Tampilkan postingan dengan label #VSCO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #VSCO. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Oktober 2016

Sajak Dalam Hening



Telaga Warna

Membiarkan dirimu hanyut dalam lelah hanya akan membawamu kepada kematian. Batu yang menghalangi tak pernah memilih siapa yang ada di belakangnya maupun di depannya, di sekitarnya.

Terkadang dan amat sering lelah datang menghampiri makhluk hidup. Hanya segelintir orang yang mampu bertahan terhadapnya, dan selebihnya hanyut. Di antara mereka yang hanyut hanya dalam hitungan jari yang mampu melewati derunya angin dan hempasan ombak. Sisanya mereka-mereka yang pulang tinggal nama.

Tidak, tidak perlu kuatir dengan seberapa banyak atau alangkah sedikitnya bagian-bagian dari mereka. Dari mereka semua kita bisa belajar. Bukan hanya dari orang-orang yang tidak merasa lelah. Bukan juga hanya dari mereka yang bisa melewati dan bangkit saat terjatuh, karena dari mereka yang tenggelam dan hilang ditelan waktu pun kita bisa belajar.
Prau, 8 Oktober 2016
Rico Ricardo Lumban Gaol

Jumat, 08 Juli 2016

Menerima Tantangan



Gbr. Setelah melalui para pengemudi "off-road"

Tentang jutaan rasa atau tentang ketercapaian? Bingung harus mau menulis apa dan bagaimana memulainya. Biarlah tulisan kali ini kutulis tentang dua kata saja yakni “Menerima Tantangan”.

Sesuatu yang tak kusangka-sangka dan jauh dari prediksi bahkan tidak masuk dalam rencana awal. Namun, kujadikan ini sebagai tantangan. Sebab rencana awalku hanyalah mencoba menginap di pinggiran hutan Cikole, Jawa Barat. Lalu pada tanggal 3 Juli aku mencari teman lewat semua media sosial yang kupunya. Sampai pada tanggal 5 Juli tidak ada satupun yang bersedia untuk bergabung di tanggal itu, yakni tanggal 7-8 Juli, tapi kalau setelah tanggal 10 ada banyak yang mau, aku sendiri yang tidak bisa selain pada tanggal itu. Ini menjadi tantangan pertamaku, aku akan “camping” sendiri di hutan.

Tanpa berpikir lebih lama, kuputuskan untuk tetap berangkat. Kusiapkan apa saja perlengkapan yang kubutuhkan. Pada tanggal 6 Juli semua perlengkapan sudah lengkap, beberapa diantaranya merupakan hasil pinjaman dan sebagiannya lagi milik sendiri. Dan ada beberapa bagian kulengkapi, kubeli, saat perjalanan tanggal 7.

Tanggal 7 Juli


Aku berangkat pagi jam 10 kurang dari Cisitu Indah ke terminal Ledeng. Karena masih dalam suasana lebaran kondisi jalan sangat ramai. Untunglah hanya tertahan kurang dari 2 jam di jalan. Yang selanjutnya aku makan dan kemudian berangkat lagi menuju Lembang. Syukurlah jalan ke Lembang tidak melalui jalan utama, melainkan jalan potong Ci Jengkol, baru tahu ternyata ada jalan potong. Sekitar 30 menit aku telah sampai di pasar Lembang.

“Dek, sudah sampai,” kata supirnya.

Aku terbengong. Setahuku dari pasar lembang ke Cikole masih jauh.

“Mau lanjut naik mobil atau jalan kaki?” tanya supir itu yang semakin membuatku bingung.

“Hmmm... Jalan kaki saja, Pak,” jawabku.

“Adek lurus aja, sekitar 2 km dari sini,” tambahnya.

Di dalam benakku, berjalan dua kilometer melalui aspal mungkin akan memakan waktu 15 menit. Setelah kubayar ongkosnya, akupun langsung berjalan. Kususuri jalan itu dan sudah melebihi 15 menit tetapi aku belum sampai juga. Dan ternyata tidak jauh lagi kulihat aku sudah berada di kaki hutan. Aku semakin bingung. Aku masuk melalui gapura yang bertuliskan “Selamat Datang di Wana Wisata LHI Jayagiri”.


“Mau ke mana, Dek?” tanya orang tua yang duduk tak jauh dari gerbang masuk tadi.

“Mau nanya, Kek. Kalau mau ke Tangkuban Perahu lewat mana?” tanyaku dengan senyuman yang penuh kebingungan.

“Oh, dari sini bisa, jalan aja sekitar 4 kilometer. Tapi bayar dulu, 7.500 rupiah,” jelasnya.

Kemudian aku bingung dan sembari berjalan menuju arah yang ditunjuknya yakni hutan Jayagiri. Aku berjalan secepat-cepatnya. Mengumpamakan diriku sebagai “Trail-Runner”. Aku masuk hutan tanpa memegang peta apalagi kompas. Tentu saja aku semakin bingung. Tiba di percabangan pertama. Jalan mana yang akan kupilih? Seandainya ada peta, mungkin aku sedikit lebih aman. Kupilihlah jalan ke kiri. Dengan resiko jika salah jalan aku harus kembali ke percabangan pertama.

Sepanjang jalan kepalaku bertambah besar, entah apa yang membuat kepalaku besar apalagi apabila bertemu percabangan. Mungkin rasa takut yang murutku wajar. Seorang diri masuk hutan. Menyusuri jalan tua yang sudah tidak ada jejak kaki sedikitpun. Hanya terlihat itupun terkadang saja ada jejak motor “off-road”. Hanya itulah sedikit tanda yang membuatku tenang, kucium seperti jejak baru. Namun, jejak itu perlahan hilang setelah kutemukan percabangan yang kesekian kalinya.

Entah sudah berapa puluh menit kutelusuri hutan itu, entah apa pula dasarnya aku tidak mengikuti jejak “off-road” yang terakhir. Aku cukup mengikuti jalan lama yang bentuknya berlobang dan berlumut. Membuatku sadar bahwa mungkin telah ada jalan baru. Mungkin beberapa percabangan tadi salah satunya. Tapi dengan keyakinan itu kepalaku kembali normal dan aku fokus kepada apa yang ada di depan yakni tujuanku, Cikole.

Sejam berlalu. Memilih mundur atau lanjut adalah dua pilihan yang tidak mudah bagiku. Di tengah hutan belantara. Hanya ada aku dan suara burung serta percabangan yang meragukan. Satu ke arah kanan, bersih. Satu ke arah kiri, menanjak. Dan satu lagi, jalan yang kutempuh, lurus dan berlubang serta berjamur. Hanya itu yang bisa kutulis. Tak ada tulisan yang bisa mewakili rasaku saat itu.

Suara anjing yang meraung mengalihkan perhatianku dari yang awalnya mengikuti alunan nafasku, kini mencari sumber suara anjing yang kian semakin mendekat. Ternyata, suaranya memang terlihat semakin mendekat tapi bentuknya, wujudnya, tidak terlihat. Kuanggap, di dalam benakku, itu anjing berburu yang mungkin sedang mengejar buruannya. Akupun tetap fokus pada jalanku dan kembali ke detak jantungku. Aku tak mau tersesat oleh pikiran-pikiranku yang negatif terlebih yang aneh-aneh.

Mungkin sudah satu setengah jam aku berjalan kencang sekencang-kencangnya. Dan, kulihat ada satu gubuk kecil dan beberapa motor “off-road”. Astaga, mungkin inilah motor yang tadi yang menuju ke kanan di percabangan terakhir.


“Punten, kalau ke simpang utama tangkuban perahu ke arah mana ya, Kang?” tanyaku ke mereka.

“Oh, ikutin saja jalan berbatu ini. Nanti kalau ketemu perempatan, ambil ke kiri,” jawab salah dua orang dari mereka sembari melihatku dengan aneh dan mungkin ingin bertanya dari mana, tapi aku langsung berangkat. Sebab yang ada dipikiranku saat itu, aku harus sampai jam 2 ke cikole. Padahal jam 2 hanya tersisa beberapa menit.

Akupun melanjutkan perjalananku mengikuti petunjuk mereka. Sekitar 10 menit aku berjalan, mungkin sudah hampir 2 kilometer. Aku berhadapan dengan pertigaan. Seingatku tidak ada pertigaan yang disebutkan mereka tadi. Aku mengamati satu persatu arah jalan yang ada. Kemudian aku melihat tanda panah ke kiri. Sebenarnya aku tidak yakin itu tanda panah ke arah tujuanku atau tidak. Tapi tak ada pilihan lain. Aku memilih untuk berbelok ke kiri.

Dan, di sini ada dua pertigaan lagi. Yang masing-masing memiliki tanda panah. Persis seperti di pertigaan tadi. Dan bahkan ketika aku menoleh ke belakang, akupun melihat ada tanda panah ke arah dari mana aku datang tadi. Karena mundur bukan pilihan, maka aku memilih ke kiri. Setidaknya aku hanya berputar-putar kalaupun memang tersesat.

Kulihat jam tanganku menunjukkan sekitar setengah 3 kurang, aku dihadapkan dengan perempatan. Awalnya kupikir perempatan itu adalah aspal. Kenyataannya jalan tanah yang berukuran besar. Dan keempatnya jalan besar yang dilalui mobil “off-road”. Di benakku pastilah kalau pada dasarnya aku tersesat, sudah dari awal aku akan tersesat. Tapi kali ini aku menar-benar bingung karena perjalananku sudah sangat jauh. Aku memilih jalan yang agak ke kanan, atau agak ke kiri atau bahkan yang dekat di sisi kiriku. Perempatan yang ada bukan merupakan sudut 360 dibagi 4 seperti perempatan di kota-kota. Hmmm, karena naluri menunjukkan bahwa ini adalah percabangan terakhir, bukan menjawab keraguan tetapi menghilangkan keraguan, aku tidak takut untuk kembali jika memang itu yang harus kutempuh. Aku memilih sebelah kiri yang paling dekat denganku.

Jam 3 kurang, setelah berjalan hampir 30 menit, aku bertemu pertigaan dan kali ini aspal, sepertinya baru diaspal. Aku mulai tersenyum. Dengan mudah aku memilih sebelah kanan. Sebab kemungkinan sebelah kiri adalah jalan menuju Tangkuban Perahu, terlihat menara signal. Benar saja, 30 menit aku berjalan ke kanan terdengar suara mobil di depan, jalan utama. Akhirnya aku melewati tantangan kedua. Menyusuri hutan yang sama sekali bukan rencanaku dan belum pernah kulalui sebelumnya.

Belum berakhir sampai di situ. Itu "hanya" perjalanan menuju tantangan utamaku yakni menginap sendiri di hutan Cikole. Namun, untuk yang ini akan kutulis di tulisan berikutnya dengan judul “Menaklukkan Diri”.


Semesta menjawab tantanganku!
Cikole, 7 Juli 2016.