Tampilkan postingan dengan label Traveling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Traveling. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Oktober 2016

Sajak Dalam Hening



Telaga Warna

Membiarkan dirimu hanyut dalam lelah hanya akan membawamu kepada kematian. Batu yang menghalangi tak pernah memilih siapa yang ada di belakangnya maupun di depannya, di sekitarnya.

Terkadang dan amat sering lelah datang menghampiri makhluk hidup. Hanya segelintir orang yang mampu bertahan terhadapnya, dan selebihnya hanyut. Di antara mereka yang hanyut hanya dalam hitungan jari yang mampu melewati derunya angin dan hempasan ombak. Sisanya mereka-mereka yang pulang tinggal nama.

Tidak, tidak perlu kuatir dengan seberapa banyak atau alangkah sedikitnya bagian-bagian dari mereka. Dari mereka semua kita bisa belajar. Bukan hanya dari orang-orang yang tidak merasa lelah. Bukan juga hanya dari mereka yang bisa melewati dan bangkit saat terjatuh, karena dari mereka yang tenggelam dan hilang ditelan waktu pun kita bisa belajar.
Prau, 8 Oktober 2016
Rico Ricardo Lumban Gaol

Jumat, 08 Juli 2016

Menerima Tantangan



Gbr. Setelah melalui para pengemudi "off-road"

Tentang jutaan rasa atau tentang ketercapaian? Bingung harus mau menulis apa dan bagaimana memulainya. Biarlah tulisan kali ini kutulis tentang dua kata saja yakni “Menerima Tantangan”.

Sesuatu yang tak kusangka-sangka dan jauh dari prediksi bahkan tidak masuk dalam rencana awal. Namun, kujadikan ini sebagai tantangan. Sebab rencana awalku hanyalah mencoba menginap di pinggiran hutan Cikole, Jawa Barat. Lalu pada tanggal 3 Juli aku mencari teman lewat semua media sosial yang kupunya. Sampai pada tanggal 5 Juli tidak ada satupun yang bersedia untuk bergabung di tanggal itu, yakni tanggal 7-8 Juli, tapi kalau setelah tanggal 10 ada banyak yang mau, aku sendiri yang tidak bisa selain pada tanggal itu. Ini menjadi tantangan pertamaku, aku akan “camping” sendiri di hutan.

Tanpa berpikir lebih lama, kuputuskan untuk tetap berangkat. Kusiapkan apa saja perlengkapan yang kubutuhkan. Pada tanggal 6 Juli semua perlengkapan sudah lengkap, beberapa diantaranya merupakan hasil pinjaman dan sebagiannya lagi milik sendiri. Dan ada beberapa bagian kulengkapi, kubeli, saat perjalanan tanggal 7.

Tanggal 7 Juli


Aku berangkat pagi jam 10 kurang dari Cisitu Indah ke terminal Ledeng. Karena masih dalam suasana lebaran kondisi jalan sangat ramai. Untunglah hanya tertahan kurang dari 2 jam di jalan. Yang selanjutnya aku makan dan kemudian berangkat lagi menuju Lembang. Syukurlah jalan ke Lembang tidak melalui jalan utama, melainkan jalan potong Ci Jengkol, baru tahu ternyata ada jalan potong. Sekitar 30 menit aku telah sampai di pasar Lembang.

“Dek, sudah sampai,” kata supirnya.

Aku terbengong. Setahuku dari pasar lembang ke Cikole masih jauh.

“Mau lanjut naik mobil atau jalan kaki?” tanya supir itu yang semakin membuatku bingung.

“Hmmm... Jalan kaki saja, Pak,” jawabku.

“Adek lurus aja, sekitar 2 km dari sini,” tambahnya.

Di dalam benakku, berjalan dua kilometer melalui aspal mungkin akan memakan waktu 15 menit. Setelah kubayar ongkosnya, akupun langsung berjalan. Kususuri jalan itu dan sudah melebihi 15 menit tetapi aku belum sampai juga. Dan ternyata tidak jauh lagi kulihat aku sudah berada di kaki hutan. Aku semakin bingung. Aku masuk melalui gapura yang bertuliskan “Selamat Datang di Wana Wisata LHI Jayagiri”.


“Mau ke mana, Dek?” tanya orang tua yang duduk tak jauh dari gerbang masuk tadi.

“Mau nanya, Kek. Kalau mau ke Tangkuban Perahu lewat mana?” tanyaku dengan senyuman yang penuh kebingungan.

