Kamis, 28 April 2016

Mulai Dari Yang Kecil



“Ketika niat baik terhenti karena ketidakyakinan akan dampak baiknya dari niat itu, saat itu pula kita akan tahu bahwa kita telah membuang-buang waktu. Niat baik tak harus dirasakan oleh puluhan atau bahkan ratusan orang secara langsung. Bahkan dampaknya bermula hanya untuk satu atau dua orang saja itu sudah menjadi kebaikan yang mengakar. Aku percaya setiap orang yang setia terhadap perkara-perkara kecil kapanpun diberikan tanggung jawab besar dia akan setia pula.”

Dua malam yang lalu, tanggal 26 April 2016, aku dan beberapa temanku berkumpul di suatu desa di daerah yang memiliki suhu yang dingin. Kami datang dari berbagai daerah, memang tidak jauh, akan tetapi jika dilihat dari niatnya, kami berangkat dari tempat kami meletakkan kepala ke tempat yang bukan kediaman kami. Dan kami datang dengan hati yang tulus, mata yang berbinar, tujuan yang baik, untuk kemandirian lokal yang menunjang kemajuan daerah.

Kami semua memulai dengan semangat. Menjauhkan segala gangguan seperti telepon genggam. Mengabaikan mulut yang menganga karena mengantuk. Menaklukkan mata yang berat hingga memerah. Iya, kami melalui itu semua disaat kami kumpul dan bercerita berbagi pengalaman dan menyusun rencana untuk kemandirian lokal. Hampir tidak ada yang tidak bercerita malam itu. Dan baru malam itu aku merasakan keaktifan saudara-saudariku itu di saat ada forum.

Keesokan harinya, sesuai jadwal yang kami rencanakan sebelum memulai forum malamnya, kami masih melanjutkan pembicaraan yang tertunda karena malam itu terhenti mengikuti kesepakatan akan berhenti hingga pukul 11 malam. Pagi itu kami memulainya setelah beberapa teman yang berjuang mempersiapkan sarapan untuk kami. Sama seperti semalamnya, makan sebelum forum. Bedanya, semalamnya kami membeli makanan jadi, sedang pagi esoknya sarapan yang dihidangkan adalah masakan sendiri.

Sekitar pukul 9 pagi, kami memulai pembahasan selanjutnya. Kami memasuki pada tahap analisa setiap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan rencana untuk pengadaan serta sampai pada antisipasi kemungkinan yang merugikan. Setelah beberapa jam berlalu, terlihatlah beberapa dari kami yang mulai merasa gelisah karena ide yang hampir terhenti.

Akhirnya kami berbagi cerita dengan seseorang yang lebih berpengalaman dengan kami, kami menyebutnya “bapak”. Beliau mengutak-atik apa yang ada di dalam benak kami, niat kami, dan rencana kami yang dikatakannya bahwa ide seperti ini tak perlu orang seperti kami yang melakukannya. Hmmm, aku merasa terlalu diangkat. Iya, kami terlalu diangkat sehingga diharapkan harus bisa memikirkan yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Pada akhirnya kami menjadi kebingungan dan hampir melupakan rencana awal.

Dan, ide demi idepun bermunculan dalam benak tetapi tidak terungkapkan. Itu terlihat dari raut wajah dan binar mata yang terpampang jelas. Semoga setelah beberapa hari kedepan kami sudah bisa berbagi ide, mengeluarkan ide, dan ide itu yang bisa diterapkan untuk pemberdayaan masyarakat. Semoga bukan sekedar bisnis sosial. Semoga benar untuk kemandirian lokal.

“Jangan menyalahkan siapapun, melainkan melihat diri sendiri karena kebelummampuan diri sendiri mungkin jadi pemicu kegundahan hati saat ini. Terus belajar, terus berlatih.”

Jumat, 22 April 2016

Cinta Takkan Mati

“Sudahlah jangan kau kesini, nanti kau terhimpit. Di sini masih banyak pohon kayu tua, sedang yang muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya.”

Masih jelas diingatanku pesan terakhir bapak meski sudah berlalu 25 tahun yang silam dan bapak pun sudah dijemput Tuhan. Kisahnya ialah ketika aku berumur 18 tahun. Layaknya seorang bapak, ia hendak memberikan pelajaran yang berharga untuk anaknya, aku. Ia ingin sekali menjadi guru terbaik dalam pikiran dan hidup anaknya.

Tepat sebulan sebelum keberangkatanku untuk melanjutkan sekolah ke salah satu kota terkenal di Jawa Barat di salah satu institute ternama di Indonesia, Bapak mengajakku untuk belajar di alam terbuka. Dengan senang hati aku menerimanya, sebab selama SMA aku memang suka mengikuti kegiatan pramuka dan pecinta alam.

“Putra, anakku. Sebulan lagi kau akan pergi mengejar cita-citamu mencari ilmu setinggi-tingginya ke seberang pulau. Memang tidaklah terhitung jauh, tidak juga susah karena mudahnya akses yaitu pesawat. Tapi ketahuilah, bapakmu ini sudah tidak sekuat 40 tahun yang lalu, ya sebesar kau sekarang ini. Jadi, kalau bukan kau yang pulang menemui kami, tidaklah mungkin kita bisa bertatap wajah,” kata bapakku sesaat setelah kami usai makan malam.

“Nak, besok bapak akan mengajakmu ke perbatasan. Perjalanan dari sini ke tujuan jika tidak ada halangan sekitar dua hari. Nanti kita naik bus lima jam, dua jam naik ojeg, dan selebihnya jalan kaki. Tapi tenang, kita akan sering istirahat terutama kalau sudah lelah. Kalau lapar kita makan, kalau haus kita minum. Semua kita sesuaikan dengan kondisi di perjalanan.”

“Apakah kau tertarik?” Tanya bapak dengan penuh harapan aku untuk mengiyakannya.

Tentulah aku menyetujuinya sedang akupun memang menyukai kegiatan outdoor.

Lalu bapak menyarankanku tidur, karena kami akan berangkat pagi sebelum matahari terbit. Beliaupun menyarankanku untuk mengajak pacarku. Sayang sekali saat itu aku belum punya dan bahkan belum terpikirkan untuk memiliki.

Lalu aku melengkapi perlengkapan yang harus dibawa besok pagi, tepat sebelum tidur. Kalau tidak salah, aku tidur lebih dari jam 1 malam saat itu. Saat itu suasana rumahku sudah tidak terdengar suara manusia. Mungkin hanya tersisa suara jangkrik dan hewan-hewan malam.

Aku sempat teriak untuk mengetahui kondisi bapak dan ibu. Aku kuatir mereka belum melengkapi perlengkapan yang akan mereka bawa besok. Tapi karena aku pun mengantuk, aku memilih untuk tidur daripada memeriksa ke kamar mereka. Akupun tidak tega mengganggu tidur mereka.

Jam 5 pagi. “Bangun… Sayang, bangun. Hari sudah pagi,” teriak ibuku saat itu.

Bukan aku tidak mendengar, tapi mataku masih berat, sehingga semuanya masih terasa seperti dalam mimpi. Bahkan, alarm pun kumatikan semua. Hingga aku terbangun karena matahari tepat di atas keningku dan menyinari mataku.

Tak lama, aku langsung keluar. Aku keluar perlahan sebab kutahu bapak dan ibu pasti sudah menunggu dan akan marah. Aku buka pintu kamarku perlahan. Ternyata, mereka benar sudah menungguku.

“Eh Ibu, Bapak. Kalian sudah siap? Maaf putra terlambat bangun,” sapaku.

“Pelajaran pertama hari ini, alam bebas tidak bisa diajak berkompromi,” nasihat ibuku saat itu. Sangat mengherankan. Tidak pernah sebelumnya ibuku berkata seperti itu. Mungkin ketularan bapak, pikirku saat itu. Bahkan aku sempat bertanya kepada ibu maksud dari perkataannya tapi dia tidak menjawabnya. Beliau malah menyuruhku untuk langsung bergegas. Akupun menuruti pesannya, sebab aku takut dimarahin.

Setelah mandi aku disarankan sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat.

“Ayo Pak, Ibu kita sarapan bersama,” ajakku dengan nada kaku.

“Makanlah, kami sudah,” jawab bapakku tanpa memerhatikan ke arahku.

Aku ingat sarapanku saat itu hanya telur rebus, ubi rebus, dan sambal. Aku makan mungkin hanya 5 menit, saking takutnya mereka marah kepadaku. Setelah makan kami memeriksa perlengkapan kami untuk yang terakhir kalinya sebelum kami jalan. Kemudian kami jalan ke loket bus terdekat, tak jauh dari rumah. Mungkin hanya jalan semenit.

Bapak langsung menuju loket tiket, sedang kami diminta menunggu di kursi keberangkatan. Syukurlah bapak berhasil membawa 3 tiket dengan jadwal keberangkatan jam 6 pagi. Bisa mati aku dimarah kalau saja kami tidak dapat tiket, sebab memang itu kesalahanku.

Lima belas menit kemudian bis datang, dan kami memasukkan barang-barang kami dan segera duduk sesuai nomor kursi yang tertera di tiket. Usai semua penumpang, mungkin hanya lima menit, memasukkan barangnya dan duduk sesuai kursinya bis pun jalan.

“Wah, bisnya jalan tepat jam 6, sesuai yang tertera di tiket,” gumamku sembari berpikir dengan kejadian tadi pagi saat aku bangun terlambat dan semuanya kujalani dengan tergesa-gesa.

Ibuku mendengar gumamanku saat itu. Beliau bahkan bertanya apakah aku sudah mengerti kenapa tadi pagi ibuku bersikap seperti itu kepadaku. Tanpa menjawab pertanyaan ibuku, aku merenunginya sendiri dan dengan senyum-senyum aku membodohkan diriku sendiri. Ternyata itulah maksud ibuku. Aku diharapkan supaya selalu berjaga-jaga. Selalu bersiap dan punya rencana dan harus menjalani rencana itu dengan sungguh-sungguh.

Tiga jam kemudian, kami berhenti. Dan tiba-tiba supirnya meminta kami untuk turun sementara. Sependengaranku saat itu, supirnya berkata bahwa bannya mengalami kebocoran. Mau tidak mau kami semua harus turun.

Setelah turun, akupun masih merenung dan mensyukuri punya bapak dan ibu yang sangat sabar menghadapiku, aku masih mengingat kejadian kesalahanku dan kejadian keberangkatan bis hingga bocornya ban bis. Dan aku semakin mengerti kenapa selama ini bapak bersikap berbeda dari bapak yang lainnya.

“Aku harus bisa mengatur waktu sebelum waktu itu sendiri yang menyetirku,” pikirku saat itu.

“Nak, dalam banyak hal ada 2 hal dasar yang harus kita ketahui dan pegang. Pertama apakah hal itu mengandung masalah sehingga kita harus penuh pertimbangan dalam perencanaan akan suatu hal. Kedua apakah jika kita salah dalam melangkah hal tersebut mengundang masalah,” ujar bapakku saat itu sambil menepuk pundakku. Mungkin dia piker aku sedang melamun atau tertidur.

Aku tidak berbicara apapun. Aku hanya mencium tangan bapakku.  Aku tidak tahu apakah dia mengerti atau tidak. Yang pasti dalam pikiranku bahwa bapakku dan ibuku itu orangtua yang luar biasa.

"Masa lalu telah silam, jadikan setiap hal yang berlalu menjadi pelajaran untuk kedepannya. Di depan masih banyak pelajaran yang harus kau ketahui yang harus kau persiapkan untuk masa depanmu," pesan bapakku.

Sekitar 10 menit berlalu supir mengganti ban yang bocor, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan yang sepi, sunyi, para penumpangpun mulai tertidur. Kulihat ibu dan bapak pun sudah tertidur.

Lalu aku berjalan ke arah depan mendekati supir dan bertanya berapa lama lagi sampai tujuan, perbatasan. Jawabannya sekitar 3 jam. Tanpa basa basi aku langsung berpesan untuk menghentikan bis saat tiba di perbatasan nantinya. Karena aku sendiri tidak tahu letak pastinya perbatasan, sedang bapak dan ibu sedang tertidur. Syukurlah beliau tidak keberatan. Akupun bisa kembali ke kursi dan tidur dengan tenang.

3 jam kemudian "Simpang perbatasan turun, simpang perbatasan turun," teriak supir beberapa kali.

