Rabu, 22 Juni 2016

Kenyamanan Itu Semu



Selama ini aku mencari kenyamanan jauh dari hadapanku. Tak jarang kutemukan tempat yang paling nyaman ialah hutan, gunung, sawah, lautan, dan alam terbuka lainnya. Pernah juga mendapat masukan dari teman tentang ciri dari nyaman itu ketika aku bertanya. Sempat kami mengaitkannya dengan hubungan seseorang. Tak sedikit di dalam suatu hubungan nyaman menjadi parameter. Merasa pasangannya sangat memberi kenyamanan, dan aku sendiri pernah mengalami hal itu.


Namun pertanyaan saat ini ialah, bisakah aku menemukan sesuatu yang membuatku nyaman dari lingkunganku? Aku sempat mencoba hingga berhari-hari. Tentunya aku membuat syarat agar aku bisa merasakan apakah benar inilah kenyamanan bagiku yakni bila aku menemukan satu bentuk, posisi, keberadaan, kenyamanan aku tidak boleh berpaling darinya pun berganti posisi jika memang posisilah yang membuatku nyaman.

Misalnya, aku pernah mencoba dalam hal duduk. Aku mencoba untuk bersandar dan memposisikan diriku senyaman mungkin dan sesuai syarat bahwa aku tidak boleh berpindah atau mengubah gerakan. Hasilnya? Aku tidak kuat. Sehingga posisi yang kuanggap diawal paling nyaman, ternyata malah membuatku tidak nyaman.

Setahun yang lalu aku juga pernah mencari kenyamanan di tengah hutan dan gunung. Pun, pernah ke pantai, ke sawah, dan ke pedesaan “Live In” hanya untuk mencari kenyamanan. Hasilnya? Memang aku tenang di sana, mendapatkan kenyamanan. Namun, seiring bergulirnya waktu, kenyamanan itu terbawa pergi menghilang bersama berlalunya malam. Inilah yang kusebut kenyamanan semu.

Lalu beberapa bulan terakhir aku mencoba untuk memaknai kenyamanan itu. Aku tidak mencari yang jauh di luar, aku masuk ke dalam diriku, aku bertanya sesungguhnya apa yang membuatku nyaman, jawabannya sangat sederhana, dimanapun aku berada, dengan siapapun aku berteman jika aku ingin nyaman dengannya, dengan kondisi apapun, jika aku sendiri memberikan rasa nyaman dari diriku untuk diriku, maka kenyamanan itu hadir, kenyamanan itu ada.

Dan setelah itu aku sering berbagi cerita kepada beberapa orang, untuk meyakinkan diriku,  bahwa kenyamanan itu sejauh dua jengkal. Untuk menemukan kenyamanan selamilah diri kita sendiri, dari pikiran hingga ke hati, sebelum memberi syarat atau mencari sesuatu yang ada di luar. Berbagai metoda pernah kucoba salah satunya dengan metoda yang menurutku posisi paling tidak nyaman jika dilihat oleh mata yakni menahan posisi kuda-kuda selama 4 menit, Viksana (posisi Yoga) dengan kaki penyangga ditahan ditekuk, dan bahkan pernah berbagi dengan posisi “headstand”.

Setelah itu aku meminta mereka untuk fokus ke diri mereka, bukan mengosongkan pikiran mereka, jauh ke dalam diri mereka dan mengikuti aliran nafas, setelah itu aliran darah, dan meminta mereka untuk merangkul dan menerima rasa tidak nyaman dengan mensyukuri anugerah yang ada dan selalu gratis yang setiap saat mereka hirup, yakni udara segar.

Apa hasilnya? Tidak sedikit yang berkata bahwa sungguh ketika bisa fokus dengan aliran nafas, detakan jantung, dan darah yang mengalir ke seluruh tubuh, mereka merasa nyaman dan sejenak ketidaknyamanan menjadi nikmat. Namun, banyak juga yang berkata belum mampu fokus. Wajar saja bagiku untuk yang tidak terbiasa dan belum mampu untuk memfokuskan diri. Terkadang orang yang menolak sesuatu yang tidak masuk akal, menurutnya, mereka tidak akan mampu mendapatkannya hingga mereka sendiri mau menerima dan mencobanya dengan sungguh-sungguh.

Sesungguhnya kenyamanan itu hanya sejauh dua jengkal yakni sejauh pikiran kita dan hati kita. Jika kita tak mampu masuk ke dalam diri kita, selama itu pula kenyamanan menjadi semu.

@ricolg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar