Jumat, 24 Juni 2016

Membunuh atau Diinjak



Hewan tetaplah hewan. Ia tak peduli siapa dan dimana, selama kehidupannya terganggu selama itu ia meraung. Dilema bagai buah simalakama hanyalah milik insan, manusia, biasa.

Menurut kisahnya bahwa gajah di Kalimantan Utara yang disebut sebagai “Nenek” oleh orang lokal sangat sering masuk desa. Masyarakat sangat terganggu dengan kehadiran gajah tersebut. Dikatakan bahwa kedatangan Nenek biasanya di bulan-bulan kering. Nenek akan datang dari hulu desa dan menjelajahi desa hingga ke hilir. Nenek akan menyebrangi sungai-sungai yang kering sembari mencari makanan. Tak sedikit masyarakat yang dirugikan dengan kondisi ini, terutama mental warga lokal.

Meskipun akhir-akhir ini Nenek sudah tidak pernah seberang ke desa yakni semenjak tahun 2013. Namun, masyarakat tetap waspada akan kedatangannya. Apalagi kalau sudah mendengar bahwa di hulu desa ditemukan jejak kakinya. Sungguh mental masyarakat akan terganggu bahkan sampai sukar untuk tidur. Sebab memang kedatangan Nenek tersebut sangat tidak terduga, tidak terasa langkahnya.

Syukurlah dahulu masih banyak dari masyarakat setempat tahu dan sadar bahwa gajah pun makhluk hidup dan mereka butuh makan untuk hidup. Namun, saat ini kondisi berbeda. Lingkungan mereka telah terusik baik keamanan gajah maupun masyarakat setempat. Mengapa? Tak lain dikarenakan beberapa perusahaan mulai bermasukan seperti perusahaan sawit, akasia, tambang, dan lainnya menguasai daerah mereka.

Dari beberapa kali terakhir gajah masuk ke desa, tak lagi sekedar lewat, gajah itu masuk dan memorakporandakan pedesaan. Warga hampir tidak bisa dan tidak tahu harus berbuat apa-apa. Apalagi mereka juga tahu bahwa membunuh gajah, hewan lindung, merupakan bentuk pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku di negara ini, Indonesia.

Ironis mendengar cerita itu. Warga lokal yang sangat menjaga alamnya, mereka terkena dampaknya karena perbuatan dan keserakahan pendatang. Kini yang terjadi para kaum beruang, berduit, semakin merajalela mengusik kehidupan yang ada di sana. Rumah kenyamanan gajah terusik, gajah mengusik perumahan desa, sedang masyarakat setempat hanya bisa duduk dalam diam karena dilema. Sering mereka melaporkan kejadian itu ke pemerintah setempat bahkan ke salah satu organisasi pemerhati lingkungan. Namun, tanggapannya negatif. Tidak ada respon, begitu kata mereka.

Terkadang mendengar cerita mereka, timbul pertanyaan tebersit di kepala entah sampai kapan mereka sabar dengan kondisi itu? Semoga saja sampai masalah itu tertangani. Entahlah. Namun, sudah selayaknya ada solusi dari mereka-mereka yang menganggap bahwa hewan itu harus dilindungi.

Pernah juga ketua adat berkata “Membunuh atau Diinjak” tidak ada bedanya, saking seringnya merasa terganggu oleh kehadiran gajah ke desa. Mungkin mereka tinggal menunggu. Entah menunggu tindak lanjut dari yang berwenang agar kedua hal itu terjadi atau memang menunggu tiba waktunya salah satu dari kedua pilihan itu terjadi. Pastinya kedua pilihan itu tidaklah mudah bagi mereka.

Terkadang miris mendengar cerita mereka ketika banyakd ari pemerhati hewan lindung berkata #SaveGajah #SaveHewanLindung. Namun tidak berkata #SaveHuman. Padahal kedua-duanya sama-sama objek yang menjadi korban atas keserakahan orang-orang berduit, sebutlah pengusaha lahan sawit dan perusahaan lainnya.

Lantas sudah adakah kebijakan yang benar-benar bijak untuk hal itu, untuk mereka yang terganggu? Sudah adakah kebijakan yang layak bagi mereka para pengusaha? Entah ada atau tidak adanya pengusaha si gajah tetap masuk desa, yang pasti kehadiran mereka menjadi katalis keresahan gajah dan masyarakat setempat. Hal ini harus sesegera mungkin ditindaklanjuti.

#SaveGajah #saveHuman #SaveVillage

Pasti ada pilihan terbaik selain “Diinjak” atau “Membunuh”.

Hilir desa, Desa Sekikilan, Kalimantan Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar