Tampilkan postingan dengan label Kalimantan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kalimantan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Juni 2016

Membunuh atau Diinjak



Hewan tetaplah hewan. Ia tak peduli siapa dan dimana, selama kehidupannya terganggu selama itu ia meraung. Dilema bagai buah simalakama hanyalah milik insan, manusia, biasa.

Menurut kisahnya bahwa gajah di Kalimantan Utara yang disebut sebagai “Nenek” oleh orang lokal sangat sering masuk desa. Masyarakat sangat terganggu dengan kehadiran gajah tersebut. Dikatakan bahwa kedatangan Nenek biasanya di bulan-bulan kering. Nenek akan datang dari hulu desa dan menjelajahi desa hingga ke hilir. Nenek akan menyebrangi sungai-sungai yang kering sembari mencari makanan. Tak sedikit masyarakat yang dirugikan dengan kondisi ini, terutama mental warga lokal.

Meskipun akhir-akhir ini Nenek sudah tidak pernah seberang ke desa yakni semenjak tahun 2013. Namun, masyarakat tetap waspada akan kedatangannya. Apalagi kalau sudah mendengar bahwa di hulu desa ditemukan jejak kakinya. Sungguh mental masyarakat akan terganggu bahkan sampai sukar untuk tidur. Sebab memang kedatangan Nenek tersebut sangat tidak terduga, tidak terasa langkahnya.

Syukurlah dahulu masih banyak dari masyarakat setempat tahu dan sadar bahwa gajah pun makhluk hidup dan mereka butuh makan untuk hidup. Namun, saat ini kondisi berbeda. Lingkungan mereka telah terusik baik keamanan gajah maupun masyarakat setempat. Mengapa? Tak lain dikarenakan beberapa perusahaan mulai bermasukan seperti perusahaan sawit, akasia, tambang, dan lainnya menguasai daerah mereka.

Dari beberapa kali terakhir gajah masuk ke desa, tak lagi sekedar lewat, gajah itu masuk dan memorakporandakan pedesaan. Warga hampir tidak bisa dan tidak tahu harus berbuat apa-apa. Apalagi mereka juga tahu bahwa membunuh gajah, hewan lindung, merupakan bentuk pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku di negara ini, Indonesia.

Ironis mendengar cerita itu. Warga lokal yang sangat menjaga alamnya, mereka terkena dampaknya karena perbuatan dan keserakahan pendatang. Kini yang terjadi para kaum beruang, berduit, semakin merajalela mengusik kehidupan yang ada di sana. Rumah kenyamanan gajah terusik, gajah mengusik perumahan desa, sedang masyarakat setempat hanya bisa duduk dalam diam karena dilema. Sering mereka melaporkan kejadian itu ke pemerintah setempat bahkan ke salah satu organisasi pemerhati lingkungan. Namun, tanggapannya negatif. Tidak ada respon, begitu kata mereka.

Terkadang mendengar cerita mereka, timbul pertanyaan tebersit di kepala entah sampai kapan mereka sabar dengan kondisi itu? Semoga saja sampai masalah itu tertangani. Entahlah. Namun, sudah selayaknya ada solusi dari mereka-mereka yang menganggap bahwa hewan itu harus dilindungi.

Pernah juga ketua adat berkata “Membunuh atau Diinjak” tidak ada bedanya, saking seringnya merasa terganggu oleh kehadiran gajah ke desa. Mungkin mereka tinggal menunggu. Entah menunggu tindak lanjut dari yang berwenang agar kedua hal itu terjadi atau memang menunggu tiba waktunya salah satu dari kedua pilihan itu terjadi. Pastinya kedua pilihan itu tidaklah mudah bagi mereka.

Terkadang miris mendengar cerita mereka ketika banyakd ari pemerhati hewan lindung berkata #SaveGajah #SaveHewanLindung. Namun tidak berkata #SaveHuman. Padahal kedua-duanya sama-sama objek yang menjadi korban atas keserakahan orang-orang berduit, sebutlah pengusaha lahan sawit dan perusahaan lainnya.

