Tampilkan postingan dengan label Fakta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fakta. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 April 2016

Untunglah Bernafas Masih Gratis



“Jakartaaaaaaaa...”

“Ah... Betapa malunya membuat suatu tulisan yang menceritakan ketidakmampuan kita sendiri. Sangat tidak elegan ketika aku mengutuk kegelapan, bukannya menyalakan lilin. Akan tetapi semua ini realita dan bukan andai-mengandai, kawan. Iya, ini fakta tentang kota besar itu.”


Hari ini adalah hari ke dua aku di kota ini. Bangun lebih siang karena pertemuan lebih siang, yakni jam sepuluh pagi. Berani lebih siang karena berangkatpun sudah direncanakan menggunakan motor. Namun tetap saja, tiga jam atau setidaknya dua jam sebelumnya sudah harus berangkat. Benar saja, hari ini aku berangkat jam delapan lebih sedikit.

Aku tidak ingin bercerita tentang kemacetan, keributan, panasnya Jakarta, tentang wanita malamnya lagi. Aku hanya ingin teriak kalau di kota itu semuanya serba mahal. Untuk makan, sekali makan, dengan menu sederhana aku harus mengeluarkan setidaknya lima belas ribu rupiah, makan siang di hari pertama. Oh tidak.

Iya, akupun menyadari memang tak pantas hal ini diangkat menjadi sebuah tulisan. Karena bisa saja pembaca menyalahkanku. “Salah sendiri main di Jakarta. Kalau tidak sanggup mengapa harus di Jakarta. Iri tanda tak mampu.” Dan lain circaan bisa terungkap dari pembaca. Tapi aku tidak peduli, barangkali masih ada yang akan memberi tanggapan, “Iya juga ya...” atas tulisan ini, dan aku lebih suka dengan mereka.

Sehabis pertemuan pagi itu aku menemani teman bertemu dengan temannya. Kali ini bertemu di tempat yang mewah, selevel mall. Kusadari ini bukan tempatku tapi tidak ada salahnya mencoba hal-hal baru. Dan sampailah pada tahap pemilihan menu yang akan dipesan, aku memilih “matcha xyz”. Ouw, kupilih menu itu karena harga tiap menunya tidak berbeda jauh, namun ukuran yang kupilih lebih besar, akhirnya itulah menjadi santapan siang itu.

Wah, rasanya nikmat sekali senikmat harganya. Aku mencoba menikmati rasanya tiap sedotan sembari mengingat-ingat harganya, jujur nikmatnya tiga kali lipat. Kalau tidak percaya, silahkan dibuktikan sendiri. 
Namun, dilain cerita, sempat terpikir, setelah minuman itu habis, “aku tidak akan makan siang, kenyang.” Padahal bukan kenyang karena perut sudah penuh, melainkan menghitung-hitung pengeluaran selama dua hari di kota itu.

Baiklah, perjalanan itupun berakhir dan segera menuju travel ke arah bandung. Aku dan teman mendapat keberangkatan jam 5 sore. Tentu saja, melihat jam segitu, dan memperhitungkan waktu tiba di bandung, waktunya makan sebelum berangkat.

Aku memilih makan dengan menu ayam saja. Aku tidak melihat harganya, karena lama-kelamaan bisa pusing sendiri, hehe. Dan tibalah tahap membayar.

“Ayam doang kan Co, 14.000,” kata temanku.

Oke, kuberikan seperti yang tertera di menunya. Tentu saja aku curiga, karena baru kali ini menemukan menu ayam dengan harga seperti itu, di kota ini. Dan tak lama, kulihat dia kebingungan di depan kasir.

“Jadi itu baru harga ayamnya, untuk nasinya 4 ribu, mas,” kata kasir itu kudengar dari kejauhan.

Kudekati temanku, lalu kuselipkan lima ribu dan kami keluar menuju ruang tunggu travel. Haha
Yah, selesailah perjalanan hari itu, dengan beberapa pengalaman harga makanan dan minuman di kota besar yang sangat dikejar-kejar orang, kecuali aku, sebagai tempat mencari kerja.

Jakarta, 19 April 2016
Rico Ricardo Lumban Gaol

Kota Pembunuh



“Hahaha... Akhirnya aku harus melepaskan penatku dengan penat yang lebih mendalam. Menulis! Tunggu, beri aku semenit saja untuk melepaskan sepatu dan menghirup satu tarikan nafas yang cukup dalam. Oke aku, Siap!”