“Oh, dari sini bisa, jalan aja sekitar 4 kilometer. Tapi bayar dulu, 7.500 rupiah,” jelasnya.

Kemudian aku bingung dan sembari berjalan menuju arah yang ditunjuknya yakni hutan Jayagiri. Aku berjalan secepat-cepatnya. Mengumpamakan diriku sebagai “Trail-Runner”. Aku masuk hutan tanpa memegang peta apalagi kompas. Tentu saja aku semakin bingung. Tiba di percabangan pertama. Jalan mana yang akan kupilih? Seandainya ada peta, mungkin aku sedikit lebih aman. Kupilihlah jalan ke kiri. Dengan resiko jika salah jalan aku harus kembali ke percabangan pertama.

Sepanjang jalan kepalaku bertambah besar, entah apa yang membuat kepalaku besar apalagi apabila bertemu percabangan. Mungkin rasa takut yang murutku wajar. Seorang diri masuk hutan. Menyusuri jalan tua yang sudah tidak ada jejak kaki sedikitpun. Hanya terlihat itupun terkadang saja ada jejak motor “off-road”. Hanya itulah sedikit tanda yang membuatku tenang, kucium seperti jejak baru. Namun, jejak itu perlahan hilang setelah kutemukan percabangan yang kesekian kalinya.

Entah sudah berapa puluh menit kutelusuri hutan itu, entah apa pula dasarnya aku tidak mengikuti jejak “off-road” yang terakhir. Aku cukup mengikuti jalan lama yang bentuknya berlobang dan berlumut. Membuatku sadar bahwa mungkin telah ada jalan baru. Mungkin beberapa percabangan tadi salah satunya. Tapi dengan keyakinan itu kepalaku kembali normal dan aku fokus kepada apa yang ada di depan yakni tujuanku, Cikole.

Sejam berlalu. Memilih mundur atau lanjut adalah dua pilihan yang tidak mudah bagiku. Di tengah hutan belantara. Hanya ada aku dan suara burung serta percabangan yang meragukan. Satu ke arah kanan, bersih. Satu ke arah kiri, menanjak. Dan satu lagi, jalan yang kutempuh, lurus dan berlubang serta berjamur. Hanya itu yang bisa kutulis. Tak ada tulisan yang bisa mewakili rasaku saat itu.

Suara anjing yang meraung mengalihkan perhatianku dari yang awalnya mengikuti alunan nafasku, kini mencari sumber suara anjing yang kian semakin mendekat. Ternyata, suaranya memang terlihat semakin mendekat tapi bentuknya, wujudnya, tidak terlihat. Kuanggap, di dalam benakku, itu anjing berburu yang mungkin sedang mengejar buruannya. Akupun tetap fokus pada jalanku dan kembali ke detak jantungku. Aku tak mau tersesat oleh pikiran-pikiranku yang negatif terlebih yang aneh-aneh.

Mungkin sudah satu setengah jam aku berjalan kencang sekencang-kencangnya. Dan, kulihat ada satu gubuk kecil dan beberapa motor “off-road”. Astaga, mungkin inilah motor yang tadi yang menuju ke kanan di percabangan terakhir.


“Punten, kalau ke simpang utama tangkuban perahu ke arah mana ya, Kang?” tanyaku ke mereka.

“Oh, ikutin saja jalan berbatu ini. Nanti kalau ketemu perempatan, ambil ke kiri,” jawab salah dua orang dari mereka sembari melihatku dengan aneh dan mungkin ingin bertanya dari mana, tapi aku langsung berangkat. Sebab yang ada dipikiranku saat itu, aku harus sampai jam 2 ke cikole. Padahal jam 2 hanya tersisa beberapa menit.

Akupun melanjutkan perjalananku mengikuti petunjuk mereka. Sekitar 10 menit aku berjalan, mungkin sudah hampir 2 kilometer. Aku berhadapan dengan pertigaan. Seingatku tidak ada pertigaan yang disebutkan mereka tadi. Aku mengamati satu persatu arah jalan yang ada. Kemudian aku melihat tanda panah ke kiri. Sebenarnya aku tidak yakin itu tanda panah ke arah tujuanku atau tidak. Tapi tak ada pilihan lain. Aku memilih untuk berbelok ke kiri.

Dan, di sini ada dua pertigaan lagi. Yang masing-masing memiliki tanda panah. Persis seperti di pertigaan tadi. Dan bahkan ketika aku menoleh ke belakang, akupun melihat ada tanda panah ke arah dari mana aku datang tadi. Karena mundur bukan pilihan, maka aku memilih ke kiri. Setidaknya aku hanya berputar-putar kalaupun memang tersesat.

Kulihat jam tanganku menunjukkan sekitar setengah 3 kurang, aku dihadapkan dengan perempatan. Awalnya kupikir perempatan itu adalah aspal. Kenyataannya jalan tanah yang berukuran besar. Dan keempatnya jalan besar yang dilalui mobil “off-road”. Di benakku pastilah kalau pada dasarnya aku tersesat, sudah dari awal aku akan tersesat. Tapi kali ini aku menar-benar bingung karena perjalananku sudah sangat jauh. Aku memilih jalan yang agak ke kanan, atau agak ke kiri atau bahkan yang dekat di sisi kiriku. Perempatan yang ada bukan merupakan sudut 360 dibagi 4 seperti perempatan di kota-kota. Hmmm, karena naluri menunjukkan bahwa ini adalah percabangan terakhir, bukan menjawab keraguan tetapi menghilangkan keraguan, aku tidak takut untuk kembali jika memang itu yang harus kutempuh. Aku memilih sebelah kiri yang paling dekat denganku.

Jam 3 kurang, setelah berjalan hampir 30 menit, aku bertemu pertigaan dan kali ini aspal, sepertinya baru diaspal. Aku mulai tersenyum. Dengan mudah aku memilih sebelah kanan. Sebab kemungkinan sebelah kiri adalah jalan menuju Tangkuban Perahu, terlihat menara signal. Benar saja, 30 menit aku berjalan ke kanan terdengar suara mobil di depan, jalan utama. Akhirnya aku melewati tantangan kedua. Menyusuri hutan yang sama sekali bukan rencanaku dan belum pernah kulalui sebelumnya.

Belum berakhir sampai di situ. Itu "hanya" perjalanan menuju tantangan utamaku yakni menginap sendiri di hutan Cikole. Namun, untuk yang ini akan kutulis di tulisan berikutnya dengan judul “Menaklukkan Diri”.


Semesta menjawab tantanganku!
Cikole, 7 Juli 2016.

Senin, 02 Mei 2016

Hentikan Perburuan Penyu Derawan



Hari itu, saat aku dan teman-teman satu tim pengabdian masyarakat di Kalimantan Utara sedang bermain ke Derawan, aku ter-tohok oleh pesan salah satu penduduk ketika kami bertanya oleh-oleh apa yang khas dari Derawan.

“Oh... Iya ada di seberang sana,” kata penduduk itu sembari menunjuk ke arah tempat-tempat belanja oleh-oleh.

“Tapi pesan saya, yah boleh diambil boleh juga tidak, semoga adik-adik untuk tidak membeli oleh-oleh yang bahan bakunya dari kulit penyu. Mengapa? Karena dengan adik-adik membeli pernak-pernik yang bahan dasarnya dari kulit penyu artinya adik-adik telah mendukung perburuan atas penyu,” cerita penduduk itu.

“Bukan hanya itu. Dulu di pulau ini ada penakaran penyu. Namun, ada salah satu LSM menyadarkan masyarakat bahwa ternyata dengan adanya penakaran artinya kita telah membatasi ruang gerak penyu. Kita merusak perkembangbiakan penyu secara alami. Penakaran mungkin hanya seluas puluhan meter yang jika dibandingkan dengan hamparan laut yang luas, itu tidak sampai 0,1%. Bayangin kalau ruang gerak kita dibatasi, apakah kita mau?” tambah penduduk itu.

Setelah sampai di tempat perbelanjaan, aku melihat dan mengamati apa saja yang ada di pasar oleh-oleh itu ternyata benar tidak akan dihidangkan seperti barang lainnya. Jika ingin mendapatkannya, pembeli harus bertanya terlebih dahulu kepada penjual. Dengan syarat jika di warung penjual tidak ada sertifikat penanda bebas dari barang-barang yang bahan dasar pembentuknya kulit penyu.

Sangat disayangkan dan memang sudah umum di Negara ini untuk mengabaikan kebaikan. Meskipun sudah tahu bahwa ada hal yang tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan tetap saja akan ada yang mengabaikannya demi keuntungan pribadi atau golongan. Hal itu terlihat dari banyak sudut pandang dan tindakan salah satunya pedagang pernak-pernik berbahan dasar kulit penyu.

Aku melihat masih ada beberapa warung yang dengan diam-diam menjual. Aku yakin mereka tahu yang baik dan yang tidak. Buktinya mereka menjual barang langkah itu dengan sembunyi-sembunyi. Jika nurani mereka berkata bahwa yang mereka lakukan bukanlah hal yang salah, manalah mungkin mereka berjualan dengan rasa malu dan takut, bersembunyi.

Pada akhirnya memang tak selamanya kebaikan itu akan dapat dilakukan meski dapat diterima. Benar-benar butuh perbaikan mental. Berharap bahwa kebaikan-kebaikan kecil tidak diabaikan. Berharap bahwa uang bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk hidup. Berharap bisa hidup bersama dengan makhluk lain tanpa harus saling menindas sebagai wujud sesama ciptaan yang juga memiliki hak untuk hidup sejahtera. Aku percaya masih banyak jalan lain untuk isa mempertahankan tubuh agar tetap bugar. Aku pun setuju agar perburuan penyu di Indonesia dapat dihentikan khususnya di Derawan.

Jumat, 22 April 2016

Cinta Takkan Mati

“Sudahlah jangan kau kesini, nanti kau terhimpit. Di sini masih banyak pohon kayu tua, sedang yang muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya.”

Masih jelas diingatanku pesan terakhir bapak meski sudah berlalu 25 tahun yang silam dan bapak pun sudah dijemput Tuhan. Kisahnya ialah ketika aku berumur 18 tahun. Layaknya seorang bapak, ia hendak memberikan pelajaran yang berharga untuk anaknya, aku. Ia ingin sekali menjadi guru terbaik dalam pikiran dan hidup anaknya.

Tepat sebulan sebelum keberangkatanku untuk melanjutkan sekolah ke salah satu kota terkenal di Jawa Barat di salah satu institute ternama di Indonesia, Bapak mengajakku untuk belajar di alam terbuka. Dengan senang hati aku menerimanya, sebab selama SMA aku memang suka mengikuti kegiatan pramuka dan pecinta alam.

“Putra, anakku. Sebulan lagi kau akan pergi mengejar cita-citamu mencari ilmu setinggi-tingginya ke seberang pulau. Memang tidaklah terhitung jauh, tidak juga susah karena mudahnya akses yaitu pesawat. Tapi ketahuilah, bapakmu ini sudah tidak sekuat 40 tahun yang lalu, ya sebesar kau sekarang ini. Jadi, kalau bukan kau yang pulang menemui kami, tidaklah mungkin kita bisa bertatap wajah,” kata bapakku sesaat setelah kami usai makan malam.

“Nak, besok bapak akan mengajakmu ke perbatasan. Perjalanan dari sini ke tujuan jika tidak ada halangan sekitar dua hari. Nanti kita naik bus lima jam, dua jam naik ojeg, dan selebihnya jalan kaki. Tapi tenang, kita akan sering istirahat terutama kalau sudah lelah. Kalau lapar kita makan, kalau haus kita minum. Semua kita sesuaikan dengan kondisi di perjalanan.”

“Apakah kau tertarik?” Tanya bapak dengan penuh harapan aku untuk mengiyakannya.

Tentulah aku menyetujuinya sedang akupun memang menyukai kegiatan outdoor.

Lalu bapak menyarankanku tidur, karena kami akan berangkat pagi sebelum matahari terbit. Beliaupun menyarankanku untuk mengajak pacarku. Sayang sekali saat itu aku belum punya dan bahkan belum terpikirkan untuk memiliki.

Lalu aku melengkapi perlengkapan yang harus dibawa besok pagi, tepat sebelum tidur. Kalau tidak salah, aku tidur lebih dari jam 1 malam saat itu. Saat itu suasana rumahku sudah tidak terdengar suara manusia. Mungkin hanya tersisa suara jangkrik dan hewan-hewan malam.

Aku sempat teriak untuk mengetahui kondisi bapak dan ibu. Aku kuatir mereka belum melengkapi perlengkapan yang akan mereka bawa besok. Tapi karena aku pun mengantuk, aku memilih untuk tidur daripada memeriksa ke kamar mereka. Akupun tidak tega mengganggu tidur mereka.

Jam 5 pagi. “Bangun… Sayang, bangun. Hari sudah pagi,” teriak ibuku saat itu.

Bukan aku tidak mendengar, tapi mataku masih berat, sehingga semuanya masih terasa seperti dalam mimpi. Bahkan, alarm pun kumatikan semua. Hingga aku terbangun karena matahari tepat di atas keningku dan menyinari mataku.

Tak lama, aku langsung keluar. Aku keluar perlahan sebab kutahu bapak dan ibu pasti sudah menunggu dan akan marah. Aku buka pintu kamarku perlahan. Ternyata, mereka benar sudah menungguku.

“Eh Ibu, Bapak. Kalian sudah siap? Maaf putra terlambat bangun,” sapaku.

“Pelajaran pertama hari ini, alam bebas tidak bisa diajak berkompromi,” nasihat ibuku saat itu. Sangat mengherankan. Tidak pernah sebelumnya ibuku berkata seperti itu. Mungkin ketularan bapak, pikirku saat itu. Bahkan aku sempat bertanya kepada ibu maksud dari perkataannya tapi dia tidak menjawabnya. Beliau malah menyuruhku untuk langsung bergegas. Akupun menuruti pesannya, sebab aku takut dimarahin.

Setelah mandi aku disarankan sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat.

“Ayo Pak, Ibu kita sarapan bersama,” ajakku dengan nada kaku.

“Makanlah, kami sudah,” jawab bapakku tanpa memerhatikan ke arahku.

Aku ingat sarapanku saat itu hanya telur rebus, ubi rebus, dan sambal. Aku makan mungkin hanya 5 menit, saking takutnya mereka marah kepadaku. Setelah makan kami memeriksa perlengkapan kami untuk yang terakhir kalinya sebelum kami jalan. Kemudian kami jalan ke loket bus terdekat, tak jauh dari rumah. Mungkin hanya jalan semenit.

Bapak langsung menuju loket tiket, sedang kami diminta menunggu di kursi keberangkatan. Syukurlah bapak berhasil membawa 3 tiket dengan jadwal keberangkatan jam 6 pagi. Bisa mati aku dimarah kalau saja kami tidak dapat tiket, sebab memang itu kesalahanku.

Lima belas menit kemudian bis datang, dan kami memasukkan barang-barang kami dan segera duduk sesuai nomor kursi yang tertera di tiket. Usai semua penumpang, mungkin hanya lima menit, memasukkan barangnya dan duduk sesuai kursinya bis pun jalan.

“Wah, bisnya jalan tepat jam 6, sesuai yang tertera di tiket,” gumamku sembari berpikir dengan kejadian tadi pagi saat aku bangun terlambat dan semuanya kujalani dengan tergesa-gesa.

Ibuku mendengar gumamanku saat itu. Beliau bahkan bertanya apakah aku sudah mengerti kenapa tadi pagi ibuku bersikap seperti itu kepadaku. Tanpa menjawab pertanyaan ibuku, aku merenunginya sendiri dan dengan senyum-senyum aku membodohkan diriku sendiri. Ternyata itulah maksud ibuku. Aku diharapkan supaya selalu berjaga-jaga. Selalu bersiap dan punya rencana dan harus menjalani rencana itu dengan sungguh-sungguh.

Tiga jam kemudian, kami berhenti. Dan tiba-tiba supirnya meminta kami untuk turun sementara. Sependengaranku saat itu, supirnya berkata bahwa bannya mengalami kebocoran. Mau tidak mau kami semua harus turun.

Setelah turun, akupun masih merenung dan mensyukuri punya bapak dan ibu yang sangat sabar menghadapiku, aku masih mengingat kejadian kesalahanku dan kejadian keberangkatan bis hingga bocornya ban bis. Dan aku semakin mengerti kenapa selama ini bapak bersikap berbeda dari bapak yang lainnya.

“Aku harus bisa mengatur waktu sebelum waktu itu sendiri yang menyetirku,” pikirku saat itu.

“Nak, dalam banyak hal ada 2 hal dasar yang harus kita ketahui dan pegang. Pertama apakah hal itu mengandung masalah sehingga kita harus penuh pertimbangan dalam perencanaan akan suatu hal. Kedua apakah jika kita salah dalam melangkah hal tersebut mengundang masalah,” ujar bapakku saat itu sambil menepuk pundakku. Mungkin dia piker aku sedang melamun atau tertidur.

Aku tidak berbicara apapun. Aku hanya mencium tangan bapakku.  Aku tidak tahu apakah dia mengerti atau tidak. Yang pasti dalam pikiranku bahwa bapakku dan ibuku itu orangtua yang luar biasa.

"Masa lalu telah silam, jadikan setiap hal yang berlalu menjadi pelajaran untuk kedepannya. Di depan masih banyak pelajaran yang harus kau ketahui yang harus kau persiapkan untuk masa depanmu," pesan bapakku.

Sekitar 10 menit berlalu supir mengganti ban yang bocor, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan yang sepi, sunyi, para penumpangpun mulai tertidur. Kulihat ibu dan bapak pun sudah tertidur.

Lalu aku berjalan ke arah depan mendekati supir dan bertanya berapa lama lagi sampai tujuan, perbatasan. Jawabannya sekitar 3 jam. Tanpa basa basi aku langsung berpesan untuk menghentikan bis saat tiba di perbatasan nantinya. Karena aku sendiri tidak tahu letak pastinya perbatasan, sedang bapak dan ibu sedang tertidur. Syukurlah beliau tidak keberatan. Akupun bisa kembali ke kursi dan tidur dengan tenang.

3 jam kemudian "Simpang perbatasan turun, simpang perbatasan turun," teriak supir beberapa kali.

Akupun terbangun mendengar teriakan itu. Kulihat bapak dan ibuku masih tertidur. Lalu aku bangunkan mereka. Kami turun bertiga dan langsung menuju pangkalan ojeg.

"Mau kemana, Pak?" Tanya dua orang ojeg.

"Mau ke hulu, Pak," jawab bapakku.

"Siap, Pak!" Kata mereka. "Kita tunggu satu lagi, Pak. Mungkin tidak sampai 5 menit lagi sampai."

Diwaktu yang bersamaan salah satu dari tukang ojeg berbincang dengan ibuku.

"Ibu yakin akan ke hulu? Sebab sudah lama kami tidak mendengar orang ke hulu apalagi menghantar orang ke arah hulu," tanya salah satu ojeg, sependengaranku.

"Iya, ini si Bapak ingin melepaskan rasa kangennya dengan ayahnya, kakek si Putra, Pak," jawab ibuku.

Tidak lama satu ojeg yang dinanti pun tiba. Lalu kulihat bapak tawar menawar harga dengan mereka. Sampai akhirnya kami berangkat.

Kami berangkat bersama dan tidak berjauhan. Bapakku naik ojeg yang berbicara dengannya tadi. Ibuku naik ojeg yang baru saja datang. Sedang aku naik yang satunya lagi, yang tadi berbincang dengan ibuku.

Di tengah jalan aku bertanya kepada si ojeg. "Pak, aku dengar tadi pembicaraan bapak dengan ibuku. Sebenarnya hulu sejauh apa, Pak? Kenapa tidak pernah ada lagi yang berkunjung?"

"Saya kurang tahu, Dek! Tadi kata komandan, yang bersama bapak, sekitar 2 jam," jawab tukang ojeg. "Saya sudah 5 tahun kerja di sini, tapi belum pernah dapat penumpang ke sana. Ini baru pertama kali. Jadi saya kurang tahu pasti, dek."

"Bagus tidak, Pak?" Tanyaku penasaran.

"Sepengetahuan saya, dari cerita-cerita yang pernah saya dengar tempatnya itu unik dan luar biasa. Hampir semua wahana alam ada di sana," jawab tukang ojeg itu dengan semangat.

"Air panas ada, air terjun ada, berbagai jenis hewan masih ada, dan bahkan tumbuhan juga masih banyak yang belum saya ketahui namanya. Namun, sayang belum menjadi tempat wisata. Mungkin karena jalurnya yang sulit juga jauh dari pemukiman. Saya juga pernah dengar ada pengunjung, 15 tahun yang lalu, pulang tanpa sampai tujuan."

Hmmm... Aku masih tetap penasaran dan bahkan penasaranku semakin meledak-ledak setelah mendengar cerita tukang ojeg tersebut. Namun, karena kami sudah sampai, setelah perjalanan 3 jam kurang lebih, akupun mengakhiri penasaranku.

Setelah turun, kami melanjutkan perjalanan masuk ke arah hutan. Saat itu matahari sudah mulai terbenam. Kami pun meraba-raba ketika pembuatan tenda penginapan untuk satu malam. Yang lebih menakutkan lagi, saat itu petir menyambar-nyambar begitu kerasnya, rintik hujan mulai terasa di wajahku.