Akupun terbangun mendengar teriakan itu. Kulihat bapak dan ibuku masih tertidur. Lalu aku bangunkan mereka. Kami turun bertiga dan langsung menuju pangkalan ojeg.

"Mau kemana, Pak?" Tanya dua orang ojeg.

"Mau ke hulu, Pak," jawab bapakku.

"Siap, Pak!" Kata mereka. "Kita tunggu satu lagi, Pak. Mungkin tidak sampai 5 menit lagi sampai."

Diwaktu yang bersamaan salah satu dari tukang ojeg berbincang dengan ibuku.

"Ibu yakin akan ke hulu? Sebab sudah lama kami tidak mendengar orang ke hulu apalagi menghantar orang ke arah hulu," tanya salah satu ojeg, sependengaranku.

"Iya, ini si Bapak ingin melepaskan rasa kangennya dengan ayahnya, kakek si Putra, Pak," jawab ibuku.

Tidak lama satu ojeg yang dinanti pun tiba. Lalu kulihat bapak tawar menawar harga dengan mereka. Sampai akhirnya kami berangkat.

Kami berangkat bersama dan tidak berjauhan. Bapakku naik ojeg yang berbicara dengannya tadi. Ibuku naik ojeg yang baru saja datang. Sedang aku naik yang satunya lagi, yang tadi berbincang dengan ibuku.

Di tengah jalan aku bertanya kepada si ojeg. "Pak, aku dengar tadi pembicaraan bapak dengan ibuku. Sebenarnya hulu sejauh apa, Pak? Kenapa tidak pernah ada lagi yang berkunjung?"

"Saya kurang tahu, Dek! Tadi kata komandan, yang bersama bapak, sekitar 2 jam," jawab tukang ojeg. "Saya sudah 5 tahun kerja di sini, tapi belum pernah dapat penumpang ke sana. Ini baru pertama kali. Jadi saya kurang tahu pasti, dek."

"Bagus tidak, Pak?" Tanyaku penasaran.

"Sepengetahuan saya, dari cerita-cerita yang pernah saya dengar tempatnya itu unik dan luar biasa. Hampir semua wahana alam ada di sana," jawab tukang ojeg itu dengan semangat.

"Air panas ada, air terjun ada, berbagai jenis hewan masih ada, dan bahkan tumbuhan juga masih banyak yang belum saya ketahui namanya. Namun, sayang belum menjadi tempat wisata. Mungkin karena jalurnya yang sulit juga jauh dari pemukiman. Saya juga pernah dengar ada pengunjung, 15 tahun yang lalu, pulang tanpa sampai tujuan."

Hmmm... Aku masih tetap penasaran dan bahkan penasaranku semakin meledak-ledak setelah mendengar cerita tukang ojeg tersebut. Namun, karena kami sudah sampai, setelah perjalanan 3 jam kurang lebih, akupun mengakhiri penasaranku.

Setelah turun, kami melanjutkan perjalanan masuk ke arah hutan. Saat itu matahari sudah mulai terbenam. Kami pun meraba-raba ketika pembuatan tenda penginapan untuk satu malam. Yang lebih menakutkan lagi, saat itu petir menyambar-nyambar begitu kerasnya, rintik hujan mulai terasa di wajahku.

Aku selalu melihat gerakan tangan bapakku yang begitu lihai membuat tempat kami berteduh. Ibuku memasak air hangat sedang aku hanya bisa melihat. Syukurlah sebelum hujan, tenda sudah terpasang dan air sudang matang.

Tak lama, ibuku mengeluarkan makanan dan menyeduhkan segelah teh hangat buatku juga buat bapakku. Lalu kami meminumnya dengan perlahan. "Luar biasa" itulah tanggapanku saat itu. Memang aku selalu takjub setiap meminum air hangat di tengah hutan apalagi saat hujan.

Sehabis kami minum teh hangat buatan ibuku, kami melanjutkan makan malam. Makan malam terenak yang kurasakan saat itu. Sebab ini pertama kalinya aku dan orangtuaku makan malam bersama di hutan.

Sehabis makan bapak berpesan agar kami segera tidur dan bangun lebih pagi sebab harus melanjutkan perjalanan berikutnya menuju tempat yang dijanjikan. Katanya bahwa kami harus jalan kembali paling lambat jam 6 pagi. Tengah hari akan istirahat untuk makan, dan lanjut jalan sekitar sejam lagi ke tujuan akhir.

Entah apa yang terjadi, tidak seperti biasa, aku terbangun jam 4 pagi. Aku kebingungan hendak berbuat apa. Akhirnya aku memasak air hangat dan sarapan.

Jam 5 kurang, aku membangunkan bapak dan ibu. Meski dalam kondisi mengantuk, bapaknya dan ibunya langsung bangun dan melihat jam tangan. Mereka tersipu-sipu. Aku heran dalam hati.

Namun, aku tidak menghiraukan hal itu. Aku justru menghidangkan sarapan yang telah kubuat. Kami makan bersama. Puji Tuhan, mereka menyukai masakanku. Bapak sempat memujiku. Ibu juga ikut memujiku.

Setelah selesai sarapan, kami membersihkan sekitar kami. Kami membereskan kembali perlengkapan yang akan kami bawa untuk ke tujuan.

Jam setengah 6 kami sudah siap untuk jalan. Meskipun malamnya bapak berpesan akan jalan jam 6. Saat itu kami tidak perlu menunggu lama hingga jam 6. Kami langsung jalan. Untunglah kami membawa pelita untuk menerangi perjalan kami.

Tidak pernah kuduga dan tidak pernah diberitahu sebelumnya. Kami melewati semak belukar, ranting tua, pohon tua, rawa-rawa yang konon banyak hewan buas dan liar seperti ular, buaya, juga lintah. Tapi syukurla bapakku tidak memberitahu diawal. Mungkin saja aku akan takut saat itu jika diawal sudah diberitahu kondisi sebenarnya. Lagipula aku masih ingat prinsip bapak bahwa selama kami tidak berbuat jahat atau mengusik hidup mereka, merekapun tidak akan mengganggu.

Setelah kami beberapa jam melewati berbagai rintangan akhirnya kami melihat tempat peristirahatan. Kulihat bapak begitu senang.

Namun, aku melihat ada satu tantangan yang harus kami lewati yaitu memanjat pohon-pohon tua yang begitu miring. Itu cara satu-satunya menurut bapak. Bapak terlihat takut tapi bapak tidak mau menunjukkan ketakutannya.

Bapak terus memanjat sembari berkata bahwa tempat peristirahatan sudah terlihat, di atas. Dan tujuan pun sudah semakin dekat. Dari tempat peristirahatan juga sudah terlihat.

Saat itu bapak sudah di atas. Dia berjalan ke tempat yang lebih tinggi sembari menunggu kami naik.

Tidak lama kami bertiga berhasil sampai di tempat peristirahatan.

"Pak, sepertinya tempat bapak berdiri itu bagus. Aku ke sana ya, Pak," kataku saat itu karena penasaran melihat bapak yang memandang ke arah tujuan.

"Janganlah kau ke sana, Nak!" Larang ibuku saat itu.

"Sudahlah, jangan kau mendekat nanti kau terhimpit. Di sini pohon tua semua sedang yang muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya," pesan bapakku juga saat itu.

Namun, aku tetap melangkah dan menuju tempat bapak berdiri.

"Krek... krek... krek...," terdengar suara kayu yang ingin patah.

"Awas... hati-hati Putra! Mundur!" Sempat terdengarku suara bapak teriak.

Melihat kayu yang kuinjak semakin tidak kuat dan akan patah. Kulihat seakan bapak melompat dan mendorongku ke belakang.

Aku masih ingat, saat itu aku terjatuh kebelakang dan seperti akan jatuh ke jurang. Untunglah dengan cepat tanganku memegang ranting yang masih kuat, dan ibu langsung cepat melangkah dan menolongku.

Setelah aku dalam kondisi aman, kami sadar kalau bapak tidak terlihat bahkan bersuarapun tidak. Ibuku melihat bahwa bapak tadi melompat ke jurang. Sesaat sebelum menolongku, ibuku sempat melihat bapak tertusuk ranting dan masuk ke rawa yang banyak hewan buas.

"Bapakkkk... bapak...," teriak ibuku beberapa kali ke arah bapak terjatuh.

Aku sempat bertanya kemana bapak melompat.

Ibuku menjawab bahwa bapak melompat ke jurang yang berbahaya sembari menunjukkan jarinya.

Lalu ibuku berjalan memastikan tempat itu sembari berpesan agar aku tidak berpergian dan mengeraskan kepalaku. Ibuku marah sekali apalagi dengan tindakan bodohku saat itu.

Akupun hanya bisa terdiam saat itu. Sementara ibuku terus teriak-teriak memanggil bapak. Dia terus melihat ke arah ranting yang sempat menusuk bapak.

Aku melihat ada reaksi yang berbeda di wajah ibuku. Firasatku berkata sepertinya ibuku ingin melakukan hal yang bodoh. Dan memang betul, kulihat ibu semakin mendekati jurang. Dengan cepat aku langsung menangkapnya.

Ibuku marah saat itu. Dia marah sekali dan memukulku dengan ranting yang lumayan besar. Namun, aku hanya bisa terdiam dan membiarkan amarahnya teredam dengan sendirinya.

Saat suasana hening, aku memeluk ibuku. Aku mengaku salah telah keras kepala. Akupun bertanya kemana bapak pergi. Jawabannya pun sangat tidak kuharapkan dan tak pernah terpikirkan olehku.

"Dia sudah tiada. Entah kemanapun dia pergi, ibu tidak tahu. Yang pasti kita tidak akan melihat wajahnya lagi," jawab ibunya dengan teriak tangis keras.

"Maafkan aku ibu. Kalau saja... Hmmm tapi semua sudah terjadi. Namun, aku tidak mau bertindak bodoh lagi. Bapak telah berkorban untukku, artinya aku harus bertanggung jawab dengan segala yang akan terjadi di depan. Aku tidak akan membiarkan ibu pergi begitu saja, apalagi dengan cara bunuh diri. Betapa semakin kecewanya bapak denganku nanti, Bu. Aku akan jaga ibu seperti bapak telah melakukannya untukku," pintaku saat itu ke ibu.

"Jadi, sekarang apa yang akan kita lakukan, Bu?"

Aku sempat kosong hingga bertanya seperti itu ke ibuku.

Apa jawaban ibuku? Sudah kuduga, beliau mau meminta tolong ke perkampungan mencari bapak. Dia ingin melihat wajah bapak yang terakhir kalinya jika memang itu sudah suratan. 

Kami pergi tanpa memikirkan barang bawaan kami. Setelah usai bicara ibu tidak ingin mendengar pendapatku lagi. Bahkan, seingatku kami tidak ada berhenti hingga kami sampai di pangkalan ojeg. Aku kasihan dan takjub dengan ibu. Kami menembus perjalanan 2 hari tanpa makan.

Kemaren, setelah 15 tahun berlalu, ibuku berpesan yang membuat aku semakin takjub dengannya. Dia berpesan seiring semakin bertambahnya usia anakku, kamu, supaya aku mengajari anakku dan menemaninya setiap saat. Jangan sampai kebodohan dan keras kepalaku menurun ke cucunya.

Akupun mengaminkannya sehingga apa yang kamu rasakan selama ini ialah cerminan dari pengalamanku. Syukurlah, ibuku selalu mengingatkanku bahkan hingga aku punya anak. Aku selalu ingat pesan dan cara didikan bapakku. Baik dalam makan, sekolah anakku, tidur, pun dalam kehidupan lainnya.

Aku tahu cinta bapak yang begitu besar untukku harus diturunku untuk keturunannya. Bahkan nyawa taruhannya aku pun akan mengikutnya.

Tamat
                 

Kamis, 21 April 2016

Untunglah Bernafas Masih Gratis



“Jakartaaaaaaaa...”

“Ah... Betapa malunya membuat suatu tulisan yang menceritakan ketidakmampuan kita sendiri. Sangat tidak elegan ketika aku mengutuk kegelapan, bukannya menyalakan lilin. Akan tetapi semua ini realita dan bukan andai-mengandai, kawan. Iya, ini fakta tentang kota besar itu.”


