Tampilkan postingan dengan label Menerima. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menerima. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Agustus 2016

Kekuatan Menerima dan Melepaskan


“Karena akhir-akhir ini semakin banyak orang yang enggan menerima, semakin susah untuk memaafkan, semakin sulit untuk melepaskan, maka apa salahnya sedikit berbagi cerita yang barangkali bisa membantu. Terima kasih buat yang kemaren mengingatkan kembali kisah ini. Semoga dengan saling berbagi semakin banyak orang yang mendapatkan pelajaran dan menatap masa depannya.”
Ada sebuah kisah nyata tentang monyet dan kacang dalam toples. Konon para pemburu monyet di Afrika hanya menggunakan toples sempit yang diisi dengan kacang-kacang yang wangi, kesukaan monyet hutan Afrika, untuk menangkap monyet. Lalu toples-toples tersebut ditanam ke tanah dengan menyisakan mulut toples di permukaan tanah tanpa penutup. Biasanya para pemburu membuat jebakan pada sore hari dan besoknya para pemburu tinggal menangkap monyet-monyet yang tangannya masuk dalam perangkap.

Mungkin banyak orang yang bertanya mengapa bisa dan sebodoh itu. Ceritanya ialah monyet yang tertarik pada wewangian yang ada akan mencari dan mendekatinya dan kemudian memasukkan tangannya kedalam toples tersebut. Nah karena monyet-monyet tersebut biasanya harus mengepalkan tangannya untuk menggenggam kacang yang akan diambilnya maka akibat genggaman itulah tangannya tidak bisa ditarik keluar dari toples.

Dan sudah menjadi perilaku, ciri-ciri yang pasti dimiliki, monyet untuk mempertahankan apa yang ingin dimiliki apalagi kalau sudah digenggamannya. Monyet-monyet pun terkenal tidak akan pernah melepaskan genggaman tangannya tersebut. Bahkan monyet tersebut tidak akan pernah mengenal waktu sampai kacang itu berhasil dibawanya keluar.

Pada saat pemburu datang keesokan harinya, pemburu akan dengan mudah menangkapnya sebab si monyet tidak akan bisa bergerak jauh dari toples perangkap. Pemburu dengan mudah mengurung kepalanya atau bahkan menjerat kedua tangan dan kakinya agar tidak meronta.

Yah… Monyet itu terdengar bodoh dan wajar saja setiap pendengar atau pembaca merasa lebih pintar dan tertawa hingga terbahak-bahak. Jika benar begitu adanya, marilah kita alihkan tawa kita ke diri kita sendiri. Karena tanpa kita sadari, sering sekali, kita pun melakukan hal yang sama.

Kita sering sekali sukar melepaskan genggaman atas apa yang kita inginkan. Kita jarang sekali memahami lingkungan sekitar sehingga kita tidak dapat membaca bahwa kita sedang berada dalam masalah besar. Setiap permasalahan yang kita miliki selalu kita pelihara di dalam kepala kita, di dalam hati kita seperti cerita monyet di atas yang menggenggam kacang itu dengan ego dan nafsu. Kita bahkan sering menyimpan permasalahan yang ada hingga tak peduli waktu sudah pukul berapa.

Padahal begitu mudah cara untuk mengeluarkan tangan dari perangkap toples tersebut yaitu hanya dengan melepaskan genggaman yang ada. Hanya dengan sikap berbesar hati bahwa kacang hanyalah kacang yang bisa di dapatkan di tempat lain. Hanya dengan berlapang dada dan menenangkan diri serta menerima bahwa kacang itu harus dilepaskan.

Pun dengan setiap masalah yang kita miliki. Yang membuat kita terperangkap di dalamnya adalah diri kita sendiri, pikiran-pikiran kita sendiri. Padahal hanya dengan menerima sakit yang kita rasakan dan melepaskannya, untuk kesembuhan fisik dan jiwa, kita bisa keluar dari masalah yang ada; Untuk kebaikan di masa depan.