Lantas sudah adakah kebijakan yang benar-benar bijak untuk hal itu, untuk mereka yang terganggu? Sudah adakah kebijakan yang layak bagi mereka para pengusaha? Entah ada atau tidak adanya pengusaha si gajah tetap masuk desa, yang pasti kehadiran mereka menjadi katalis keresahan gajah dan masyarakat setempat. Hal ini harus sesegera mungkin ditindaklanjuti.

#SaveGajah #saveHuman #SaveVillage

Pasti ada pilihan terbaik selain “Diinjak” atau “Membunuh”.

Hilir desa, Desa Sekikilan, Kalimantan Utara.

Jumat, 22 April 2016

Cinta Takkan Mati

“Sudahlah jangan kau kesini, nanti kau terhimpit. Di sini masih banyak pohon kayu tua, sedang yang muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya.”

Masih jelas diingatanku pesan terakhir bapak meski sudah berlalu 25 tahun yang silam dan bapak pun sudah dijemput Tuhan. Kisahnya ialah ketika aku berumur 18 tahun. Layaknya seorang bapak, ia hendak memberikan pelajaran yang berharga untuk anaknya, aku. Ia ingin sekali menjadi guru terbaik dalam pikiran dan hidup anaknya.

Tepat sebulan sebelum keberangkatanku untuk melanjutkan sekolah ke salah satu kota terkenal di Jawa Barat di salah satu institute ternama di Indonesia, Bapak mengajakku untuk belajar di alam terbuka. Dengan senang hati aku menerimanya, sebab selama SMA aku memang suka mengikuti kegiatan pramuka dan pecinta alam.

“Putra, anakku. Sebulan lagi kau akan pergi mengejar cita-citamu mencari ilmu setinggi-tingginya ke seberang pulau. Memang tidaklah terhitung jauh, tidak juga susah karena mudahnya akses yaitu pesawat. Tapi ketahuilah, bapakmu ini sudah tidak sekuat 40 tahun yang lalu, ya sebesar kau sekarang ini. Jadi, kalau bukan kau yang pulang menemui kami, tidaklah mungkin kita bisa bertatap wajah,” kata bapakku sesaat setelah kami usai makan malam.

“Nak, besok bapak akan mengajakmu ke perbatasan. Perjalanan dari sini ke tujuan jika tidak ada halangan sekitar dua hari. Nanti kita naik bus lima jam, dua jam naik ojeg, dan selebihnya jalan kaki. Tapi tenang, kita akan sering istirahat terutama kalau sudah lelah. Kalau lapar kita makan, kalau haus kita minum. Semua kita sesuaikan dengan kondisi di perjalanan.”

“Apakah kau tertarik?” Tanya bapak dengan penuh harapan aku untuk mengiyakannya.

Tentulah aku menyetujuinya sedang akupun memang menyukai kegiatan outdoor.

Lalu bapak menyarankanku tidur, karena kami akan berangkat pagi sebelum matahari terbit. Beliaupun menyarankanku untuk mengajak pacarku. Sayang sekali saat itu aku belum punya dan bahkan belum terpikirkan untuk memiliki.

Lalu aku melengkapi perlengkapan yang harus dibawa besok pagi, tepat sebelum tidur. Kalau tidak salah, aku tidur lebih dari jam 1 malam saat itu. Saat itu suasana rumahku sudah tidak terdengar suara manusia. Mungkin hanya tersisa suara jangkrik dan hewan-hewan malam.

Aku sempat teriak untuk mengetahui kondisi bapak dan ibu. Aku kuatir mereka belum melengkapi perlengkapan yang akan mereka bawa besok. Tapi karena aku pun mengantuk, aku memilih untuk tidur daripada memeriksa ke kamar mereka. Akupun tidak tega mengganggu tidur mereka.