Hari ini adalah hari ke dua aku di kota ini. Bangun lebih siang karena pertemuan lebih siang, yakni jam sepuluh pagi. Berani lebih siang karena berangkatpun sudah direncanakan menggunakan motor. Namun tetap saja, tiga jam atau setidaknya dua jam sebelumnya sudah harus berangkat. Benar saja, hari ini aku berangkat jam delapan lebih sedikit.

Aku tidak ingin bercerita tentang kemacetan, keributan, panasnya Jakarta, tentang wanita malamnya lagi. Aku hanya ingin teriak kalau di kota itu semuanya serba mahal. Untuk makan, sekali makan, dengan menu sederhana aku harus mengeluarkan setidaknya lima belas ribu rupiah, makan siang di hari pertama. Oh tidak.

Iya, akupun menyadari memang tak pantas hal ini diangkat menjadi sebuah tulisan. Karena bisa saja pembaca menyalahkanku. “Salah sendiri main di Jakarta. Kalau tidak sanggup mengapa harus di Jakarta. Iri tanda tak mampu.” Dan lain circaan bisa terungkap dari pembaca. Tapi aku tidak peduli, barangkali masih ada yang akan memberi tanggapan, “Iya juga ya...” atas tulisan ini, dan aku lebih suka dengan mereka.

Sehabis pertemuan pagi itu aku menemani teman bertemu dengan temannya. Kali ini bertemu di tempat yang mewah, selevel mall. Kusadari ini bukan tempatku tapi tidak ada salahnya mencoba hal-hal baru. Dan sampailah pada tahap pemilihan menu yang akan dipesan, aku memilih “matcha xyz”. Ouw, kupilih menu itu karena harga tiap menunya tidak berbeda jauh, namun ukuran yang kupilih lebih besar, akhirnya itulah menjadi santapan siang itu.

Wah, rasanya nikmat sekali senikmat harganya. Aku mencoba menikmati rasanya tiap sedotan sembari mengingat-ingat harganya, jujur nikmatnya tiga kali lipat. Kalau tidak percaya, silahkan dibuktikan sendiri. 
Namun, dilain cerita, sempat terpikir, setelah minuman itu habis, “aku tidak akan makan siang, kenyang.” Padahal bukan kenyang karena perut sudah penuh, melainkan menghitung-hitung pengeluaran selama dua hari di kota itu.

Baiklah, perjalanan itupun berakhir dan segera menuju travel ke arah bandung. Aku dan teman mendapat keberangkatan jam 5 sore. Tentu saja, melihat jam segitu, dan memperhitungkan waktu tiba di bandung, waktunya makan sebelum berangkat.

Aku memilih makan dengan menu ayam saja. Aku tidak melihat harganya, karena lama-kelamaan bisa pusing sendiri, hehe. Dan tibalah tahap membayar.

“Ayam doang kan Co, 14.000,” kata temanku.

Oke, kuberikan seperti yang tertera di menunya. Tentu saja aku curiga, karena baru kali ini menemukan menu ayam dengan harga seperti itu, di kota ini. Dan tak lama, kulihat dia kebingungan di depan kasir.

“Jadi itu baru harga ayamnya, untuk nasinya 4 ribu, mas,” kata kasir itu kudengar dari kejauhan.

Kudekati temanku, lalu kuselipkan lima ribu dan kami keluar menuju ruang tunggu travel. Haha
Yah, selesailah perjalanan hari itu, dengan beberapa pengalaman harga makanan dan minuman di kota besar yang sangat dikejar-kejar orang, kecuali aku, sebagai tempat mencari kerja.

Jakarta, 19 April 2016
Rico Ricardo Lumban Gaol

Kota Pembunuh



“Hahaha... Akhirnya aku harus melepaskan penatku dengan penat yang lebih mendalam. Menulis! Tunggu, beri aku semenit saja untuk melepaskan sepatu dan menghirup satu tarikan nafas yang cukup dalam. Oke aku, Siap!”

Tak pernah terpikirkan olehku untuk menginjakkan kaki demi mencari sesuap nasi di kota besar ini. Rasanya lebih baik bagiku tinggal di tempat yang masih banyak suara jangkrik dan nyanyian merdu burung-burung di pohon kala aku butuh teman. Bukan! Bukan aku tak ingin hidup berdampingan dengan manusia.