Aku selalu melihat gerakan tangan bapakku yang begitu lihai membuat tempat kami berteduh. Ibuku memasak air hangat sedang aku hanya bisa melihat. Syukurlah sebelum hujan, tenda sudah terpasang dan air sudang matang.

Tak lama, ibuku mengeluarkan makanan dan menyeduhkan segelah teh hangat buatku juga buat bapakku. Lalu kami meminumnya dengan perlahan. "Luar biasa" itulah tanggapanku saat itu. Memang aku selalu takjub setiap meminum air hangat di tengah hutan apalagi saat hujan.

Sehabis kami minum teh hangat buatan ibuku, kami melanjutkan makan malam. Makan malam terenak yang kurasakan saat itu. Sebab ini pertama kalinya aku dan orangtuaku makan malam bersama di hutan.

Sehabis makan bapak berpesan agar kami segera tidur dan bangun lebih pagi sebab harus melanjutkan perjalanan berikutnya menuju tempat yang dijanjikan. Katanya bahwa kami harus jalan kembali paling lambat jam 6 pagi. Tengah hari akan istirahat untuk makan, dan lanjut jalan sekitar sejam lagi ke tujuan akhir.

Entah apa yang terjadi, tidak seperti biasa, aku terbangun jam 4 pagi. Aku kebingungan hendak berbuat apa. Akhirnya aku memasak air hangat dan sarapan.

Jam 5 kurang, aku membangunkan bapak dan ibu. Meski dalam kondisi mengantuk, bapaknya dan ibunya langsung bangun dan melihat jam tangan. Mereka tersipu-sipu. Aku heran dalam hati.

Namun, aku tidak menghiraukan hal itu. Aku justru menghidangkan sarapan yang telah kubuat. Kami makan bersama. Puji Tuhan, mereka menyukai masakanku. Bapak sempat memujiku. Ibu juga ikut memujiku.

Setelah selesai sarapan, kami membersihkan sekitar kami. Kami membereskan kembali perlengkapan yang akan kami bawa untuk ke tujuan.

Jam setengah 6 kami sudah siap untuk jalan. Meskipun malamnya bapak berpesan akan jalan jam 6. Saat itu kami tidak perlu menunggu lama hingga jam 6. Kami langsung jalan. Untunglah kami membawa pelita untuk menerangi perjalan kami.

Tidak pernah kuduga dan tidak pernah diberitahu sebelumnya. Kami melewati semak belukar, ranting tua, pohon tua, rawa-rawa yang konon banyak hewan buas dan liar seperti ular, buaya, juga lintah. Tapi syukurla bapakku tidak memberitahu diawal. Mungkin saja aku akan takut saat itu jika diawal sudah diberitahu kondisi sebenarnya. Lagipula aku masih ingat prinsip bapak bahwa selama kami tidak berbuat jahat atau mengusik hidup mereka, merekapun tidak akan mengganggu.

Setelah kami beberapa jam melewati berbagai rintangan akhirnya kami melihat tempat peristirahatan. Kulihat bapak begitu senang.

Namun, aku melihat ada satu tantangan yang harus kami lewati yaitu memanjat pohon-pohon tua yang begitu miring. Itu cara satu-satunya menurut bapak. Bapak terlihat takut tapi bapak tidak mau menunjukkan ketakutannya.

Bapak terus memanjat sembari berkata bahwa tempat peristirahatan sudah terlihat, di atas. Dan tujuan pun sudah semakin dekat. Dari tempat peristirahatan juga sudah terlihat.

Saat itu bapak sudah di atas. Dia berjalan ke tempat yang lebih tinggi sembari menunggu kami naik.

Tidak lama kami bertiga berhasil sampai di tempat peristirahatan.

"Pak, sepertinya tempat bapak berdiri itu bagus. Aku ke sana ya, Pak," kataku saat itu karena penasaran melihat bapak yang memandang ke arah tujuan.

"Janganlah kau ke sana, Nak!" Larang ibuku saat itu.

"Sudahlah, jangan kau mendekat nanti kau terhimpit. Di sini pohon tua semua sedang yang muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya," pesan bapakku juga saat itu.

Namun, aku tetap melangkah dan menuju tempat bapak berdiri.

"Krek... krek... krek...," terdengar suara kayu yang ingin patah.

"Awas... hati-hati Putra! Mundur!" Sempat terdengarku suara bapak teriak.

Melihat kayu yang kuinjak semakin tidak kuat dan akan patah. Kulihat seakan bapak melompat dan mendorongku ke belakang.

Aku masih ingat, saat itu aku terjatuh kebelakang dan seperti akan jatuh ke jurang. Untunglah dengan cepat tanganku memegang ranting yang masih kuat, dan ibu langsung cepat melangkah dan menolongku.

Setelah aku dalam kondisi aman, kami sadar kalau bapak tidak terlihat bahkan bersuarapun tidak. Ibuku melihat bahwa bapak tadi melompat ke jurang. Sesaat sebelum menolongku, ibuku sempat melihat bapak tertusuk ranting dan masuk ke rawa yang banyak hewan buas.

"Bapakkkk... bapak...," teriak ibuku beberapa kali ke arah bapak terjatuh.

Aku sempat bertanya kemana bapak melompat.

Ibuku menjawab bahwa bapak melompat ke jurang yang berbahaya sembari menunjukkan jarinya.

Lalu ibuku berjalan memastikan tempat itu sembari berpesan agar aku tidak berpergian dan mengeraskan kepalaku. Ibuku marah sekali apalagi dengan tindakan bodohku saat itu.

Akupun hanya bisa terdiam saat itu. Sementara ibuku terus teriak-teriak memanggil bapak. Dia terus melihat ke arah ranting yang sempat menusuk bapak.

Aku melihat ada reaksi yang berbeda di wajah ibuku. Firasatku berkata sepertinya ibuku ingin melakukan hal yang bodoh. Dan memang betul, kulihat ibu semakin mendekati jurang. Dengan cepat aku langsung menangkapnya.

Ibuku marah saat itu. Dia marah sekali dan memukulku dengan ranting yang lumayan besar. Namun, aku hanya bisa terdiam dan membiarkan amarahnya teredam dengan sendirinya.

Saat suasana hening, aku memeluk ibuku. Aku mengaku salah telah keras kepala. Akupun bertanya kemana bapak pergi. Jawabannya pun sangat tidak kuharapkan dan tak pernah terpikirkan olehku.

"Dia sudah tiada. Entah kemanapun dia pergi, ibu tidak tahu. Yang pasti kita tidak akan melihat wajahnya lagi," jawab ibunya dengan teriak tangis keras.

"Maafkan aku ibu. Kalau saja... Hmmm tapi semua sudah terjadi. Namun, aku tidak mau bertindak bodoh lagi. Bapak telah berkorban untukku, artinya aku harus bertanggung jawab dengan segala yang akan terjadi di depan. Aku tidak akan membiarkan ibu pergi begitu saja, apalagi dengan cara bunuh diri. Betapa semakin kecewanya bapak denganku nanti, Bu. Aku akan jaga ibu seperti bapak telah melakukannya untukku," pintaku saat itu ke ibu.

"Jadi, sekarang apa yang akan kita lakukan, Bu?"

Aku sempat kosong hingga bertanya seperti itu ke ibuku.

Apa jawaban ibuku? Sudah kuduga, beliau mau meminta tolong ke perkampungan mencari bapak. Dia ingin melihat wajah bapak yang terakhir kalinya jika memang itu sudah suratan. 

Kami pergi tanpa memikirkan barang bawaan kami. Setelah usai bicara ibu tidak ingin mendengar pendapatku lagi. Bahkan, seingatku kami tidak ada berhenti hingga kami sampai di pangkalan ojeg. Aku kasihan dan takjub dengan ibu. Kami menembus perjalanan 2 hari tanpa makan.

Kemaren, setelah 15 tahun berlalu, ibuku berpesan yang membuat aku semakin takjub dengannya. Dia berpesan seiring semakin bertambahnya usia anakku, kamu, supaya aku mengajari anakku dan menemaninya setiap saat. Jangan sampai kebodohan dan keras kepalaku menurun ke cucunya.

Akupun mengaminkannya sehingga apa yang kamu rasakan selama ini ialah cerminan dari pengalamanku. Syukurlah, ibuku selalu mengingatkanku bahkan hingga aku punya anak. Aku selalu ingat pesan dan cara didikan bapakku. Baik dalam makan, sekolah anakku, tidur, pun dalam kehidupan lainnya.

Aku tahu cinta bapak yang begitu besar untukku harus diturunku untuk keturunannya. Bahkan nyawa taruhannya aku pun akan mengikutnya.

Tamat