|
Gbr. Setelah melalui para pengemudi "off-road" |
Tentang jutaan rasa atau tentang ketercapaian? Bingung harus
mau menulis apa dan bagaimana memulainya. Biarlah tulisan kali ini kutulis
tentang dua kata saja yakni “Menerima Tantangan”.
Sesuatu yang tak kusangka-sangka dan jauh dari prediksi
bahkan tidak masuk dalam rencana awal. Namun, kujadikan ini sebagai tantangan.
Sebab rencana awalku hanyalah mencoba menginap di pinggiran hutan Cikole, Jawa
Barat. Lalu pada tanggal 3 Juli aku mencari teman lewat semua media sosial yang
kupunya. Sampai pada tanggal 5 Juli tidak ada satupun yang bersedia untuk bergabung di tanggal
itu, yakni tanggal 7-8 Juli, tapi kalau setelah tanggal 10 ada banyak yang mau,
aku sendiri yang tidak bisa selain pada tanggal itu. Ini menjadi tantangan
pertamaku, aku akan “camping” sendiri di hutan.
Tanpa berpikir lebih lama, kuputuskan untuk tetap berangkat.
Kusiapkan apa saja perlengkapan yang kubutuhkan. Pada tanggal 6 Juli semua
perlengkapan sudah lengkap, beberapa diantaranya merupakan hasil pinjaman dan
sebagiannya lagi milik sendiri. Dan ada beberapa bagian kulengkapi, kubeli,
saat perjalanan tanggal 7.
Tanggal 7 Juli
Aku berangkat pagi jam 10 kurang dari Cisitu Indah ke
terminal Ledeng. Karena masih dalam suasana lebaran kondisi jalan sangat ramai.
Untunglah hanya tertahan kurang dari 2 jam di jalan. Yang selanjutnya aku makan
dan kemudian berangkat lagi menuju Lembang. Syukurlah jalan ke Lembang tidak melalui
jalan utama, melainkan jalan potong Ci Jengkol, baru tahu ternyata ada jalan
potong. Sekitar 30 menit aku telah sampai di pasar Lembang.
“Dek, sudah sampai,” kata supirnya.
Aku terbengong. Setahuku dari pasar lembang ke Cikole masih
jauh.
“Mau lanjut naik mobil atau jalan kaki?” tanya supir itu
yang semakin membuatku bingung.
“Hmmm... Jalan kaki saja, Pak,” jawabku.
“Adek lurus aja, sekitar 2 km dari sini,” tambahnya.
Di dalam benakku, berjalan dua kilometer melalui aspal
mungkin akan memakan waktu 15 menit. Setelah kubayar ongkosnya, akupun langsung
berjalan. Kususuri jalan itu dan sudah melebihi 15 menit tetapi aku belum
sampai juga. Dan ternyata tidak jauh lagi kulihat aku sudah berada di kaki
hutan. Aku semakin bingung. Aku masuk melalui gapura yang bertuliskan “Selamat
Datang di Wana Wisata LHI Jayagiri”.
“Mau ke mana, Dek?” tanya orang tua yang duduk tak jauh dari
gerbang masuk tadi.
“Mau nanya, Kek. Kalau mau ke Tangkuban Perahu lewat mana?”
tanyaku dengan senyuman yang penuh kebingungan.
“Oh, dari sini bisa, jalan aja sekitar 4 kilometer. Tapi bayar
dulu, 7.500 rupiah,” jelasnya.
Kemudian aku bingung dan sembari berjalan menuju arah yang
ditunjuknya yakni hutan Jayagiri. Aku berjalan secepat-cepatnya. Mengumpamakan diriku
sebagai “Trail-Runner”. Aku masuk hutan tanpa memegang peta apalagi kompas. Tentu
saja aku semakin bingung. Tiba di percabangan pertama. Jalan mana yang akan
kupilih? Seandainya ada peta, mungkin aku sedikit lebih aman. Kupilihlah jalan
ke kiri. Dengan resiko jika salah jalan aku harus kembali ke percabangan
pertama.
Sepanjang jalan kepalaku bertambah besar, entah apa yang
membuat kepalaku besar apalagi apabila bertemu percabangan. Mungkin rasa takut
yang murutku wajar. Seorang diri masuk hutan. Menyusuri jalan tua yang sudah
tidak ada jejak kaki sedikitpun. Hanya terlihat itupun terkadang saja ada jejak
motor “off-road”. Hanya itulah sedikit tanda yang membuatku tenang, kucium
seperti jejak baru. Namun, jejak itu perlahan hilang setelah kutemukan percabangan
yang kesekian kalinya.
Entah sudah berapa puluh menit kutelusuri hutan itu, entah
apa pula dasarnya aku tidak mengikuti jejak “off-road” yang terakhir. Aku cukup
mengikuti jalan lama yang bentuknya berlobang dan berlumut. Membuatku sadar
bahwa mungkin telah ada jalan baru. Mungkin beberapa percabangan tadi salah
satunya. Tapi dengan keyakinan itu kepalaku kembali normal dan aku fokus kepada
apa yang ada di depan yakni tujuanku, Cikole.