Hari ini ialah langkah awal aku membuktikan kalau tekadku untuk tidak berperang demi bagian tubuhku yang hanya sejengkal ini dimulai. Iya, setidaknya setahun kedepan aku akan tinggal di kota para bos besar ini tapi bukan untuk urusan perut, melainkan panggilan untuk mengambil bagian mengisi cawan kotor dengan setetes demi setetes air bersih-bening, semoga bisa.

Hmmm sebenarnya agak kikuk ketika berbicara tentang kota besar kalau aku tak menyebut namanya, tapi okelah sebut saja namanya Jakarta, setidaknya begitu kata orang-orang menyebut nama tempat itu.

Agak tidak sopan juga aku menghindari untuk hidup di kota ini tanpa alasan yang jelas. Baiklah! Pertama aku bukanlah orang yang terlalu suka dengan keramaian dan ketidaksabaran yang menggebu-gebu. Klakson di mana-mana tanpa kenal waktu padahal bisa saja saat itu masih lampu merah. Serobot sana-sini, yang diserobot mobil besar yang berada di jalurnya, sebut saja transJakarta, yang menyerobot kendaraan yang sudah pasti bukan jalurnya.

Oh iya, salah satu yang paling kutakutin juga untuk tinggal di kota ini adalah aku takut tua di jalan, haha. Semua orang sudah tahu betapa nyatanya kemacetan di kota ini. Salah satu siasat orang-orang ialah dengan mengorbankan tidurnya dengan bangun lebih awal, mungkin jam setengah lima atau jam lima. Yah mungkin paling siang jam setengah enam atau semalas-malasnya jam enam. Aku sendiri jam setengah lima sudah bangun, tadi pagi. Bukan menunjukkan selama ini aku ingin tidur lebih lama dan bangun lebih siang. Yang pasti bukanlah keinginanku bangun lebih awal dan pulang lebih malam, mungkin jam 8 atau 9 malam, demi menghindari kemacatan akibat kepadatan kota. Ah masih banyak fakta yang membuatku tidak nyaman di tempat ini.

Baru saja, ketika tulisan ini kutulis di kepalaku, bukan di jidatku, aku pulang dari daerah Jakarta Selatan menuju Jakarta Timur. Ada banyak yang ingin kutuliskan hanya dengan melihat 2 jam kondisi malam kota ini. Namun, satu yang tak mungkin tak ingin kutulis yaitu tentang wanita bergincu di pinggiran jalan.

Hehe, ingin sesekali berbicara dengan mereka, tapi ingin juga tidak. Tapi aku penasaran, apa yang ada di benak mereka ketika mereka pertama kali mengoleskan gincu ke bibir mereka lalu mengatur gaya mereka. 
Tapi aku juga tidak ingin turun dari mobil tumpanganku, sebutlah metro mini, memang begitu adanya, lalu disebut sebagai pahlawan kost-kostan. Tapi memang aku tertarik setidaknya untuk menghargai mereka bukan penghinaan kepada pekerjaan mereka, setidaknya makan bersama di amperan sembari bercerita sana-sini tentang kota yang menuntut mereka bermain mata.

Sekali lagi, aku juga tak ingin menjadi malaikat yang turun dari bajaj lalu menghukum dengan tidak jelas. Aku hanya ingin mendengar dan belajar dari perspektif pekerja “bebas” seperti mereka. Ah tapi itu masih jauh dari keberanianku, mungkin nanti atau tahun depan. Aku butuh udara segar agar bisa berbicara lebih tidak kaku dengan mereka nantinya.

Oke, cukup sampai di sini dulu, ingat. Pembaca tak perlu ikut berpusing-pusing. Ini pergumulanku yang sekarang belum punya atau tidak punya tempat mencurahkan isi hati daripada dipendam menjadi bisul. Kalau bisa, biarkan ini menjadi rahasia diantara kita. Tidak perlu diumbar, tapi untuk didiskusikan, mari kita diskusikan di wadah ini. Terutama mengapa judulnya begitu sadis, padahal tidak ada yang dibunuh di dalam ceritanya, tampaknya sih begitu, maka perlu kita menyamakan persepsi kita, hehe. Sekian terima kasih.

Jakarta, 18 April 2016.
Rico Ricardo Lumban Gaol