Selasa, 30 Agustus 2016

“Adu Semut”


Pasti beberapa dari kita terutama yang pernah melewati dan menikmati masa kecil akan tahu bagaimana caranya untuk mengadu semut. Iya, tepat sekali dengan merusak, mencabut, salah satu “kumis”, atau bahasa ilmiahnya sering disebut “antennae”, mereka. Terlihat sederhana tapi efeknya tidak bisa dianggap remeh. Bahkan cara tersebut sering digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk merusak hubungan suatu perkumpulan, persaudaraan, atau bahkkan dalam bernegara.

Jika dilihat dari tragedi yang sering diberitakan di dunia yang dewasa ini juga sedang terjadi “massive” di Indonesia merupakan efek “Adu Semut”. Yah, mungkin dipelajaran sejarah sering kita mendengar “Divide et Impera” yakni strategi untuk memecah belah dan menguasai. Caranya tidak jauh berbeda dengan “adu semut” yakni dengan merusak sebagian dari anggota organisasi, persaudaraan, atau bahkan dalam bernegara.

“Adu semut” ini memang sukar untuk ditemukan jalan keluarnya selama semua sisi tidak mau belajar menerima bahwa mereka sedang dimanfaatkan. Apalagi untuk mengantisipasinya karena kebanyakan manusia saat ini begitu mudah terbakar sehingga mata tidak mampu melihat bahwa mereka akan dimanfaatkan dan sedang berada di dalam perangkap permainan para penghancur yang  tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi setiap sisi saat ini memang sudah tidak mau lagi mengkritisi pihak mana yang bisa dipercaya dan pihak mana yang tidak bisa dipercaya, banyaknya kepentingan-kepentingan golongan atau bahkan kepentingan pribadi juga menjadi puncak semuanya.

Kepentingan pribadi atau golongan tertentu sudah menutup tujuan perkumpulan yakni kepentingan bersama, kesejahteraan bersama. “Negative Thinking” merusak persaudaraan, menjerat diri sendiri, dan parahnya menganggap semuanya adalah lawan. Padahal yang seharusnya dibangun adalah “Critical Thinking” yang membawa solusi bukan malah “Negative Thinking” yang menghambat semua proses atau bahkan memutus rantai persaudaraan.

Sebenarnya strategi tersebut, yang saya sebut sebagai “Adu Semut”, sudah terjadi ribuan tahun yang lalu, mungkin sekitar 300-an SM pada zaman Yunani Kuno. Sebuah strategi yang bertujuan untuk menguasai suatu wilayah dengan propaganda perpecahan. Di Indonesia sendiri sering terjadi dan yang paling nyata ialah ketika adanya pemberontakan. Entah itu pemberontakan oleh OPM, PMS, dan lain sebagainya. Itu adalah salah satu contoh pemberontakan yang ditunggangi yang berkepentingan guna untuk menguasai.

Secara tidak sadar, persatuan yang dahulu sudah diperjuangkan dengan darah para pejuang kini dirusak oleh penerusnya. Sudah seharusnya kita menyadari bahwa sesungguhnya pemberontakan tersebut adalah salah satu bentuk perlawanan yang mengakibatkan melemahnya pemerintahan. Kita juga harus mengetahui ketika pemerintahan melemah maka disaat seperti itulah para provokator, yang berniat menguasai negara dan kekayaan negara kita, tersenyum sembari duduk santai menikmati setuang kopi hangatnya.

Setelah itu satu persatu penerus bangsa ini bahkan yang di pemerintahan kita akan diperhamba. Sadarkah kita bahwa pasar telah mempengaruhi negara kita? Siapakah penguasa pasar dunia? Benarkan bangsa Indonesia? Jika memang bangsa Indonesia benarkan dia ialah titisan ibu pertiwi? Atau jangan-jangan hanya segolongan yang bertopeng dewa untuk menguasai kekayaan alam bangsa kita.

Prinsip yang terlalu kental dan semakin kental saat ini ialah begitu mudahnya menyalahkan orang lain. Tidak mengenal usia, dan tidak mengenal profesi. Ada banyak contoh perusakan seperti pengeboman di salah satu tempat, yang sisi dirugikan pasti akan berjuang untuk menghina oknum dan sisi yang dihina akan kembali menghina atau bahkan semakin menyalakan api yang ada. Pernahkah sadar untuk bertanya, “Apakah kita sedang dimanfaatkan, di “Adu semut”? Mengapa kita bisa diadu?”

Jangan pernah lupakan sedikitpun perjuangan dan persatuan para pendiri bangsa ini. Lihatlah betapa indah dan manisnya yang tertulis di kaki burung Garuda, “Bhineka Tunggal Ika”. Jangan pernah menutup mata atau bahkan sedetikpun untuk melupakannya, demi apapun! Atau benarkah seperti yang kata orang bilang bahwa tunas bangsa ini sudah kehilangan jatidirinya dan kehilangan idealismenya dalam bernegara? Saudaraku sebangsa, idealisme kita tidak boleh hilang. Jangankan hilang, sedetikpun pudar maka disaat itu penghancur akan mencoreng nama kita, nama Indonesia!

Biarlah idealisme itu mengakar di darah, di tulang, dan daging kita! Teriakkanlah semboyan “BERSATU KITA TEGUH BERCERAI KITA RUNTUH.” Dan ketahuilah bahwa pepatah tinggallah pepatah, semboyan tinggallah semboyan jika kita tidak menghidupinya di dalam keseharian kita.

Indonesia!

(Narashakti: http://narashakti.org/)

Selasa, 09 Agustus 2016

Kekuatan Menerima dan Melepaskan


“Karena akhir-akhir ini semakin banyak orang yang enggan menerima, semakin susah untuk memaafkan, semakin sulit untuk melepaskan, maka apa salahnya sedikit berbagi cerita yang barangkali bisa membantu. Terima kasih buat yang kemaren mengingatkan kembali kisah ini. Semoga dengan saling berbagi semakin banyak orang yang mendapatkan pelajaran dan menatap masa depannya.”
Ada sebuah kisah nyata tentang monyet dan kacang dalam toples. Konon para pemburu monyet di Afrika hanya menggunakan toples sempit yang diisi dengan kacang-kacang yang wangi, kesukaan monyet hutan Afrika, untuk menangkap monyet. Lalu toples-toples tersebut ditanam ke tanah dengan menyisakan mulut toples di permukaan tanah tanpa penutup. Biasanya para pemburu membuat jebakan pada sore hari dan besoknya para pemburu tinggal menangkap monyet-monyet yang tangannya masuk dalam perangkap.

Mungkin banyak orang yang bertanya mengapa bisa dan sebodoh itu. Ceritanya ialah monyet yang tertarik pada wewangian yang ada akan mencari dan mendekatinya dan kemudian memasukkan tangannya kedalam toples tersebut. Nah karena monyet-monyet tersebut biasanya harus mengepalkan tangannya untuk menggenggam kacang yang akan diambilnya maka akibat genggaman itulah tangannya tidak bisa ditarik keluar dari toples.

Dan sudah menjadi perilaku, ciri-ciri yang pasti dimiliki, monyet untuk mempertahankan apa yang ingin dimiliki apalagi kalau sudah digenggamannya. Monyet-monyet pun terkenal tidak akan pernah melepaskan genggaman tangannya tersebut. Bahkan monyet tersebut tidak akan pernah mengenal waktu sampai kacang itu berhasil dibawanya keluar.

Pada saat pemburu datang keesokan harinya, pemburu akan dengan mudah menangkapnya sebab si monyet tidak akan bisa bergerak jauh dari toples perangkap. Pemburu dengan mudah mengurung kepalanya atau bahkan menjerat kedua tangan dan kakinya agar tidak meronta.

Yah… Monyet itu terdengar bodoh dan wajar saja setiap pendengar atau pembaca merasa lebih pintar dan tertawa hingga terbahak-bahak. Jika benar begitu adanya, marilah kita alihkan tawa kita ke diri kita sendiri. Karena tanpa kita sadari, sering sekali, kita pun melakukan hal yang sama.

Kita sering sekali sukar melepaskan genggaman atas apa yang kita inginkan. Kita jarang sekali memahami lingkungan sekitar sehingga kita tidak dapat membaca bahwa kita sedang berada dalam masalah besar. Setiap permasalahan yang kita miliki selalu kita pelihara di dalam kepala kita, di dalam hati kita seperti cerita monyet di atas yang menggenggam kacang itu dengan ego dan nafsu. Kita bahkan sering menyimpan permasalahan yang ada hingga tak peduli waktu sudah pukul berapa.

Padahal begitu mudah cara untuk mengeluarkan tangan dari perangkap toples tersebut yaitu hanya dengan melepaskan genggaman yang ada. Hanya dengan sikap berbesar hati bahwa kacang hanyalah kacang yang bisa di dapatkan di tempat lain. Hanya dengan berlapang dada dan menenangkan diri serta menerima bahwa kacang itu harus dilepaskan.

Pun dengan setiap masalah yang kita miliki. Yang membuat kita terperangkap di dalamnya adalah diri kita sendiri, pikiran-pikiran kita sendiri. Padahal hanya dengan menerima sakit yang kita rasakan dan melepaskannya, untuk kesembuhan fisik dan jiwa, kita bisa keluar dari masalah yang ada; Untuk kebaikan di masa depan.

Mari kita ambil salah satu contoh yang sedang “booming” akhir-akhir ini yakni gagal “move on” dari mantan. Ada banyak orang begitu sukar untuk keluar dari masalah itu. Ada banyak orang tahu bahwa itu masalah namun tetap saja mereka tidak ingin melepaskannya. Padahal bisa saja mantan tersebut sudah tidak memikirkan kita atau bahkan sudah memiliki kekasih lain. Lalu sampai kapan kita harus memenjarakan pikiran kita yang sudah kita tahu tidak akan bisa kembali. Mengapa tidak berjalan dan menatap masa depan.

Atau ada juga beberapa orang yang begitu sukar untuk memaafkan orang yang menyakiti hatinya sehingga mereka-mereka yang disakiti sering memendam amarah yang membuat dirinya sendiri merugi. Benarkah orang yang menyakiti kita sedang memikirkan sakit yang kita rasa? Jika ya, mengapa dia menyakiti kita? Mungkin dia tidak memikirkan kita. Lantas masihkah kita mau tenggelam dalam dendam yang justru melukai dan semakin menyayat perasaan kita? Caranya mudah saja, terimalah bahwa kita memang sudah terluka dan disakiti namun jangan simpan dan jangan genggam rasa dendam yang ada jika kita masih ingin melihat masa depan.