Jam 5 pagi. “Bangun… Sayang, bangun. Hari sudah pagi,” teriak ibuku saat itu.

Bukan aku tidak mendengar, tapi mataku masih berat, sehingga semuanya masih terasa seperti dalam mimpi. Bahkan, alarm pun kumatikan semua. Hingga aku terbangun karena matahari tepat di atas keningku dan menyinari mataku.

Tak lama, aku langsung keluar. Aku keluar perlahan sebab kutahu bapak dan ibu pasti sudah menunggu dan akan marah. Aku buka pintu kamarku perlahan. Ternyata, mereka benar sudah menungguku.

“Eh Ibu, Bapak. Kalian sudah siap? Maaf putra terlambat bangun,” sapaku.

“Pelajaran pertama hari ini, alam bebas tidak bisa diajak berkompromi,” nasihat ibuku saat itu. Sangat mengherankan. Tidak pernah sebelumnya ibuku berkata seperti itu. Mungkin ketularan bapak, pikirku saat itu. Bahkan aku sempat bertanya kepada ibu maksud dari perkataannya tapi dia tidak menjawabnya. Beliau malah menyuruhku untuk langsung bergegas. Akupun menuruti pesannya, sebab aku takut dimarahin.

Setelah mandi aku disarankan sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat.

“Ayo Pak, Ibu kita sarapan bersama,” ajakku dengan nada kaku.

“Makanlah, kami sudah,” jawab bapakku tanpa memerhatikan ke arahku.

Aku ingat sarapanku saat itu hanya telur rebus, ubi rebus, dan sambal. Aku makan mungkin hanya 5 menit, saking takutnya mereka marah kepadaku. Setelah makan kami memeriksa perlengkapan kami untuk yang terakhir kalinya sebelum kami jalan. Kemudian kami jalan ke loket bus terdekat, tak jauh dari rumah. Mungkin hanya jalan semenit.

Bapak langsung menuju loket tiket, sedang kami diminta menunggu di kursi keberangkatan. Syukurlah bapak berhasil membawa 3 tiket dengan jadwal keberangkatan jam 6 pagi. Bisa mati aku dimarah kalau saja kami tidak dapat tiket, sebab memang itu kesalahanku.

Lima belas menit kemudian bis datang, dan kami memasukkan barang-barang kami dan segera duduk sesuai nomor kursi yang tertera di tiket. Usai semua penumpang, mungkin hanya lima menit, memasukkan barangnya dan duduk sesuai kursinya bis pun jalan.

“Wah, bisnya jalan tepat jam 6, sesuai yang tertera di tiket,” gumamku sembari berpikir dengan kejadian tadi pagi saat aku bangun terlambat dan semuanya kujalani dengan tergesa-gesa.

Ibuku mendengar gumamanku saat itu. Beliau bahkan bertanya apakah aku sudah mengerti kenapa tadi pagi ibuku bersikap seperti itu kepadaku. Tanpa menjawab pertanyaan ibuku, aku merenunginya sendiri dan dengan senyum-senyum aku membodohkan diriku sendiri. Ternyata itulah maksud ibuku. Aku diharapkan supaya selalu berjaga-jaga. Selalu bersiap dan punya rencana dan harus menjalani rencana itu dengan sungguh-sungguh.

Tiga jam kemudian, kami berhenti. Dan tiba-tiba supirnya meminta kami untuk turun sementara. Sependengaranku saat itu, supirnya berkata bahwa bannya mengalami kebocoran. Mau tidak mau kami semua harus turun.

Setelah turun, akupun masih merenung dan mensyukuri punya bapak dan ibu yang sangat sabar menghadapiku, aku masih mengingat kejadian kesalahanku dan kejadian keberangkatan bis hingga bocornya ban bis. Dan aku semakin mengerti kenapa selama ini bapak bersikap berbeda dari bapak yang lainnya.

“Aku harus bisa mengatur waktu sebelum waktu itu sendiri yang menyetirku,” pikirku saat itu.

“Nak, dalam banyak hal ada 2 hal dasar yang harus kita ketahui dan pegang. Pertama apakah hal itu mengandung masalah sehingga kita harus penuh pertimbangan dalam perencanaan akan suatu hal. Kedua apakah jika kita salah dalam melangkah hal tersebut mengundang masalah,” ujar bapakku saat itu sambil menepuk pundakku. Mungkin dia piker aku sedang melamun atau tertidur.

Aku tidak berbicara apapun. Aku hanya mencium tangan bapakku.  Aku tidak tahu apakah dia mengerti atau tidak. Yang pasti dalam pikiranku bahwa bapakku dan ibuku itu orangtua yang luar biasa.

"Masa lalu telah silam, jadikan setiap hal yang berlalu menjadi pelajaran untuk kedepannya. Di depan masih banyak pelajaran yang harus kau ketahui yang harus kau persiapkan untuk masa depanmu," pesan bapakku.

Sekitar 10 menit berlalu supir mengganti ban yang bocor, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan yang sepi, sunyi, para penumpangpun mulai tertidur. Kulihat ibu dan bapak pun sudah tertidur.

Lalu aku berjalan ke arah depan mendekati supir dan bertanya berapa lama lagi sampai tujuan, perbatasan. Jawabannya sekitar 3 jam. Tanpa basa basi aku langsung berpesan untuk menghentikan bis saat tiba di perbatasan nantinya. Karena aku sendiri tidak tahu letak pastinya perbatasan, sedang bapak dan ibu sedang tertidur. Syukurlah beliau tidak keberatan. Akupun bisa kembali ke kursi dan tidur dengan tenang.

3 jam kemudian "Simpang perbatasan turun, simpang perbatasan turun," teriak supir beberapa kali.

Akupun terbangun mendengar teriakan itu. Kulihat bapak dan ibuku masih tertidur. Lalu aku bangunkan mereka. Kami turun bertiga dan langsung menuju pangkalan ojeg.

"Mau kemana, Pak?" Tanya dua orang ojeg.

"Mau ke hulu, Pak," jawab bapakku.

"Siap, Pak!" Kata mereka. "Kita tunggu satu lagi, Pak. Mungkin tidak sampai 5 menit lagi sampai."

Diwaktu yang bersamaan salah satu dari tukang ojeg berbincang dengan ibuku.

"Ibu yakin akan ke hulu? Sebab sudah lama kami tidak mendengar orang ke hulu apalagi menghantar orang ke arah hulu," tanya salah satu ojeg, sependengaranku.

"Iya, ini si Bapak ingin melepaskan rasa kangennya dengan ayahnya, kakek si Putra, Pak," jawab ibuku.

Tidak lama satu ojeg yang dinanti pun tiba. Lalu kulihat bapak tawar menawar harga dengan mereka. Sampai akhirnya kami berangkat.

Kami berangkat bersama dan tidak berjauhan. Bapakku naik ojeg yang berbicara dengannya tadi. Ibuku naik ojeg yang baru saja datang. Sedang aku naik yang satunya lagi, yang tadi berbincang dengan ibuku.

Di tengah jalan aku bertanya kepada si ojeg. "Pak, aku dengar tadi pembicaraan bapak dengan ibuku. Sebenarnya hulu sejauh apa, Pak? Kenapa tidak pernah ada lagi yang berkunjung?"

"Saya kurang tahu, Dek! Tadi kata komandan, yang bersama bapak, sekitar 2 jam," jawab tukang ojeg. "Saya sudah 5 tahun kerja di sini, tapi belum pernah dapat penumpang ke sana. Ini baru pertama kali. Jadi saya kurang tahu pasti, dek."

"Bagus tidak, Pak?" Tanyaku penasaran.

"Sepengetahuan saya, dari cerita-cerita yang pernah saya dengar tempatnya itu unik dan luar biasa. Hampir semua wahana alam ada di sana," jawab tukang ojeg itu dengan semangat.

"Air panas ada, air terjun ada, berbagai jenis hewan masih ada, dan bahkan tumbuhan juga masih banyak yang belum saya ketahui namanya. Namun, sayang belum menjadi tempat wisata. Mungkin karena jalurnya yang sulit juga jauh dari pemukiman. Saya juga pernah dengar ada pengunjung, 15 tahun yang lalu, pulang tanpa sampai tujuan."

Hmmm... Aku masih tetap penasaran dan bahkan penasaranku semakin meledak-ledak setelah mendengar cerita tukang ojeg tersebut. Namun, karena kami sudah sampai, setelah perjalanan 3 jam kurang lebih, akupun mengakhiri penasaranku.

Setelah turun, kami melanjutkan perjalanan masuk ke arah hutan. Saat itu matahari sudah mulai terbenam. Kami pun meraba-raba ketika pembuatan tenda penginapan untuk satu malam. Yang lebih menakutkan lagi, saat itu petir menyambar-nyambar begitu kerasnya, rintik hujan mulai terasa di wajahku.

Aku selalu melihat gerakan tangan bapakku yang begitu lihai membuat tempat kami berteduh. Ibuku memasak air hangat sedang aku hanya bisa melihat. Syukurlah sebelum hujan, tenda sudah terpasang dan air sudang matang.

Tak lama, ibuku mengeluarkan makanan dan menyeduhkan segelah teh hangat buatku juga buat bapakku. Lalu kami meminumnya dengan perlahan. "Luar biasa" itulah tanggapanku saat itu. Memang aku selalu takjub setiap meminum air hangat di tengah hutan apalagi saat hujan.

Sehabis kami minum teh hangat buatan ibuku, kami melanjutkan makan malam. Makan malam terenak yang kurasakan saat itu. Sebab ini pertama kalinya aku dan orangtuaku makan malam bersama di hutan.

Sehabis makan bapak berpesan agar kami segera tidur dan bangun lebih pagi sebab harus melanjutkan perjalanan berikutnya menuju tempat yang dijanjikan. Katanya bahwa kami harus jalan kembali paling lambat jam 6 pagi. Tengah hari akan istirahat untuk makan, dan lanjut jalan sekitar sejam lagi ke tujuan akhir.

Entah apa yang terjadi, tidak seperti biasa, aku terbangun jam 4 pagi. Aku kebingungan hendak berbuat apa. Akhirnya aku memasak air hangat dan sarapan.

Jam 5 kurang, aku membangunkan bapak dan ibu. Meski dalam kondisi mengantuk, bapaknya dan ibunya langsung bangun dan melihat jam tangan. Mereka tersipu-sipu. Aku heran dalam hati.

Namun, aku tidak menghiraukan hal itu. Aku justru menghidangkan sarapan yang telah kubuat. Kami makan bersama. Puji Tuhan, mereka menyukai masakanku. Bapak sempat memujiku. Ibu juga ikut memujiku.

Setelah selesai sarapan, kami membersihkan sekitar kami. Kami membereskan kembali perlengkapan yang akan kami bawa untuk ke tujuan.

Jam setengah 6 kami sudah siap untuk jalan. Meskipun malamnya bapak berpesan akan jalan jam 6. Saat itu kami tidak perlu menunggu lama hingga jam 6. Kami langsung jalan. Untunglah kami membawa pelita untuk menerangi perjalan kami.