Sejam berlalu. Memilih mundur atau lanjut adalah dua pilihan
yang tidak mudah bagiku. Di tengah hutan belantara. Hanya ada aku dan suara
burung serta percabangan yang meragukan. Satu ke arah kanan, bersih. Satu ke
arah kiri, menanjak. Dan satu lagi, jalan yang kutempuh, lurus dan berlubang
serta berjamur. Hanya itu yang bisa kutulis. Tak ada tulisan yang bisa mewakili
rasaku saat itu.
Suara anjing yang meraung mengalihkan perhatianku dari yang
awalnya mengikuti alunan nafasku, kini mencari sumber suara anjing yang kian
semakin mendekat. Ternyata, suaranya memang terlihat semakin mendekat tapi
bentuknya, wujudnya, tidak terlihat. Kuanggap, di dalam benakku, itu anjing
berburu yang mungkin sedang mengejar buruannya. Akupun tetap fokus pada jalanku
dan kembali ke detak jantungku. Aku tak mau tersesat oleh pikiran-pikiranku
yang negatif terlebih yang aneh-aneh.
Mungkin sudah satu setengah jam aku berjalan kencang
sekencang-kencangnya. Dan, kulihat ada satu gubuk kecil dan beberapa motor “off-road”.
Astaga, mungkin inilah motor yang tadi yang menuju ke kanan di percabangan
terakhir.
“Punten, kalau ke simpang utama tangkuban perahu ke arah
mana ya, Kang?” tanyaku ke mereka.
“Oh, ikutin saja jalan berbatu ini. Nanti kalau ketemu
perempatan, ambil ke kiri,” jawab salah dua orang dari mereka sembari melihatku
dengan aneh dan mungkin ingin bertanya dari mana, tapi aku langsung berangkat. Sebab
yang ada dipikiranku saat itu, aku harus sampai jam 2 ke cikole. Padahal jam 2
hanya tersisa beberapa menit.
Akupun melanjutkan perjalananku mengikuti petunjuk mereka. Sekitar
10 menit aku berjalan, mungkin sudah hampir 2 kilometer. Aku berhadapan dengan
pertigaan. Seingatku tidak ada pertigaan yang disebutkan mereka tadi. Aku mengamati
satu persatu arah jalan yang ada. Kemudian aku melihat tanda panah ke kiri. Sebenarnya
aku tidak yakin itu tanda panah ke arah tujuanku atau tidak. Tapi tak ada
pilihan lain. Aku memilih untuk berbelok ke kiri.
Dan, di sini ada dua pertigaan lagi. Yang masing-masing
memiliki tanda panah. Persis seperti di pertigaan tadi. Dan bahkan ketika aku
menoleh ke belakang, akupun melihat ada tanda panah ke arah dari mana aku
datang tadi. Karena mundur bukan pilihan, maka aku memilih ke kiri. Setidaknya aku
hanya berputar-putar kalaupun memang tersesat.
Kulihat jam tanganku menunjukkan sekitar setengah 3 kurang,
aku dihadapkan dengan perempatan. Awalnya kupikir perempatan itu adalah aspal. Kenyataannya
jalan tanah yang berukuran besar. Dan keempatnya jalan besar yang dilalui mobil
“off-road”. Di benakku pastilah kalau pada dasarnya aku tersesat, sudah dari
awal aku akan tersesat. Tapi kali ini aku menar-benar bingung karena
perjalananku sudah sangat jauh. Aku memilih jalan yang agak ke kanan, atau agak
ke kiri atau bahkan yang dekat di sisi kiriku. Perempatan yang ada bukan
merupakan sudut 360 dibagi 4 seperti perempatan di kota-kota. Hmmm, karena
naluri menunjukkan bahwa ini adalah percabangan terakhir, bukan menjawab
keraguan tetapi menghilangkan keraguan, aku tidak takut untuk kembali jika
memang itu yang harus kutempuh. Aku memilih sebelah kiri yang paling dekat
denganku.
Jam 3 kurang, setelah berjalan hampir 30 menit, aku bertemu pertigaan
dan kali ini aspal, sepertinya baru diaspal. Aku mulai tersenyum. Dengan mudah
aku memilih sebelah kanan. Sebab kemungkinan sebelah kiri adalah jalan menuju Tangkuban Perahu, terlihat menara signal. Benar saja, 30 menit aku berjalan ke kanan terdengar suara
mobil di depan, jalan utama. Akhirnya aku melewati tantangan kedua. Menyusuri hutan
yang sama sekali bukan rencanaku dan belum pernah kulalui sebelumnya.
Belum berakhir sampai di situ. Itu "hanya" perjalanan menuju
tantangan utamaku yakni menginap sendiri di hutan Cikole. Namun, untuk yang ini
akan kutulis di tulisan berikutnya dengan judul “Menaklukkan Diri”.
Semesta menjawab tantanganku!
Cikole, 7 Juli 2016.