Rasa merupakan salah satu yang hampir tidak pernah berbohong. Ketika cabe menyentuh lidah, rasanya pasti pedas. Ketika gula masuk ke mulut rasanya pasti manis. Ketika kulit tersayat pasti rasanya sakit. Ketika tidak tidur semalam saja pasti mengantuk. Itu sudah hukum alam. Tidak seorangpun yang akan berkata bahwa garam itu manis, terkecuali dia belum pernah makan garam dan tak mengenal manis.
Penting bagi setiap orang untuk mengenali apa yang sedang dirasa,
agar mampu menjalani hari yang lebih baik dan bermakna. Pun dalam suatu
hubungan, penting di dalam suatu hubungan memahami rasa pasangannya. Penting
juga di suatu forum atau tempat keramaian untuk mersak dalam rasa yang mereka
alami, sebelum kita tampil dengan rasa yang kita miliki.
Pernah di satu forum, ketika ingin mendapatkan poin apa saja
yang ingin dituliskan dalam salah satu tugas pelatihan yakni buku refleksi
harian, aku menyarankan untuk memasukkan rasa sebagai poin utama. Poin yang
harus selalu ada di setiap lembar tulisannya, entah itu hanya sekata saja. Dengan
begitu pengamat akan mampu melihat penulis buku harian jauh ke dalam tulisannya
bukan sekedar apa yang tertulis, tertera di buku. Baik pengamat maupun penulis
sama-sama menggunakan hati. Dengan begitu ketika ingin menyapa pun tidak
sekedar sapaan basa yang sudah basi.
Misalnya seseorang yang menuliskan buku hariannya dengan
satu kata yaitu “kecewa”. Pengamat tentu tidak langsung membaca “oh dia sedang
kecewa” dan langsung pergi atau lanjut ke buku selanjutnya. Justru dengan satu
rasa “kecewa” pengamat harus mampu melihat lebih dalam. Aku sendiri biasanya
membuka dengan pertanyaan “mengapa?” untuk mengetahui penyebab seseorang kecewa
dan “bagaimana?” untuk memancing keluar dari yang sudah terjadi dan melangkah
kedepan.
Kita akan mendapatkan asumsi-asumsi. Tidak masalah, kita
bisa kaji dengan masuk ke dalam diri kita. Apa penyebab kita sendiri bisa
kecewa. Mungkin kita pernah kecewa dengan diri sendiri, karena terlambat masuk
ke kelas. Kita terlambat masuk ke kelas salah satunya pasti karena terlambat
bangun, terlambat bangun karena tidur terlalu malam atau begadang. Begadang terkadang
karena sesuatu yang tidak terlalu penting misalnya terbuai dengan permainan.
Nah, setelah sampai pada tahap akar permasalahan, barulah
kita menemuinya dan berkomunikasi dengannya agar lebih terkait atau bahasa
kerennya “nyambung”. Dan seseorang yang kita ajak berbicara mampu melihat “kecewa”
yang dimilikinya dan mampu pula mengubah rasa itu menjadi “semangat” yakni
semangat untuk hari esok yang lebih baik, tentu dengan tidak tidur terlalu
larut.
Namun, seharusnya rasa itu datangnya dari dalam. Rasa itu
harus mampu menyentuh bagian terdalam dari diri agar mampu memaknai setiap
peristiwa yang ada. Agar tidak timbul prasangka buruk, merasa tertipu, atau dipermainkan,
dan hal negatif lainnya.
Pernah aku menyangka bahwa rasa makanan yang kulihat, yang
ada di meja hidangan, pasti rasanya manis. Setelah kumakan, apa yang terjadi,
ternyata rasanya asin. Dari peristiwa sederhana ini aku belajar banyak, apakah
mungkin sepotong roti yang kumakan telah berbohong padaku, telah menghianatiku?
Atau pikirankulah yang terlalu cepat menyimpulkan suatu hal yang belum
kurasakan? Aku jadi ingat dengan perkataan seorang petani yang pernah kutemui. Petani
padi sangat membutuhkan angin ketika petani sedang menampi padinya dan
memisahkan padi yang berisi dengan jerami. Namun, angin yang cepat pula, angin
kencang dan besar, yang mengakibatkan petani kerja dua kali.
Sama halnya dengan pikiran, pikiran yang membawa manusia
menjadi lebih baik dari hari kemaren. Namun, pikiran yang terlalu cepat
merespon sesuatu membuat seseorang itu kehilangan makna terpenting dari setiap
perjalanannya. Terasa hari sama saja setiap hari.
Pun dengan hati yang terluka. Terkadang orang yang
mengatakan hatinya telah dilukai seseorang, itu mungkin saja karena terlalu
cepat mengambil kesimpulan. Misalnya ada seseorang melukai tangan saudara kita,
apa respon pertama kita terhadap kejadian itu? Tentu kita tidak langsung
mengejar pelakunya. Namun sebaliknya, kita melihat lukanya dan membalutnya agar
darahnya tidak keluar dan terutama agar sakitnya tidak semakin parah.
Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah, jika seseorang
melukai hati kita, apa yang kita lakukan? Dengan begitu cepat dan tanpa
berpikir ulang kita memaki pelakunya dan mengejar sampai keujung dunia,
kemanapun pelakunya bersembunyi. Mengapa kita tidak menilik hati kita terlebih
dahulu? Mengapa kita tidak membalut lukanya? Percayalah lukanya ada di dalam
bukan di luar. Semakin kita menyalahkan pelakunya semakin kita merobek luka
hati kita dan semakin besar dan perih rasanya.
Mari kita belajar mengenal rasa kita dan belajar memeluknya,
merangkulnya, membalutnya, memberikannya kehangatan. Niscaya luka yang ada akan
pulih total meski prosesnya tidak mudah dan tidak cepat. Namun percayalah,
ketika hati kita telah pulih, rasanya tidak perlu menyinggungnya kembali
terkecuali kita ingin melukainya kembali. Tetapi tentu tidak ada manusia sehat
yang ingin menyayat hatinya untuk yang kedua kalinya.
Hanya sedikit saran bagi siapa saja yang sedikit-sedikit,
sebentar-sebentar, cerita ke temannya tentang luka yang dialaminya. “Cobalah
ceritakan terlebih dahulu kepada dirimu sendiri tentang apa saja yang kamu
rasakan sebelum bercerita kepada orang lain. Jangan-jangan kamu sendiri tidak
pernah memahami hatimu, apalagi orang lain. Atau jangan-jangan setelah
bercerita dengan diri sendiri, hati sendiri, berdamai dengannya, kamu merasa
sudah tidak perlu bercerita kepada orang lain?”
“Silahkan duduk bersila, pejamkan matamu, sebagai pembuka
agar bisa fokus, belajarlah fokus pada nafas. Ikuti aliran nafasmu dan sadari
darimana datangnya udara yang masuk melalu hidung dan sisitem pernafasanmu. Menyebar
ke seluruh tubuh dan kembali ke alam bebas. Kemudian ikuti aliran darahmu,
dengarkan denyut nadimu, dan temui hatimu. Peluk mesra hatimu, rangkul rasamu,
beri dia kehangatan, berceritalah mendalam dan pelan-pelan. Tak perlu malu,
keluarkan semua yang kamu rasakan sebab hanya ada kamu dan dirimu sendiri di
tempat itu saat itu. Jika ingin marah, marahlah. Jika ingin teriak, teriaklah. Dan
jika ingin menangis maka menangislah jika memang itu bisa menyembuhkan lukamu
dan menetralkan rasamu, memulihkan hatimu.”
@ricolg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar