Gbr. Dari Hutan Jayagiri Hingga Ke Cikole |
“Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.” Atau kata pepatah, “Mulutmu Harimaumu.”
Terkadang aku menulis memang bukan untuk orang lain atau
pembaca. Makanya banyak dari tulisanku hanya kutulis di secarik kertas lalu
terbuang entah kemana. Baru akhir-akhir ini saja aku menulis dibuku lalu
kusalin ke media sosial sebut saja “blog”. Tak lain ialah supaya aku selalu
ingat bahwa apa yang ada di hatiku, saat aku menulis, tetap ada sebagai
pengingat diriku, setidaknya tiap kali aku menghela nafas. Sedang kalau ada
pembaca yang baik hati ingin membaca dan ingin berbagi pandangannya dari apa
yang kutulis, maka dengan senang hati aku menanggapinya untuk perbaikan diriku
kedepannya.
Adapun “Menaklukkan Diri” di sini ialah ujian untuk tulisan
demi tulisan, entah tulisan yang terbuang ataupun sempat kusalin, yang pernah
ada. Tentang “Kekuatan Mengenal Rasa”, tentang “Manusia Dewasa”, “Integritas”,
dan tentang tulisan lainnya. Agar tulisanku tak sekedar tulisan yang berlalu
bagai secarik kertas terbang ditelan waktu. Apalagi telingaku terlatih
mendengar semboyan “Belajarlah dari Alam” sebab memang alam tidak pernah berbohong.
Bagaimana diciptakan, begitu adanya. Apa yang dilihat mata itulah sesungguhnya.
Apa yang didengar telinga itulah yang terjadi. Apa yang dirasakan hati itu pula
yang tergambarkan di alam bebas. Sesungguhnya hanya manusia yang ada tidak
seperti adanya.
Pada tulisan sebelumnya tentang “Menerima Tantangan” aku
memaknainya sebagai jalan sebelum aku mampu menaklukkan diriku sendiri. Ketika
aku menantang diriku, semesta menjawabnya dan aku menerima semuanya dengan
senyuman. Mungkin semesta berkata bahwa hanya-sekedar tidur di alam itu mudah
bagi siapapun. Sehingga tidak seorangpun ada yang “mau” menemaniku menjalani
tantangan yang ada dalam rencanaku. Tak cukup sampai di situ, aku juga diberi
pemanasan, pendahuluan, untuk menelusuri hutan belantara selama 3 (tiga) jam sebagai
bahan tambahan untuk merefleksikan diriku lebih dalam. Karena semua bisa
terjadi saat itu juga.
Kalau aku mundur, sebenarnya mudah saja. Tetapi bagaimana
tentang “Integritas” yang pernah kutulis? Orang lain mungkin akan mengerti
dengan kukatakan bahwa aku tidak punya teman sehingga aku tidak jadi berkelana
di hutan Cikole. Padahal karena takut, mungkin. Sedang bagaimana
pertanggungjawabannya kepada diriku? Karena hanya diriku yang tahu seberapa
besar makna segala yang tertulis dan seberapa besar pembuktian untuk semuanya
itu. Bisa saja aku mundur dan orang-orang menerimaku dengan biasa. Tetapi hatiku
akan meronta bahwa apa yang kutulis hanyalah dusta belaka, hanyalah tentang
teori dan tidak mampu kubuktikan, meskipun banyak dari tulisanku itu ialah
pengalaman yang sudah kualami.
Aku tidak ingin hidup seperti orang mati. Atau orang hidup yang
hanya bernafas tetapi tidak menghidupi nafasnya. Karena tulisan bagiku bukan
sekedar tulisan, melainkan ungkapan nafas dan detak jantungku. Bagiku tulisanku
hidup. Dan sesungguhnya seharusnya semua tulisan memang hidup dan melekat di sanubari
setiap penulisnya.
Mungkin terlihat bodoh bagi beberapa orang. Tetapi aku
sendiri tidak ingin main-main dengan setiap apa yang terlontar dari mulutku
apalagi berupa tulisan, yang mungkin beberapa puluh tahun lagi orang lain
membacanya, atau bahkan anak-cucuku jika memang hidupku sampai pada tahap itu. Aku
juga ingat bahwa perjalananku dari jam 12 siang hari pertama hingga hari kedua
pada jam yang sama aku ingin menjalaninya dengan berpuasa, sebagai bentuk
penghormatan dan mendekatkan diri lebih jauh dengan alam dan pencipta.
Dalam keheningan, dalam ribuan rasa yang ada saat itu, dalam
kegelapan, dalam kesendirian sebagai manusia. Ya, hanya ada aku manusia di situ
pada malam itu. Malam dalam kesejukan, sebenarnya sangat dingin, aku menggigil.
Hingga aku tak tahu kata apalagi yang ingin kutuliskan untuk menggambarkan
malam itu. Aku tidak tidur hingga kudengar suara merdu Adzan Subuh. Kupejamkan
mataku dan kuucapkan begitu pelan “ujianmu selesai, sahabatku.”
Bangun dari tidur, sekitar jam 6 pagi, setelah semua
perlengkapan kubungkus rapi dan kumasukkan dalam tasku. Kupeluk diriku sendiri
sembari berkata, “Engkau kunobatkan sebagai seseorang yang telah berhasil
menaklukkan diri!”
Musuh terkuatku ada di dalam hati dan pikiranku!
Cikole, 8 Juli 2016