Tampilkan postingan dengan label Patriot Energi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Patriot Energi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Oktober 2016

SOEMPAH (kami) PEMOEDA



  1. (Disaat orang-orang MEMPERINGATI hari sumpah pemuda) Kami poetra dan poetri Indonesia, (bukan hanya) mengakoe bertoempah darah jang satoe, (tapi kami juga menyentuh dan memeluk dalam tangis dan doa, kami berjuang untuk) tanah Indonesia (hingga ke pelosok negeri).
  2. (Disaat suara teriak bergetar MEMPERINGATI hari itu, hari sumpah pemuda) Kami poetra dan poetri Indonesia, (sadar terlalu mudah hanya untuk) mengakoe berbangsa jang satoe, (sedang akal sehat serta perbuatan jauh dari sifat ber-) bangsa Indonesia.
  3. (Dan disaat semua orang menuntut untuk ikut aksi solidaritas MEMPERINGATI hari sumpah pemuda) Kami poetra dan poetri Indonesia, (berbahasa ibu dari berbagai ibu, bukan karena kami tidak) mendjoendjoeng bahasa persatoean, (tapi kami tidak ingin kamuflase ini berlanjut dan masuk ke penjuru nusantara. Kami sadari bahasa kita di bawah telapak kaki bahasa asing, kita tidak punya nilai tawar) bahasa Indonesia (bahkan di negeri sendiri).

28 Oktober 2015 2016

Rico Narashakti!




Rabu, 21 September 2016

Membangun Dari Desa



Salah satu tantangan utama bangsa Indonesia adalah melemahnya perekonomian bangsa. Hal ini dapat dilihat dari persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, serta ketergantungan baik keuangan, energi, dan bahkan pangan dari negara luar. Negara masih berjuang mencari titik temunya antara persoalan yang ada dengan jawaban yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Negara selama ini belum juga mampu memanfaatkan potensi yang ada di tanah air. Tidak hanya potensi sumber daya alam (SDA) bahkan sumber daya manusianya (SDM) belum mampu dirangkul. Selama hal ini belum teratasi selama itu pula Indonesia akan menghadapi persoalan yang sama atau bisa disebut berjalan di tempat.

Namun, harapan untuk menjawab persoalan tersebut masih ada. Harapan akan tidak ketergantungan lagi bahan pangan dengan pasokan yang datang dari hasil impor. Harapan akan pemerataan penyediaan energi. Tidak lagi bergantung pada hutang luar negeri, masyarakat mendapatkan jaminan kesehatan, hidup yang layak, serta kehidupan yang lebih mandiri.

Rakyat Sebagai Subjek
Jika menilik kembali salah satu komponen dari ideologi negara Indonesia yakni TRISAKTI, maka bangsa Indonesia akan tersadarkan kembali bahwa Indonesia harus mampu menjadikan rakyat sebagai basis ekonomi di negara ini. Rakyat harus menjadi pemegang dan pelaku utama kedaulatan dalam pengelolaan ekonomi negara.

Pemerintah sekarang sudah mulai melek akan persoalan yang dihadapi negara Indonesia selama ini tak lain ialah karena sering sekali masyarakat hanya dijadikan sebagai objek atau mangsa pasar. Dan pemerintahan sekarang telah memiliki visi membangun Indonesia dari pinggiran. Hal ini didukung dengan kerja yang sudah dapat dilihat dengan semakin banyaknya kementerian-kementerian yang melakukan program pengembangan desa dengan mendelegasikan relawan ke pelosok-pelosok negeri ini.

Selain itu, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga sudah mulai tergerak untuk mengambil peran dalam pembangunan bangsa ini serta mendukung visi yang melakukan pembangunan mulai dari pinggiran. Pergerakan bisnis dewasa ini juga melahirkan bisnis yang bergerak di bidang sosial atau social enterprise. Kesadaran ini menunjukkan bahwa rakyat sebagai pelaku utama merupakan kebutuhan bangsa saat ini.

Pudarnya Gotong Royong
Indonesia terkenal akan kekayaan alamnya. Namun alam yang dahulu indah, bersahabat, dan diduduki masyarakat lokal kini tidak lagi. Masyarakat telah kehilangan haknya. Ini terjadi karena kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini terkait ekonomi negara telah memisahkan masyarakat lokal dari pelaku ekonomi dan modal sosialnya bahkan secara tidak langsung telah menjadi proses pemiskinan.