Tidak pernah kuduga dan tidak pernah diberitahu sebelumnya. Kami melewati semak belukar, ranting tua, pohon tua, rawa-rawa yang konon banyak hewan buas dan liar seperti ular, buaya, juga lintah. Tapi syukurla bapakku tidak memberitahu diawal. Mungkin saja aku akan takut saat itu jika diawal sudah diberitahu kondisi sebenarnya. Lagipula aku masih ingat prinsip bapak bahwa selama kami tidak berbuat jahat atau mengusik hidup mereka, merekapun tidak akan mengganggu.

Setelah kami beberapa jam melewati berbagai rintangan akhirnya kami melihat tempat peristirahatan. Kulihat bapak begitu senang.

Namun, aku melihat ada satu tantangan yang harus kami lewati yaitu memanjat pohon-pohon tua yang begitu miring. Itu cara satu-satunya menurut bapak. Bapak terlihat takut tapi bapak tidak mau menunjukkan ketakutannya.

Bapak terus memanjat sembari berkata bahwa tempat peristirahatan sudah terlihat, di atas. Dan tujuan pun sudah semakin dekat. Dari tempat peristirahatan juga sudah terlihat.

Saat itu bapak sudah di atas. Dia berjalan ke tempat yang lebih tinggi sembari menunggu kami naik.

Tidak lama kami bertiga berhasil sampai di tempat peristirahatan.

"Pak, sepertinya tempat bapak berdiri itu bagus. Aku ke sana ya, Pak," kataku saat itu karena penasaran melihat bapak yang memandang ke arah tujuan.

"Janganlah kau ke sana, Nak!" Larang ibuku saat itu.

"Sudahlah, jangan kau mendekat nanti kau terhimpit. Di sini pohon tua semua sedang yang muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya," pesan bapakku juga saat itu.

Namun, aku tetap melangkah dan menuju tempat bapak berdiri.

"Krek... krek... krek...," terdengar suara kayu yang ingin patah.

"Awas... hati-hati Putra! Mundur!" Sempat terdengarku suara bapak teriak.

Melihat kayu yang kuinjak semakin tidak kuat dan akan patah. Kulihat seakan bapak melompat dan mendorongku ke belakang.

Aku masih ingat, saat itu aku terjatuh kebelakang dan seperti akan jatuh ke jurang. Untunglah dengan cepat tanganku memegang ranting yang masih kuat, dan ibu langsung cepat melangkah dan menolongku.

Setelah aku dalam kondisi aman, kami sadar kalau bapak tidak terlihat bahkan bersuarapun tidak. Ibuku melihat bahwa bapak tadi melompat ke jurang. Sesaat sebelum menolongku, ibuku sempat melihat bapak tertusuk ranting dan masuk ke rawa yang banyak hewan buas.

"Bapakkkk... bapak...," teriak ibuku beberapa kali ke arah bapak terjatuh.

Aku sempat bertanya kemana bapak melompat.

Ibuku menjawab bahwa bapak melompat ke jurang yang berbahaya sembari menunjukkan jarinya.

Lalu ibuku berjalan memastikan tempat itu sembari berpesan agar aku tidak berpergian dan mengeraskan kepalaku. Ibuku marah sekali apalagi dengan tindakan bodohku saat itu.

Akupun hanya bisa terdiam saat itu. Sementara ibuku terus teriak-teriak memanggil bapak. Dia terus melihat ke arah ranting yang sempat menusuk bapak.

Aku melihat ada reaksi yang berbeda di wajah ibuku. Firasatku berkata sepertinya ibuku ingin melakukan hal yang bodoh. Dan memang betul, kulihat ibu semakin mendekati jurang. Dengan cepat aku langsung menangkapnya.

Ibuku marah saat itu. Dia marah sekali dan memukulku dengan ranting yang lumayan besar. Namun, aku hanya bisa terdiam dan membiarkan amarahnya teredam dengan sendirinya.

Saat suasana hening, aku memeluk ibuku. Aku mengaku salah telah keras kepala. Akupun bertanya kemana bapak pergi. Jawabannya pun sangat tidak kuharapkan dan tak pernah terpikirkan olehku.

"Dia sudah tiada. Entah kemanapun dia pergi, ibu tidak tahu. Yang pasti kita tidak akan melihat wajahnya lagi," jawab ibunya dengan teriak tangis keras.

"Maafkan aku ibu. Kalau saja... Hmmm tapi semua sudah terjadi. Namun, aku tidak mau bertindak bodoh lagi. Bapak telah berkorban untukku, artinya aku harus bertanggung jawab dengan segala yang akan terjadi di depan. Aku tidak akan membiarkan ibu pergi begitu saja, apalagi dengan cara bunuh diri. Betapa semakin kecewanya bapak denganku nanti, Bu. Aku akan jaga ibu seperti bapak telah melakukannya untukku," pintaku saat itu ke ibu.

"Jadi, sekarang apa yang akan kita lakukan, Bu?"

Aku sempat kosong hingga bertanya seperti itu ke ibuku.

Apa jawaban ibuku? Sudah kuduga, beliau mau meminta tolong ke perkampungan mencari bapak. Dia ingin melihat wajah bapak yang terakhir kalinya jika memang itu sudah suratan. 

Kami pergi tanpa memikirkan barang bawaan kami. Setelah usai bicara ibu tidak ingin mendengar pendapatku lagi. Bahkan, seingatku kami tidak ada berhenti hingga kami sampai di pangkalan ojeg. Aku kasihan dan takjub dengan ibu. Kami menembus perjalanan 2 hari tanpa makan.

Kemaren, setelah 15 tahun berlalu, ibuku berpesan yang membuat aku semakin takjub dengannya. Dia berpesan seiring semakin bertambahnya usia anakku, kamu, supaya aku mengajari anakku dan menemaninya setiap saat. Jangan sampai kebodohan dan keras kepalaku menurun ke cucunya.

Akupun mengaminkannya sehingga apa yang kamu rasakan selama ini ialah cerminan dari pengalamanku. Syukurlah, ibuku selalu mengingatkanku bahkan hingga aku punya anak. Aku selalu ingat pesan dan cara didikan bapakku. Baik dalam makan, sekolah anakku, tidur, pun dalam kehidupan lainnya.

Aku tahu cinta bapak yang begitu besar untukku harus diturunku untuk keturunannya. Bahkan nyawa taruhannya aku pun akan mengikutnya.

Tamat
                 

Kamis, 21 April 2016

Kearifan Lokal



Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol

Masih kuingat hari itu hari Selasa. Aku duduk dan berlayar menjelajahi sungai terlebar yang pernah kulihat selain sungai di daerahku, dan sungai terpanjang yang pernah kuarungi dengan perahu mesin  sepanjang umurku. Lamunan demi lamunan terlahir di benakku hingga dewasa menjadi sebuah tuisan. Berharap pula tulisan ini bisa lahir di dalam hati dan pikiran para pembaca sehingga tidak terbenam dalam anganku saja.


Kearifan lokal di dalam perahu


Sangatlah terlalu dini bagiku berbicara tentang kearifan lokal sedang aku baru saja belajar tentang itu. Sebuah teori yang nyata di depan mata yakni kebijakan yang bijaksana menyentuh hati menampar pipi. Hmmm baru saja perahu berangkat sekitar 10 menit, aku sudah penuh pertanyaan yang sama dengan perilaku pengendali perahu.

“Mengapa si pengendali perahu ini mematikan mesinnya ketika akan berhadapan atau melewati perahu dayung atau bahkan ketinting?” menjadi pertanyaan yang membuatku mendapat pelajaran berharga mengenai arifnya kebijakan lokal. Oh iya, ketinting itu perahu kecil dengan bantuan mesin tetapi bukan mesin speed.

Aku tidak langsung terburu-buru mencari jawabannya. Masih kusimpan rapat-rapat di dalam pikiranku meski sudah tergambar dalam keburaman. Akupun tak lekas ke belakang atau teriak bertanya kepada pengendali perahu itu. Dengan senyuman, kubentangkan tanganku, keduanya, hingga membentuk sudut 180 derajat. Kalau pembaca pernah menonton film yang berjudul “Titanic”, nah seperti itulah kira-kira. Hanya saja posisiku duduk dan sendiri. Seandainya persis seperti film itu kurasa tak sempat aku belajar dari alam yang kulewati.

Kemudian setelah beberapa kali kejadian yang sama terulang. Akupun dengan yakin menyimpulkan bahwa itu adalah tanda toleransi kepada sesama yang berada di atas air. Menghormati sesama dan menjaga perasaan yang lebih kecil. Sengaja dilakukan untuk menghindari guncangan dari ombak yang terbentuk karena perahu besar kea rah perahu kecil. Ya, dengan mematikan mesinnya hingga melewati perahu kecil itu.

Terhanyut aku dalam lamunan siang itu. Aku berandai sekiranya para pengendali Negara ini punya prinsip seperti itu betapa bahagianya kaum yang tergolong kecil. Tidak sekedar duduk menonton di atas kursi empuk sambil tertawa di atas penderitaan warganya. Hmmm tapi sayang, lamunan itu terhenti seiring berhentinya perahu kami.

Dipemberhentian ini aku bertanya-tanya kembali.Kebingungan meningkat sangat cepat ditambah emosi karena mengingat waktu yang akan semakin sore. Karena apa? Ternyata perahu berhenti karena ada salah satu penumpang ingin mengunjungi keluarganya terlebih dahulu. Dan memang pernah kudengar bahwa tradisi di sini ialah mengunjungi rumah keluarganya apabila mereka melewati kawasan rumah keluarga mereka.

Hmmm sepengetahuanku dan sepenglihatanku bentuk pemukiman di daerah ini masih mengikuti arah sungai. Pemukiman hanya ada di sekitaran sungai itu. Jadi desa di hulu dan di hilir hanya bisa dilalui dengan jalur air. Nah melalu teori “mumpung” biasanya mereka berkunjung ke keluarga mereka.

Dengan melihat kejadian itu secara langsung, emosi menghilang dan rasa senang menghampiri, aku bisa belajar tentang sejarah Indonesia yang masih hidup hingga kini. Dahulu sewaktu kecil aku dicekokin cerita yang namanya kehidupan nomaden, system berburu dan nelayan, bahkan system barter. Memang semuanya sudah tidak seutuh yang dahulu. Namun, ruh dari cara hidup itu masih kental terasa. Apalagi oleh orang-orang yang baru datang ke tempat seperti itu.

Lagi-lagi aku terhanyut dalam cerita-cerita di kepalaku. Lamunan yang kian semakin dalam. Berandai orang-orang di perkotaan sesekali mengunjungi tempat-tempat yang seperti ini agar bisa belajar kearifan lokal bangsa ini. Agar tidak lupa bahwa sesungguhnya Indonesia terbentuk karena asas kekeluargaan dan kesamaan penderitaan, bukan yang lain.

Tidak lama kami melanjutkan perjalanan setelah kembalinya penumpang yang tadi naik mengunjungi keluarganya. Kupandangi terus kiri dan kanan sungai yang menjadi basis jalan. Tak jarang memang aku terjatuh dalam kantuk karena kelelahan apalagi pantat yang memanas karena berjam di atas perahu kayu dengan kondisi air yang deras mengalir berlawanan arah dengan perahu.

Ahhh, betapa bahagianya aku saat itu. Ingin rasanya kembali lagi mengarungi tempat yang memberiku arti hidup dan bagaimana cara menghidupi hidup, sederhana dan mengerti satu sama lain; mengerti kebutuhan sesama dan penderitaan sesama.

Perjalanan ke Sumentobol, 15 Maret 2015