dari bentuk pemerintahan demokrasi. Karena yang dibutuhkan Indonesia kedepannya bukanlah banyaknya jumlah orang yang ingin memajukannya dengan membawa nilainya masing-masing, namun orang-orang yang punya satu hati (satu nilai) yang bergerak bersama untuk bumi pertiwi, dan menurunkan ego untuk kepentingan pribadi.

Namun bukan berarti di Indonesia hanya boleh 2 partai (misalnya partai pro dan partai kontra pemerintah). Justru yang menjadi inti dari penulisan ini ialah supaya penguasa membuat suatu system yang dapat mengatur keberjalanan demokrasi itu dengan baik, termasuk jumlah partai. Kalau menurut saya, 3-5 partai itu cukup untuk mewakili seluruh suara rakyat yang memiliki keanekaragaman karateristik ini. Dengan adanya peraturan yang mengatur, maka semakin jelaslah Indonesia ini mau dibawa kemana, karena hanya ada 5 pilihan, artinya semakin sedikit partainya semakin terlihat adanya “kesatuan hati” rakyat Indonesia untuk sama-sama memajukan Indoensia ini.

Akhir kata, demokrasi memang berbicara tentang kebebasan tapi bukan sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang tetap diatur oleh aturan yang berlaku. Karena apabila demokrasi tidak diatur maka demokrasi akan menjadi sumber utama pembodohan untuk setiap pemerintah yang menganutnyah.

‘Gaol 128080yy’

bukan MASA SISWA lagi, tapi sudah MAHASISWA

Kita kembali melihat hal dasar mengenai siswa dan mahasiswa. Dari sudut peran, posisi, dan potensinya bisa dijadikan sebagai perbandingan dasar yang kuat.

Jika kita mengingat kembali, kewajiban siswa sebagai pelajar yang selama kurang lebih 12 tahun kita dapat, yang selalu diingatkan dalam mata pelajaran PPKn/PKn diantaranya kewajiban siswa ialah mentaati peraturan sekolah dan pemerintah atau tidak melakukan tindakan kejahatan; belajar; berprestasi demi mengharumkan nama bamgsa; berprilaku baik terhadap orang tua, siswa lain, serta guru. Dengan melihat hal tersebut, sungguh sangat jauh perbedaannya jika dibandingkan dengan mahasiswa. Lalu pantaskah kita masih bersikap seperti para siswa sebagai pelajar. Inilah yang akan menjadi renungan mahasiswa kedepannya.

Mahasiswa sering dikatakan sebuah komunitas yang bebas dan memihak kepada rakyat, dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa harusnya mampu menunjukkan keberadaannya sedikit di atas masyarakat. Selain itu mahasiswa juga harusnya belum terpengaruhi oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme dan sifat kritis yang kuat. Idealisme bisa dikatakan suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut, dengan tujuan bersama.

Oleh karena itu tidak sepantasnyalah bila mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya setidaknya melalui masyarakat sekitarnya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan pula pemerintah yang hanya memikirkan hubungannya dengan Negara lain. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti terpisah dari masyarakat. Karena itu pentingnya diingatkan kembali perihal peran, fungsi (potensi), dan posisi mahasiswa untuk menentukan arah keberjalanan, perjuangan, dan kontribusi nyata mahasiswa.

Peran Mahasiswa

 Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”


Mahasiswa disebut sebagai Iron Stock, yaitu mahasiswa yang seharusnya menjadi manusia-manusia berkarakter tangguh dan memiliki kemampuan, bukan hanya sisi keilmuan saja, serta akhlak mulia yang nantinya menggantikan generasi-generasi sebelumnya, atau dalam sebutan sehari-harinya bahwa “mahasiswa merupakan tunas bangsa”. Intinya kita sebagai mahasiswa harus menyadari bahwa kita merupakan tunas atau harapan bangsa untuk masa depan bangsa kita, yaitu bangsa Indonesia.
Oleh karena sifat dari organisasi (kecil maupun besar) yang akan terus mengalami pergantian pemimpin, sehingga di masa-masa hidup di dunia kampus atau kemahasiswaan haruslah memanfaatkan waktu itu semaksimal mungkin. Hal ini dapat dijadikan pembelajaran atau kaderisasi demi menghadapi dunia yang lebih luas lagi yang akan diemban oleh mahasiswa itu setelah keluar dari status kemahasiswaannya (lulus).

 Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value

Mahasiswa disebut sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa yang seharusnya dapat sebagai penjaga nilai-nilai di masyarakat. Tentunya nilai yang dijaga merupakan nilai-nilai kebenaran yang selalu dikaji dan diemban masyarakat secara umum. Sedikit penjelasan tersebut menggambarkan, bahwa nilai yang harus dijaga mahasiswa adalah sesuatu yang bersifat benar mutlak, dan tidak ada lagi pertentangan di dalamnya. Namun selain menjaga, mahasiswa tentunya haruslah bisa menerapkan nilai itu supaya bisa menjadi contoh bagi masyarakat sekitarnya.

 Mahasiswa Sebagai “Agent of Change

Mahasiswa disebut sebagai Agent of Change, Artinya adalah mahasiswa yang seharusnya sebagai agen dari suatu perubahan, inti pergerakan.

Oleh karena itu, ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan, antara mahasiswa yang harus berkarakter kuat, sebagai penjaga nilai dan inti pergerakan dalam perubahan. Melihat ketiga hal tersebut, layaknya mahasiswa haruslah tahu tentang kondisi sekitarnya, apa yang terjadi, bagaimana cara menyikapinya, dan apa yang harus dilakukan. Tentunya untuk memegang bangsa kedepannya harus tahu realita bangsanya saat ini.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa itu harus menjadi inti dalam melakukan perubahan dikarenakan mahasiswa merupakan kaum intelektual. Mungkin hanya sedikit pemuda yang bisa merasakan status sebagai mahasiswa, dan dari jumlah itu bisa dihitung pula berapa persen lagi yang mau mengambil bagian dan mau mengaji tentang peran-peran mahasiswa terhadap bangsa dan negara ini. Namun, meskipun sedikit yang sadar akan hal itu, justru mahasiswa-mahasiswa yang telah sadar tersebutlah harusnya sebagai penggerak pemuda lain untuk disadarkan bahwa sudah seharusnya tidak lepas tangan begitu saja terhadap realita bangsa. Mahasiswa yang sudah sadar tidak boleh membiarkan bangsa ini melakukan perubahan ke arah yang salah. Oleh karena itu mahasiswa seharusnya dapat melakukan perubahan-perubahan baik dari hal yang kecil hingga ke permasalahan yang lebih besar lagi

Potensi Mahasiswa

Tugas perguruan tinggi yang diungkapkan M. Hatta yaitu membentuk manusisa susila dan demokrat yang memiliki tiga rincian inti, yaitu memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat; cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan; dan cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat.

Oleh karena itu, dari ungkapan M.Hatta tersebut, dapat disederhanakan bahwa tugas perguruan tinggi itu membentuk insan akademis, namun bukan fokus untuk belajar saja. Selanjutnya hal tersebut akan menjadi sebuah fungsi bagi mahasiswa itu sendiri dan dari fungsi itu, mahasiswa akan menyadari potensinya. Adapun ciri dari akademisi itu sendiri harus memiliki sifat sense of crisis, dan idealis yang selalu mengembangkan dirinya.

Sense of crisis artinya kepekaan dan kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya saat ini atau kepedulian terhadap realita bangsa. Oleh karena itu, mahasiswa dituntut bukan hanya sekedar kritis, tapi melainkan ikut serta dalam memberikan solusi-solusi berupa saran untuk memecahkan permasalahan yang ada. Sedangkan idealis dapat diartikan seperti pernyataan sebelumnya, yaitu suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut dengan tujuan bersama. Namun bukan berarti mahasiswa akan bergerak sendiri, lebih tepatnya mahasiswa itu punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Dengan itu mahasiswa harus selalu mengembangkan dirinya agar bisa menjadi generasi yang lebih peka dan mampu menghadapi tantangan di masa yang akan datang.

Posisi Mahasiswa

Sebagai mahasiswa yang memiliki ciri atau keunikan dan kelebihan serta potensinya tentu saja tidak bisa disamakan dengan rakyat sekitarnya dalam hal perjuangan dan kontribusi terhadap bangsa. Karena mahasiswa itu punya cara tersendiri untuk menanggapi masalah yang terjadi, pun masih tergolong kaum idealis dan kritis. Keyakinan dan pemikiran mahasiswa harusnya belum dipengaruhi oleh parpol, ormas, dan lain sebagainya. Sehingga saya setuju jika dikatakan bahwa mahasiswa memiliki posisi tersendiri dan penting diantara masyarakat dan pemerintah.

Mahasiswa sebagai masyarakat ke pemerintah dapat berperan sebagai fungsi kontrol politik, yaitu mengawasi dan juga membahas dalam setiap pengambilan keputusan beserta keputusan-keputusan yang telah dihasilkan sebelumnya, juga terkait tentang pengambilan keputusan perundang-undangan yang akan dibuat. Mahasiswa pun dapat berperan sebagai penyampai aspirasi rakyat tentunya dengan cara mahasiswa, melakukan interaksi sosial dengan masyarakat dilanjutkan dengan analisis masalah yang tepat maka diharapkan mahasiswa mampu menyampaikan realita yang terjadi di masyarakat beserta solusi berupa saran dan bertanggung jawab dalam menjawab masalah yang terjadi di masyarakat.

Sebaliknya mahasiswa sebagai pemerintah ke masyarakat dapat berperan sebagai penyambung lidah pemerintah. Tak jarang kebijakan-kebijakan pemerintah mengandung banyak salah pengertian dari masyarakat hanya dengan melihat media, oleh karena itu tugas mahasiswalah yang harus “menerjemahkan” maksud dan tujuan berbagai kebijakan kontroversial tersebut agar mudah dimengerti masyarakat. Mahasiswa tak seharusnya mengikuti suhu masyarakat saja, oleh karena itulah mahasiswa harus selalu mengkaji kebenaran yang terjadi. Jika langkah pemerintah benar, maka kita harus ikut mendukung langkah pemerintah tersebut, bukan menjatuhkan pemerintah. Tapi sebaliknya, jika langkah pemerintah salah, kita harus memberikan solusi berupa saran untuk pemerintah agar kebijakan yang akan diambil bisa diperbaiki dan bisa lebih diutamakan untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan rakyat.

Memang posisi mahasiswa bukanlah hal yang mudah, sebab mahasiswa berada di antara idealisme dan realita. Tak semuda membalikkan telapak tangan dalam mengaji realita dengan idealisme. Oleh karena itu tak jarang kita berat sebelah, saat kita membela idealisme ternyata kita melihat realita masyarakat yang semakin buruk. Saat kita berpihak pada realita, ternyata kita secara tak sadar sudah meninggalkan idealisme kita dan juga kadang sudah meninggalkan watak ilmu yang seharusnya kita miliki. Dengan itu mahasiswa harus tetap tegar, kuat, dan semangat sebagai inti pergerakan, lakukanlah dengan senang hati, tanpa mengeluh, jiwa pemuda harus selalu tumbuh untuk bangsa yang lebih baik, perubahan ke arah yang lebih baik. Contoh kasusnya yang paling sering kita temui adalah saat terjadi berbagai tindakan kekerasan, lalu kita melakukan aksi kekerasan juga seperti demo bakar ban, lempar kantor yang berwenang, merusak mobil plat merah. Apakah tindakan ini akan menjadi solusi terbaik, apakah dengan tindakan ini masalahnya akan segera berhenti dan tidak akan terulang. Memang terkadang untuk menyelesaikan hal yang keras harus dengan cara yang kasar juga tapi tetap memegang posisi kita sebagai mahasiswa, namun bukan itulah langkah satu-satunya. Hal ini akan menjadi renungan buat mahasiswa. Kita harus sadari dan penting digaris bawahi, yakni yang kita ubah itu bukanlah fisiknya dari negara ini, tapi mental dan pola pikirnya.

Namun tak jarang juga ditemui bahwa pergerakan mahasiswa itu sudah terkontaminasi oleh golongan-golongan tertentu seperti ormas dan partai politik. Tentunya secara tidak langsung jika kita kaji secara sadar, apabila mahasiswa bergerak dan berkaitan dengan organisasi eksternal akan ada kemungkinan besar tindakan kita menguntungkan organisasi eksternal tersebut. Oleh karena itu, posisi mahasiswa dalam pergerakan tentu memang harus ada pengajian kasus-demi kasus secara ilmiah dan mencari secara ilmiah tentang kebenarannya, barulah bertindak. Jangan bertindak dulu, yang pada akhirnya tidak mengerti inti permasalahannya, dan hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh organisasi eksternal tersebut.

'Gaol 128080yy'