Hutan, gunung, sawah, dan lautan yang dahulunya mampu dikelola oleh masyarakat lokal kini diambil alih oleh pemegang uang. Sehingga pengelolaan sumber daya alam lokal tidak lagi melekat dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak lagi punya waktu untuk melihat daerahnya sendiri. Masyarakat tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengenali potensi daerahnya. Apalagi untuk memanfaatkannya, masyarakat sudah jauh dari hal itu.

Masuk dan merajalelanya perusahaan-perusahaan yang hanya menjadikan rakyat sebagai pasar telah melahirkan tradisi dan budaya baru yang mengubah masyarakat memiliki identitas baru dan menanggalkan kebudayaan lokal. Lebih parahnya orientasi yang dulu sangat kental terkait kerjasama yakni gotong royong sebagai kearifan lokal telah bergeser menjadi orientasi materi, uang. Kearifan lokal, gotong royong, yang sebelumnya sangat kental sudah memudar. Terusiknya kearifan lokal menjadikan daerah tercemar seperti lahan yang habis dan rusak, air yang berkurang dan menjadi tidak layak minum, serta kesatuan masyarakat lokal yang luntur.

Pemuda Harus Mengambil Peran
Pemerintah juga semakin menyadari peran penting kehadiran pemuda bagi bangsa ini. Sehingga wajar program-program kementerian semakin banyak yang mendelegasikan para pemuda untuk menjadi relawan ke desa-desa. Program tersebut terlihat sepele saat ini namun jika dilihat dampaknya untuk waktu yang akan datang sangatlah menjanjikan. Kekuatan pemuda disuatu bangsa tidaklah diragukan lagi. Di Indonesia sendiri sudah terbukti bahwa pemuda mendapatkan posisi dan peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa ini.

Beberapa contohnya ialah peristiwa “Sumpah Pemuda”, peran pemuda dalam kemerdekaan, dan satu lagi peran pemuda yang tidak mungkin dilupakan adalah kejadian reformasi Indonesia pada tahun 1998. Beberapa kisah itu dicatat dalam sejarah Indonesia yang menyatakan bahwa pemuda Indonesia memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa Indonesia.

Penulis juga merupakan salah satu relawan dari program salah satu kementerian yakni program “Patriot Energi” yang diselenggarakan oleh Kementerian ESDM. Adapun tujuan dari program ini merupakan jawaban atas penantian daerah-daerah pinggiran bangsa ini yakni pemerataan energi hingga ke pelosok desa. Tujuan selanjutnya ialah pemanfaatan energi yang dimiliki untuk meningkatkan modal sosial. Selama ini yang terbiasa berlangsung adalah pemerintah hanya datang ke desa-desa sebagai formalitas dan sekedar melihat kemudian pulang pada hari yang sama.

Hadirnya para tunas bangsa, pemuda-pemudi bangsa Indonesia, yang turut mengambil peran dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia merupakan hal yang ditunggu-tunggu masyarakat pedesaan. Pemuda hadir untuk mengembalikan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam mereka sendiri. Pemuda juga memantik untuk menyalakan kembali kearifan lokal dengan menggiatkan kembali gotong royong. Pemuda juga berbagi pengetahuan terkait potensi daerah dan cara pemanfaatannya. Pemuda hadir dan tinggal untuk waktu yang cukup panjang sehingga benar-benar mampu merasakan apa yang dialami masyarakat pedesaan dan bersama-sama dengan masyarakat berjuang menjawab kebutuhan masyarakat desa.

Penulis yakin langkah kecil ini apabila dilakukan berkelanjutan dan “massive” dampaknya akan luar biasa. Indonesia akan mampu menjawab salah satu tantangan utama yang diutarakan sebelumnya. Masyarakat akan mampu menjaga alamnya dari kerusakan yang mengancam masyarakat. Mengembalikan peran masyarakat yang hilang sebagai pelaku utama perekonomian.

Sebagai penutup, pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat setempat dan mimpi membangun bangsa dari pinggiran harus didukung oleh semua pihak. Setiap kelas, golongan, status masyarakat apapun harus menyadari manfaat gerakan seperti ini. Mengembalikan rakyat sebagai subjek utama pembangunan bukan sekedar objek atau pasar. Dengan begitu tidak lama lagi salah dua cita-cita Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 akan terwujud yakni “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Selasa, 30 Agustus 2016

“Adu Semut”


Pasti beberapa dari kita terutama yang pernah melewati dan menikmati masa kecil akan tahu bagaimana caranya untuk mengadu semut. Iya, tepat sekali dengan merusak, mencabut, salah satu “kumis”, atau bahasa ilmiahnya sering disebut “antennae”, mereka. Terlihat sederhana tapi efeknya tidak bisa dianggap remeh. Bahkan cara tersebut sering digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk merusak hubungan suatu perkumpulan, persaudaraan, atau bahkkan dalam bernegara.