Mari kita ambil salah satu contoh yang sedang “booming” akhir-akhir ini yakni gagal “move on” dari mantan. Ada banyak orang begitu sukar untuk keluar dari masalah itu. Ada banyak orang tahu bahwa itu masalah namun tetap saja mereka tidak ingin melepaskannya. Padahal bisa saja mantan tersebut sudah tidak memikirkan kita atau bahkan sudah memiliki kekasih lain. Lalu sampai kapan kita harus memenjarakan pikiran kita yang sudah kita tahu tidak akan bisa kembali. Mengapa tidak berjalan dan menatap masa depan.

Atau ada juga beberapa orang yang begitu sukar untuk memaafkan orang yang menyakiti hatinya sehingga mereka-mereka yang disakiti sering memendam amarah yang membuat dirinya sendiri merugi. Benarkah orang yang menyakiti kita sedang memikirkan sakit yang kita rasa? Jika ya, mengapa dia menyakiti kita? Mungkin dia tidak memikirkan kita. Lantas masihkah kita mau tenggelam dalam dendam yang justru melukai dan semakin menyayat perasaan kita? Caranya mudah saja, terimalah bahwa kita memang sudah terluka dan disakiti namun jangan simpan dan jangan genggam rasa dendam yang ada jika kita masih ingin melihat masa depan.

Jumat, 08 Juli 2016

Menerima Tantangan



Gbr. Setelah melalui para pengemudi "off-road"

Tentang jutaan rasa atau tentang ketercapaian? Bingung harus mau menulis apa dan bagaimana memulainya. Biarlah tulisan kali ini kutulis tentang dua kata saja yakni “Menerima Tantangan”.

Sesuatu yang tak kusangka-sangka dan jauh dari prediksi bahkan tidak masuk dalam rencana awal. Namun, kujadikan ini sebagai tantangan. Sebab rencana awalku hanyalah mencoba menginap di pinggiran hutan Cikole, Jawa Barat. Lalu pada tanggal 3 Juli aku mencari teman lewat semua media sosial yang kupunya. Sampai pada tanggal 5 Juli tidak ada satupun yang bersedia untuk bergabung di tanggal itu, yakni tanggal 7-8 Juli, tapi kalau setelah tanggal 10 ada banyak yang mau, aku sendiri yang tidak bisa selain pada tanggal itu. Ini menjadi tantangan pertamaku, aku akan “camping” sendiri di hutan.

Tanpa berpikir lebih lama, kuputuskan untuk tetap berangkat. Kusiapkan apa saja perlengkapan yang kubutuhkan. Pada tanggal 6 Juli semua perlengkapan sudah lengkap, beberapa diantaranya merupakan hasil pinjaman dan sebagiannya lagi milik sendiri. Dan ada beberapa bagian kulengkapi, kubeli, saat perjalanan tanggal 7.

Tanggal 7 Juli


Aku berangkat pagi jam 10 kurang dari Cisitu Indah ke terminal Ledeng. Karena masih dalam suasana lebaran kondisi jalan sangat ramai. Untunglah hanya tertahan kurang dari 2 jam di jalan. Yang selanjutnya aku makan dan kemudian berangkat lagi menuju Lembang. Syukurlah jalan ke Lembang tidak melalui jalan utama, melainkan jalan potong Ci Jengkol, baru tahu ternyata ada jalan potong. Sekitar 30 menit aku telah sampai di pasar Lembang.

“Dek, sudah sampai,” kata supirnya.

Aku terbengong. Setahuku dari pasar lembang ke Cikole masih jauh.

“Mau lanjut naik mobil atau jalan kaki?” tanya supir itu yang semakin membuatku bingung.

“Hmmm... Jalan kaki saja, Pak,” jawabku.

“Adek lurus aja, sekitar 2 km dari sini,” tambahnya.

Di dalam benakku, berjalan dua kilometer melalui aspal mungkin akan memakan waktu 15 menit. Setelah kubayar ongkosnya, akupun langsung berjalan. Kususuri jalan itu dan sudah melebihi 15 menit tetapi aku belum sampai juga. Dan ternyata tidak jauh lagi kulihat aku sudah berada di kaki hutan. Aku semakin bingung. Aku masuk melalui gapura yang bertuliskan “Selamat Datang di Wana Wisata LHI Jayagiri”.


“Mau ke mana, Dek?” tanya orang tua yang duduk tak jauh dari gerbang masuk tadi.

“Mau nanya, Kek. Kalau mau ke Tangkuban Perahu lewat mana?” tanyaku dengan senyuman yang penuh kebingungan.

“Oh, dari sini bisa, jalan aja sekitar 4 kilometer. Tapi bayar dulu, 7.500 rupiah,” jelasnya.

Kemudian aku bingung dan sembari berjalan menuju arah yang ditunjuknya yakni hutan Jayagiri. Aku berjalan secepat-cepatnya. Mengumpamakan diriku sebagai “Trail-Runner”. Aku masuk hutan tanpa memegang peta apalagi kompas. Tentu saja aku semakin bingung. Tiba di percabangan pertama. Jalan mana yang akan kupilih? Seandainya ada peta, mungkin aku sedikit lebih aman. Kupilihlah jalan ke kiri. Dengan resiko jika salah jalan aku harus kembali ke percabangan pertama.

Sepanjang jalan kepalaku bertambah besar, entah apa yang membuat kepalaku besar apalagi apabila bertemu percabangan. Mungkin rasa takut yang murutku wajar. Seorang diri masuk hutan. Menyusuri jalan tua yang sudah tidak ada jejak kaki sedikitpun. Hanya terlihat itupun terkadang saja ada jejak motor “off-road”. Hanya itulah sedikit tanda yang membuatku tenang, kucium seperti jejak baru. Namun, jejak itu perlahan hilang setelah kutemukan percabangan yang kesekian kalinya.

Entah sudah berapa puluh menit kutelusuri hutan itu, entah apa pula dasarnya aku tidak mengikuti jejak “off-road” yang terakhir. Aku cukup mengikuti jalan lama yang bentuknya berlobang dan berlumut. Membuatku sadar bahwa mungkin telah ada jalan baru. Mungkin beberapa percabangan tadi salah satunya. Tapi dengan keyakinan itu kepalaku kembali normal dan aku fokus kepada apa yang ada di depan yakni tujuanku, Cikole.

Sejam berlalu. Memilih mundur atau lanjut adalah dua pilihan yang tidak mudah bagiku. Di tengah hutan belantara. Hanya ada aku dan suara burung serta percabangan yang meragukan. Satu ke arah kanan, bersih. Satu ke arah kiri, menanjak. Dan satu lagi, jalan yang kutempuh, lurus dan berlubang serta berjamur. Hanya itu yang bisa kutulis. Tak ada tulisan yang bisa mewakili rasaku saat itu.

Suara anjing yang meraung mengalihkan perhatianku dari yang awalnya mengikuti alunan nafasku, kini mencari sumber suara anjing yang kian semakin mendekat. Ternyata, suaranya memang terlihat semakin mendekat tapi bentuknya, wujudnya, tidak terlihat. Kuanggap, di dalam benakku, itu anjing berburu yang mungkin sedang mengejar buruannya. Akupun tetap fokus pada jalanku dan kembali ke detak jantungku. Aku tak mau tersesat oleh pikiran-pikiranku yang negatif terlebih yang aneh-aneh.

Mungkin sudah satu setengah jam aku berjalan kencang sekencang-kencangnya. Dan, kulihat ada satu gubuk kecil dan beberapa motor “off-road”. Astaga, mungkin inilah motor yang tadi yang menuju ke kanan di percabangan terakhir.


“Punten, kalau ke simpang utama tangkuban perahu ke arah mana ya, Kang?” tanyaku ke mereka.

“Oh, ikutin saja jalan berbatu ini. Nanti kalau ketemu perempatan, ambil ke kiri,” jawab salah dua orang dari mereka sembari melihatku dengan aneh dan mungkin ingin bertanya dari mana, tapi aku langsung berangkat. Sebab yang ada dipikiranku saat itu, aku harus sampai jam 2 ke cikole. Padahal jam 2 hanya tersisa beberapa menit.

Akupun melanjutkan perjalananku mengikuti petunjuk mereka. Sekitar 10 menit aku berjalan, mungkin sudah hampir 2 kilometer. Aku berhadapan dengan pertigaan. Seingatku tidak ada pertigaan yang disebutkan mereka tadi. Aku mengamati satu persatu arah jalan yang ada. Kemudian aku melihat tanda panah ke kiri. Sebenarnya aku tidak yakin itu tanda panah ke arah tujuanku atau tidak. Tapi tak ada pilihan lain. Aku memilih untuk berbelok ke kiri.

Dan, di sini ada dua pertigaan lagi. Yang masing-masing memiliki tanda panah. Persis seperti di pertigaan tadi. Dan bahkan ketika aku menoleh ke belakang, akupun melihat ada tanda panah ke arah dari mana aku datang tadi. Karena mundur bukan pilihan, maka aku memilih ke kiri. Setidaknya aku hanya berputar-putar kalaupun memang tersesat.

Kulihat jam tanganku menunjukkan sekitar setengah 3 kurang, aku dihadapkan dengan perempatan. Awalnya kupikir perempatan itu adalah aspal. Kenyataannya jalan tanah yang berukuran besar. Dan keempatnya jalan besar yang dilalui mobil “off-road”. Di benakku pastilah kalau pada dasarnya aku tersesat, sudah dari awal aku akan tersesat. Tapi kali ini aku menar-benar bingung karena perjalananku sudah sangat jauh. Aku memilih jalan yang agak ke kanan, atau agak ke kiri atau bahkan yang dekat di sisi kiriku. Perempatan yang ada bukan merupakan sudut 360 dibagi 4 seperti perempatan di kota-kota. Hmmm, karena naluri menunjukkan bahwa ini adalah percabangan terakhir, bukan menjawab keraguan tetapi menghilangkan keraguan, aku tidak takut untuk kembali jika memang itu yang harus kutempuh. Aku memilih sebelah kiri yang paling dekat denganku.

Jam 3 kurang, setelah berjalan hampir 30 menit, aku bertemu pertigaan dan kali ini aspal, sepertinya baru diaspal. Aku mulai tersenyum. Dengan mudah aku memilih sebelah kanan. Sebab kemungkinan sebelah kiri adalah jalan menuju Tangkuban Perahu, terlihat menara signal. Benar saja, 30 menit aku berjalan ke kanan terdengar suara mobil di depan, jalan utama. Akhirnya aku melewati tantangan kedua. Menyusuri hutan yang sama sekali bukan rencanaku dan belum pernah kulalui sebelumnya.

Belum berakhir sampai di situ. Itu "hanya" perjalanan menuju tantangan utamaku yakni menginap sendiri di hutan Cikole. Namun, untuk yang ini akan kutulis di tulisan berikutnya dengan judul “Menaklukkan Diri”.


Semesta menjawab tantanganku!
Cikole, 7 Juli 2016.

Rabu, 22 Juni 2016

Kenyamanan Itu Semu



Selama ini aku mencari kenyamanan jauh dari hadapanku. Tak jarang kutemukan tempat yang paling nyaman ialah hutan, gunung, sawah, lautan, dan alam terbuka lainnya. Pernah juga mendapat masukan dari teman tentang ciri dari nyaman itu ketika aku bertanya. Sempat kami mengaitkannya dengan hubungan seseorang. Tak sedikit di dalam suatu hubungan nyaman menjadi parameter. Merasa pasangannya sangat memberi kenyamanan, dan aku sendiri pernah mengalami hal itu.


Namun pertanyaan saat ini ialah, bisakah aku menemukan sesuatu yang membuatku nyaman dari lingkunganku? Aku sempat mencoba hingga berhari-hari. Tentunya aku membuat syarat agar aku bisa merasakan apakah benar inilah kenyamanan bagiku yakni bila aku menemukan satu bentuk, posisi, keberadaan, kenyamanan aku tidak boleh berpaling darinya pun berganti posisi jika memang posisilah yang membuatku nyaman.

Misalnya, aku pernah mencoba dalam hal duduk. Aku mencoba untuk bersandar dan memposisikan diriku senyaman mungkin dan sesuai syarat bahwa aku tidak boleh berpindah atau mengubah gerakan. Hasilnya? Aku tidak kuat. Sehingga posisi yang kuanggap diawal paling nyaman, ternyata malah membuatku tidak nyaman.

Setahun yang lalu aku juga pernah mencari kenyamanan di tengah hutan dan gunung. Pun, pernah ke pantai, ke sawah, dan ke pedesaan “Live In” hanya untuk mencari kenyamanan. Hasilnya? Memang aku tenang di sana, mendapatkan kenyamanan. Namun, seiring bergulirnya waktu, kenyamanan itu terbawa pergi menghilang bersama berlalunya malam. Inilah yang kusebut kenyamanan semu.

Lalu beberapa bulan terakhir aku mencoba untuk memaknai kenyamanan itu. Aku tidak mencari yang jauh di luar, aku masuk ke dalam diriku, aku bertanya sesungguhnya apa yang membuatku nyaman, jawabannya sangat sederhana, dimanapun aku berada, dengan siapapun aku berteman jika aku ingin nyaman dengannya, dengan kondisi apapun, jika aku sendiri memberikan rasa nyaman dari diriku untuk diriku, maka kenyamanan itu hadir, kenyamanan itu ada.

Dan setelah itu aku sering berbagi cerita kepada beberapa orang, untuk meyakinkan diriku,  bahwa kenyamanan itu sejauh dua jengkal. Untuk menemukan kenyamanan selamilah diri kita sendiri, dari pikiran hingga ke hati, sebelum memberi syarat atau mencari sesuatu yang ada di luar. Berbagai metoda pernah kucoba salah satunya dengan metoda yang menurutku posisi paling tidak nyaman jika dilihat oleh mata yakni menahan posisi kuda-kuda selama 4 menit, Viksana (posisi Yoga) dengan kaki penyangga ditahan ditekuk, dan bahkan pernah berbagi dengan posisi “headstand”.

Setelah itu aku meminta mereka untuk fokus ke diri mereka, bukan mengosongkan pikiran mereka, jauh ke dalam diri mereka dan mengikuti aliran nafas, setelah itu aliran darah, dan meminta mereka untuk merangkul dan menerima rasa tidak nyaman dengan mensyukuri anugerah yang ada dan selalu gratis yang setiap saat mereka hirup, yakni udara segar.

Apa hasilnya? Tidak sedikit yang berkata bahwa sungguh ketika bisa fokus dengan aliran nafas, detakan jantung, dan darah yang mengalir ke seluruh tubuh, mereka merasa nyaman dan sejenak ketidaknyamanan menjadi nikmat. Namun, banyak juga yang berkata belum mampu fokus. Wajar saja bagiku untuk yang tidak terbiasa dan belum mampu untuk memfokuskan diri. Terkadang orang yang menolak sesuatu yang tidak masuk akal, menurutnya, mereka tidak akan mampu mendapatkannya hingga mereka sendiri mau menerima dan mencobanya dengan sungguh-sungguh.

Sesungguhnya kenyamanan itu hanya sejauh dua jengkal yakni sejauh pikiran kita dan hati kita. Jika kita tak mampu masuk ke dalam diri kita, selama itu pula kenyamanan menjadi semu.

@ricolg