Tampilkan postingan dengan label Sadar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sadar. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Juni 2016

Pengalaman Menempaku

Ibarat rantai besi, tidak serta merta rantai yang kita lihat sudah seperti itu bentuknya sedari awal. Yang kita lihat merupakan rantai yang ditempa melalui proses demi proses.
Adalah sebuah proses melalui penambangan terlebih dahulu. Kemudian biji besi yang dihasilkan dibakar pada suhu yang tinggi dan bahkan sangat tinggi. Di dalam tabung pembakaran mengalami proses pembersihan atau penguraian kotoran yang ada. Setelah itu dihasilkanlah yang disebut kepingan besi.

Belum berakhir sampai di situ saja. Untuk menjadi rantai maka kepingan besi harus melalui proses pembakaran lagi. Selanjutnya diberikan tekanan dan pukulan. Dan pada akhirnya dibentuk dengan terus melakukan proses demi proses. Hal inilah yang disebut proses menempa.

Pun kehidupan setiap orang dapat diumpamakan seperti itu. Segala sesuatu yang dialami manusia ialah proses penempaan menuju pribadi yang kuat dan tentunya untuk bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Setidaknya sadar bahwa bumi tidak hanya dihuni oleh makhluk yang bernama manusia. Bukankah masih ada pepohonan dan tumbuhan lainnya? Masih ada bebatuan, tanah, hewan, dan masih banyak lagi yang ada di bumi ini termasuk air.

Melalui pengalaman setiap manusia, yang aku rasakan, sedang ditempa menjadi manusia yang seharusnya manusia, manausia bukan sekedar hidup lalu mengabaikan yang lainnya. Manusia bukan hewan yang tidak menggunakan empatinya. Sedang hewan tidak sehina itu, karena hewan masih peduli dengan kawanan dan keluarganya. Aku menjadi berpikir ulang untuk melakukan atau membuang sampah sembarangan. Berpikir lebih keras ketika makanan yang dihadapanku tidak kuhabiskan. Berpikir panjang saat aku tidak menghargai orang yang sedang berbicara. Mencoba lebih menghargai lingkungan sekitar dengan tidak mencemarkannya.

Aku sendiri sedang berusaha menghargai apa yang kumiliki, bukan mencari apa yang belum kumiliki. Aku tahu kebutuhanku, dan aku sadar yang kulakukan. Oleh karena itu aku selalu berusaha tampil dengan apa yang kumiliki dan mengucap terima kasih ternyata aku masih diberikan sesuatu untuk kumiliki. Tampil setelah melakukan atau dari hasil refleksi diri dan dengan tujuan berbagi bukan pamer. Fokus pada bagian memberi sebanyak-banyaknya, bermanfaat, bukan hanya memikirkan apa untungnya bagiku. Namun, aku tak pernah berpikir untuk berbagi setelah memiliki A, Punya B, atau C terlebih dahulu. Selalu berjuang untuk hidup. Kupahami aku bertahan hidup bukan karena takut akan mati atau kematian. Tetapi karena keduanya merupakan satu bagian utuh.

Terima kasih untuk setiap pengalaman yang ada dan akan ada.

Rabu, 22 Juni 2016

Kenyamanan Itu Semu



Selama ini aku mencari kenyamanan jauh dari hadapanku. Tak jarang kutemukan tempat yang paling nyaman ialah hutan, gunung, sawah, lautan, dan alam terbuka lainnya. Pernah juga mendapat masukan dari teman tentang ciri dari nyaman itu ketika aku bertanya. Sempat kami mengaitkannya dengan hubungan seseorang. Tak sedikit di dalam suatu hubungan nyaman menjadi parameter. Merasa pasangannya sangat memberi kenyamanan, dan aku sendiri pernah mengalami hal itu.


Namun pertanyaan saat ini ialah, bisakah aku menemukan sesuatu yang membuatku nyaman dari lingkunganku? Aku sempat mencoba hingga berhari-hari. Tentunya aku membuat syarat agar aku bisa merasakan apakah benar inilah kenyamanan bagiku yakni bila aku menemukan satu bentuk, posisi, keberadaan, kenyamanan aku tidak boleh berpaling darinya pun berganti posisi jika memang posisilah yang membuatku nyaman.

Misalnya, aku pernah mencoba dalam hal duduk. Aku mencoba untuk bersandar dan memposisikan diriku senyaman mungkin dan sesuai syarat bahwa aku tidak boleh berpindah atau mengubah gerakan. Hasilnya? Aku tidak kuat. Sehingga posisi yang kuanggap diawal paling nyaman, ternyata malah membuatku tidak nyaman.

Setahun yang lalu aku juga pernah mencari kenyamanan di tengah hutan dan gunung. Pun, pernah ke pantai, ke sawah, dan ke pedesaan “Live In” hanya untuk mencari kenyamanan. Hasilnya? Memang aku tenang di sana, mendapatkan kenyamanan. Namun, seiring bergulirnya waktu, kenyamanan itu terbawa pergi menghilang bersama berlalunya malam. Inilah yang kusebut kenyamanan semu.

Lalu beberapa bulan terakhir aku mencoba untuk memaknai kenyamanan itu. Aku tidak mencari yang jauh di luar, aku masuk ke dalam diriku, aku bertanya sesungguhnya apa yang membuatku nyaman, jawabannya sangat sederhana, dimanapun aku berada, dengan siapapun aku berteman jika aku ingin nyaman dengannya, dengan kondisi apapun, jika aku sendiri memberikan rasa nyaman dari diriku untuk diriku, maka kenyamanan itu hadir, kenyamanan itu ada.

Dan setelah itu aku sering berbagi cerita kepada beberapa orang, untuk meyakinkan diriku,  bahwa kenyamanan itu sejauh dua jengkal. Untuk menemukan kenyamanan selamilah diri kita sendiri, dari pikiran hingga ke hati, sebelum memberi syarat atau mencari sesuatu yang ada di luar. Berbagai metoda pernah kucoba salah satunya dengan metoda yang menurutku posisi paling tidak nyaman jika dilihat oleh mata yakni menahan posisi kuda-kuda selama 4 menit, Viksana (posisi Yoga) dengan kaki penyangga ditahan ditekuk, dan bahkan pernah berbagi dengan posisi “headstand”.

Setelah itu aku meminta mereka untuk fokus ke diri mereka, bukan mengosongkan pikiran mereka, jauh ke dalam diri mereka dan mengikuti aliran nafas, setelah itu aliran darah, dan meminta mereka untuk merangkul dan menerima rasa tidak nyaman dengan mensyukuri anugerah yang ada dan selalu gratis yang setiap saat mereka hirup, yakni udara segar.

Apa hasilnya? Tidak sedikit yang berkata bahwa sungguh ketika bisa fokus dengan aliran nafas, detakan jantung, dan darah yang mengalir ke seluruh tubuh, mereka merasa nyaman dan sejenak ketidaknyamanan menjadi nikmat. Namun, banyak juga yang berkata belum mampu fokus. Wajar saja bagiku untuk yang tidak terbiasa dan belum mampu untuk memfokuskan diri. Terkadang orang yang menolak sesuatu yang tidak masuk akal, menurutnya, mereka tidak akan mampu mendapatkannya hingga mereka sendiri mau menerima dan mencobanya dengan sungguh-sungguh.

Sesungguhnya kenyamanan itu hanya sejauh dua jengkal yakni sejauh pikiran kita dan hati kita. Jika kita tak mampu masuk ke dalam diri kita, selama itu pula kenyamanan menjadi semu.

@ricolg

Senin, 20 Juni 2016

Kekuatan Mengenal Rasa

Rasa merupakan salah satu yang hampir tidak pernah berbohong. Ketika cabe menyentuh lidah, rasanya pasti pedas. Ketika gula masuk ke mulut rasanya pasti manis. Ketika kulit tersayat pasti rasanya sakit. Ketika tidak tidur semalam saja pasti mengantuk. Itu sudah hukum alam. Tidak seorangpun yang akan berkata bahwa garam itu manis, terkecuali dia belum pernah makan garam dan tak mengenal manis.

Penting bagi setiap orang untuk mengenali apa yang sedang dirasa, agar mampu menjalani hari yang lebih baik dan bermakna. Pun dalam suatu hubungan, penting di dalam suatu hubungan memahami rasa pasangannya. Penting juga di suatu forum atau tempat keramaian untuk mersak dalam rasa yang mereka alami, sebelum kita tampil dengan rasa yang kita miliki.

Pernah di satu forum, ketika ingin mendapatkan poin apa saja yang ingin dituliskan dalam salah satu tugas pelatihan yakni buku refleksi harian, aku menyarankan untuk memasukkan rasa sebagai poin utama. Poin yang harus selalu ada di setiap lembar tulisannya, entah itu hanya sekata saja. Dengan begitu pengamat akan mampu melihat penulis buku harian jauh ke dalam tulisannya bukan sekedar apa yang tertulis, tertera di buku. Baik pengamat maupun penulis sama-sama menggunakan hati. Dengan begitu ketika ingin menyapa pun tidak sekedar sapaan basa yang sudah basi.

Misalnya seseorang yang menuliskan buku hariannya dengan satu kata yaitu “kecewa”. Pengamat tentu tidak langsung membaca “oh dia sedang kecewa” dan langsung pergi atau lanjut ke buku selanjutnya. Justru dengan satu rasa “kecewa” pengamat harus mampu melihat lebih dalam. Aku sendiri biasanya membuka dengan pertanyaan “mengapa?” untuk mengetahui penyebab seseorang kecewa dan “bagaimana?” untuk memancing keluar dari yang sudah terjadi dan melangkah kedepan.

Kita akan mendapatkan asumsi-asumsi. Tidak masalah, kita bisa kaji dengan masuk ke dalam diri kita. Apa penyebab kita sendiri bisa kecewa. Mungkin kita pernah kecewa dengan diri sendiri, karena terlambat masuk ke kelas. Kita terlambat masuk ke kelas salah satunya pasti karena terlambat bangun, terlambat bangun karena tidur terlalu malam atau begadang. Begadang terkadang karena sesuatu yang tidak terlalu penting misalnya terbuai dengan permainan.

Nah, setelah sampai pada tahap akar permasalahan, barulah kita menemuinya dan berkomunikasi dengannya agar lebih terkait atau bahasa kerennya “nyambung”. Dan seseorang yang kita ajak berbicara mampu melihat “kecewa” yang dimilikinya dan mampu pula mengubah rasa itu menjadi “semangat” yakni semangat untuk hari esok yang lebih baik, tentu dengan tidak tidur terlalu larut.

Namun, seharusnya rasa itu datangnya dari dalam. Rasa itu harus mampu menyentuh bagian terdalam dari diri agar mampu memaknai setiap peristiwa yang ada. Agar tidak timbul prasangka buruk, merasa tertipu, atau dipermainkan, dan hal negatif lainnya.

Pernah aku menyangka bahwa rasa makanan yang kulihat, yang ada di meja hidangan, pasti rasanya manis. Setelah kumakan, apa yang terjadi, ternyata rasanya asin. Dari peristiwa sederhana ini aku belajar banyak, apakah mungkin sepotong roti yang kumakan telah berbohong padaku, telah menghianatiku? Atau pikirankulah yang terlalu cepat menyimpulkan suatu hal yang belum kurasakan? Aku jadi ingat dengan perkataan seorang petani yang pernah kutemui. Petani padi sangat membutuhkan angin ketika petani sedang menampi padinya dan memisahkan padi yang berisi dengan jerami. Namun, angin yang cepat pula, angin kencang dan besar, yang mengakibatkan petani kerja dua kali.

Sama halnya dengan pikiran, pikiran yang membawa manusia menjadi lebih baik dari hari kemaren. Namun, pikiran yang terlalu cepat merespon sesuatu membuat seseorang itu kehilangan makna terpenting dari setiap perjalanannya. Terasa hari sama saja setiap hari.

Pun dengan hati yang terluka. Terkadang orang yang mengatakan hatinya telah dilukai seseorang, itu mungkin saja karena terlalu cepat mengambil kesimpulan. Misalnya ada seseorang melukai tangan saudara kita, apa respon pertama kita terhadap kejadian itu? Tentu kita tidak langsung mengejar pelakunya. Namun sebaliknya, kita melihat lukanya dan membalutnya agar darahnya tidak keluar dan terutama agar sakitnya tidak semakin parah.

Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah, jika seseorang melukai hati kita, apa yang kita lakukan? Dengan begitu cepat dan tanpa berpikir ulang kita memaki pelakunya dan mengejar sampai keujung dunia, kemanapun pelakunya bersembunyi. Mengapa kita tidak menilik hati kita terlebih dahulu? Mengapa kita tidak membalut lukanya? Percayalah lukanya ada di dalam bukan di luar. Semakin kita menyalahkan pelakunya semakin kita merobek luka hati kita dan semakin besar dan perih rasanya.

Mari kita belajar mengenal rasa kita dan belajar memeluknya, merangkulnya, membalutnya, memberikannya kehangatan. Niscaya luka yang ada akan pulih total meski prosesnya tidak mudah dan tidak cepat. Namun percayalah, ketika hati kita telah pulih, rasanya tidak perlu menyinggungnya kembali terkecuali kita ingin melukainya kembali. Tetapi tentu tidak ada manusia sehat yang ingin menyayat hatinya untuk yang kedua kalinya.

Hanya sedikit saran bagi siapa saja yang sedikit-sedikit, sebentar-sebentar, cerita ke temannya tentang luka yang dialaminya. “Cobalah ceritakan terlebih dahulu kepada dirimu sendiri tentang apa saja yang kamu rasakan sebelum bercerita kepada orang lain. Jangan-jangan kamu sendiri tidak pernah memahami hatimu, apalagi orang lain. Atau jangan-jangan setelah bercerita dengan diri sendiri, hati sendiri, berdamai dengannya, kamu merasa sudah tidak perlu bercerita kepada orang lain?”

“Silahkan duduk bersila, pejamkan matamu, sebagai pembuka agar bisa fokus, belajarlah fokus pada nafas. Ikuti aliran nafasmu dan sadari darimana datangnya udara yang masuk melalu hidung dan sisitem pernafasanmu. Menyebar ke seluruh tubuh dan kembali ke alam bebas. Kemudian ikuti aliran darahmu, dengarkan denyut nadimu, dan temui hatimu. Peluk mesra hatimu, rangkul rasamu, beri dia kehangatan, berceritalah mendalam dan pelan-pelan. Tak perlu malu, keluarkan semua yang kamu rasakan sebab hanya ada kamu dan dirimu sendiri di tempat itu saat itu. Jika ingin marah, marahlah. Jika ingin teriak, teriaklah. Dan jika ingin menangis maka menangislah jika memang itu bisa menyembuhkan lukamu dan menetralkan rasamu, memulihkan hatimu.”

@ricolg

Kamis, 21 April 2016

Untunglah Bernafas Masih Gratis



“Jakartaaaaaaaa...”

“Ah... Betapa malunya membuat suatu tulisan yang menceritakan ketidakmampuan kita sendiri. Sangat tidak elegan ketika aku mengutuk kegelapan, bukannya menyalakan lilin. Akan tetapi semua ini realita dan bukan andai-mengandai, kawan. Iya, ini fakta tentang kota besar itu.”


Hari ini adalah hari ke dua aku di kota ini. Bangun lebih siang karena pertemuan lebih siang, yakni jam sepuluh pagi. Berani lebih siang karena berangkatpun sudah direncanakan menggunakan motor. Namun tetap saja, tiga jam atau setidaknya dua jam sebelumnya sudah harus berangkat. Benar saja, hari ini aku berangkat jam delapan lebih sedikit.

Aku tidak ingin bercerita tentang kemacetan, keributan, panasnya Jakarta, tentang wanita malamnya lagi. Aku hanya ingin teriak kalau di kota itu semuanya serba mahal. Untuk makan, sekali makan, dengan menu sederhana aku harus mengeluarkan setidaknya lima belas ribu rupiah, makan siang di hari pertama. Oh tidak.

Iya, akupun menyadari memang tak pantas hal ini diangkat menjadi sebuah tulisan. Karena bisa saja pembaca menyalahkanku. “Salah sendiri main di Jakarta. Kalau tidak sanggup mengapa harus di Jakarta. Iri tanda tak mampu.” Dan lain circaan bisa terungkap dari pembaca. Tapi aku tidak peduli, barangkali masih ada yang akan memberi tanggapan, “Iya juga ya...” atas tulisan ini, dan aku lebih suka dengan mereka.

Sehabis pertemuan pagi itu aku menemani teman bertemu dengan temannya. Kali ini bertemu di tempat yang mewah, selevel mall. Kusadari ini bukan tempatku tapi tidak ada salahnya mencoba hal-hal baru. Dan sampailah pada tahap pemilihan menu yang akan dipesan, aku memilih “matcha xyz”. Ouw, kupilih menu itu karena harga tiap menunya tidak berbeda jauh, namun ukuran yang kupilih lebih besar, akhirnya itulah menjadi santapan siang itu.

Wah, rasanya nikmat sekali senikmat harganya. Aku mencoba menikmati rasanya tiap sedotan sembari mengingat-ingat harganya, jujur nikmatnya tiga kali lipat. Kalau tidak percaya, silahkan dibuktikan sendiri. 
Namun, dilain cerita, sempat terpikir, setelah minuman itu habis, “aku tidak akan makan siang, kenyang.” Padahal bukan kenyang karena perut sudah penuh, melainkan menghitung-hitung pengeluaran selama dua hari di kota itu.

Baiklah, perjalanan itupun berakhir dan segera menuju travel ke arah bandung. Aku dan teman mendapat keberangkatan jam 5 sore. Tentu saja, melihat jam segitu, dan memperhitungkan waktu tiba di bandung, waktunya makan sebelum berangkat.

Aku memilih makan dengan menu ayam saja. Aku tidak melihat harganya, karena lama-kelamaan bisa pusing sendiri, hehe. Dan tibalah tahap membayar.

“Ayam doang kan Co, 14.000,” kata temanku.

Oke, kuberikan seperti yang tertera di menunya. Tentu saja aku curiga, karena baru kali ini menemukan menu ayam dengan harga seperti itu, di kota ini. Dan tak lama, kulihat dia kebingungan di depan kasir.

“Jadi itu baru harga ayamnya, untuk nasinya 4 ribu, mas,” kata kasir itu kudengar dari kejauhan.

Kudekati temanku, lalu kuselipkan lima ribu dan kami keluar menuju ruang tunggu travel. Haha
Yah, selesailah perjalanan hari itu, dengan beberapa pengalaman harga makanan dan minuman di kota besar yang sangat dikejar-kejar orang, kecuali aku, sebagai tempat mencari kerja.

Jakarta, 19 April 2016
Rico Ricardo Lumban Gaol