Tak pernah terpikirkan olehku untuk menginjakkan kaki demi mencari sesuap nasi di kota besar ini. Rasanya lebih baik bagiku tinggal di tempat yang masih banyak suara jangkrik dan nyanyian merdu burung-burung di pohon kala aku butuh teman. Bukan! Bukan aku tak ingin hidup berdampingan dengan manusia.

Hari ini ialah langkah awal aku membuktikan kalau tekadku untuk tidak berperang demi bagian tubuhku yang hanya sejengkal ini dimulai. Iya, setidaknya setahun kedepan aku akan tinggal di kota para bos besar ini tapi bukan untuk urusan perut, melainkan panggilan untuk mengambil bagian mengisi cawan kotor dengan setetes demi setetes air bersih-bening, semoga bisa.

Hmmm sebenarnya agak kikuk ketika berbicara tentang kota besar kalau aku tak menyebut namanya, tapi okelah sebut saja namanya Jakarta, setidaknya begitu kata orang-orang menyebut nama tempat itu.

Agak tidak sopan juga aku menghindari untuk hidup di kota ini tanpa alasan yang jelas. Baiklah! Pertama aku bukanlah orang yang terlalu suka dengan keramaian dan ketidaksabaran yang menggebu-gebu. Klakson di mana-mana tanpa kenal waktu padahal bisa saja saat itu masih lampu merah. Serobot sana-sini, yang diserobot mobil besar yang berada di jalurnya, sebut saja transJakarta, yang menyerobot kendaraan yang sudah pasti bukan jalurnya.

Oh iya, salah satu yang paling kutakutin juga untuk tinggal di kota ini adalah aku takut tua di jalan, haha. Semua orang sudah tahu betapa nyatanya kemacetan di kota ini. Salah satu siasat orang-orang ialah dengan mengorbankan tidurnya dengan bangun lebih awal, mungkin jam setengah lima atau jam lima. Yah mungkin paling siang jam setengah enam atau semalas-malasnya jam enam. Aku sendiri jam setengah lima sudah bangun, tadi pagi. Bukan menunjukkan selama ini aku ingin tidur lebih lama dan bangun lebih siang. Yang pasti bukanlah keinginanku bangun lebih awal dan pulang lebih malam, mungkin jam 8 atau 9 malam, demi menghindari kemacatan akibat kepadatan kota. Ah masih banyak fakta yang membuatku tidak nyaman di tempat ini.

Baru saja, ketika tulisan ini kutulis di kepalaku, bukan di jidatku, aku pulang dari daerah Jakarta Selatan menuju Jakarta Timur. Ada banyak yang ingin kutuliskan hanya dengan melihat 2 jam kondisi malam kota ini. Namun, satu yang tak mungkin tak ingin kutulis yaitu tentang wanita bergincu di pinggiran jalan.

Hehe, ingin sesekali berbicara dengan mereka, tapi ingin juga tidak. Tapi aku penasaran, apa yang ada di benak mereka ketika mereka pertama kali mengoleskan gincu ke bibir mereka lalu mengatur gaya mereka. 
Tapi aku juga tidak ingin turun dari mobil tumpanganku, sebutlah metro mini, memang begitu adanya, lalu disebut sebagai pahlawan kost-kostan. Tapi memang aku tertarik setidaknya untuk menghargai mereka bukan penghinaan kepada pekerjaan mereka, setidaknya makan bersama di amperan sembari bercerita sana-sini tentang kota yang menuntut mereka bermain mata.

Sekali lagi, aku juga tak ingin menjadi malaikat yang turun dari bajaj lalu menghukum dengan tidak jelas. Aku hanya ingin mendengar dan belajar dari perspektif pekerja “bebas” seperti mereka. Ah tapi itu masih jauh dari keberanianku, mungkin nanti atau tahun depan. Aku butuh udara segar agar bisa berbicara lebih tidak kaku dengan mereka nantinya.

Oke, cukup sampai di sini dulu, ingat. Pembaca tak perlu ikut berpusing-pusing. Ini pergumulanku yang sekarang belum punya atau tidak punya tempat mencurahkan isi hati daripada dipendam menjadi bisul. Kalau bisa, biarkan ini menjadi rahasia diantara kita. Tidak perlu diumbar, tapi untuk didiskusikan, mari kita diskusikan di wadah ini. Terutama mengapa judulnya begitu sadis, padahal tidak ada yang dibunuh di dalam ceritanya, tampaknya sih begitu, maka perlu kita menyamakan persepsi kita, hehe. Sekian terima kasih.

Jakarta, 18 April 2016.
Rico Ricardo Lumban Gaol