Jika dilihat dari tragedi yang sering diberitakan di dunia yang dewasa ini juga sedang terjadi “massive” di Indonesia merupakan efek “Adu Semut”. Yah, mungkin dipelajaran sejarah sering kita mendengar “Divide et Impera” yakni strategi untuk memecah belah dan menguasai. Caranya tidak jauh berbeda dengan “adu semut” yakni dengan merusak sebagian dari anggota organisasi, persaudaraan, atau bahkan dalam bernegara.

“Adu semut” ini memang sukar untuk ditemukan jalan keluarnya selama semua sisi tidak mau belajar menerima bahwa mereka sedang dimanfaatkan. Apalagi untuk mengantisipasinya karena kebanyakan manusia saat ini begitu mudah terbakar sehingga mata tidak mampu melihat bahwa mereka akan dimanfaatkan dan sedang berada di dalam perangkap permainan para penghancur yang  tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi setiap sisi saat ini memang sudah tidak mau lagi mengkritisi pihak mana yang bisa dipercaya dan pihak mana yang tidak bisa dipercaya, banyaknya kepentingan-kepentingan golongan atau bahkan kepentingan pribadi juga menjadi puncak semuanya.

Kepentingan pribadi atau golongan tertentu sudah menutup tujuan perkumpulan yakni kepentingan bersama, kesejahteraan bersama. “Negative Thinking” merusak persaudaraan, menjerat diri sendiri, dan parahnya menganggap semuanya adalah lawan. Padahal yang seharusnya dibangun adalah “Critical Thinking” yang membawa solusi bukan malah “Negative Thinking” yang menghambat semua proses atau bahkan memutus rantai persaudaraan.

Sebenarnya strategi tersebut, yang saya sebut sebagai “Adu Semut”, sudah terjadi ribuan tahun yang lalu, mungkin sekitar 300-an SM pada zaman Yunani Kuno. Sebuah strategi yang bertujuan untuk menguasai suatu wilayah dengan propaganda perpecahan. Di Indonesia sendiri sering terjadi dan yang paling nyata ialah ketika adanya pemberontakan. Entah itu pemberontakan oleh OPM, PMS, dan lain sebagainya. Itu adalah salah satu contoh pemberontakan yang ditunggangi yang berkepentingan guna untuk menguasai.

Secara tidak sadar, persatuan yang dahulu sudah diperjuangkan dengan darah para pejuang kini dirusak oleh penerusnya. Sudah seharusnya kita menyadari bahwa sesungguhnya pemberontakan tersebut adalah salah satu bentuk perlawanan yang mengakibatkan melemahnya pemerintahan. Kita juga harus mengetahui ketika pemerintahan melemah maka disaat seperti itulah para provokator, yang berniat menguasai negara dan kekayaan negara kita, tersenyum sembari duduk santai menikmati setuang kopi hangatnya.

Setelah itu satu persatu penerus bangsa ini bahkan yang di pemerintahan kita akan diperhamba. Sadarkah kita bahwa pasar telah mempengaruhi negara kita? Siapakah penguasa pasar dunia? Benarkan bangsa Indonesia? Jika memang bangsa Indonesia benarkan dia ialah titisan ibu pertiwi? Atau jangan-jangan hanya segolongan yang bertopeng dewa untuk menguasai kekayaan alam bangsa kita.

Prinsip yang terlalu kental dan semakin kental saat ini ialah begitu mudahnya menyalahkan orang lain. Tidak mengenal usia, dan tidak mengenal profesi. Ada banyak contoh perusakan seperti pengeboman di salah satu tempat, yang sisi dirugikan pasti akan berjuang untuk menghina oknum dan sisi yang dihina akan kembali menghina atau bahkan semakin menyalakan api yang ada. Pernahkah sadar untuk bertanya, “Apakah kita sedang dimanfaatkan, di “Adu semut”? Mengapa kita bisa diadu?”

Jangan pernah lupakan sedikitpun perjuangan dan persatuan para pendiri bangsa ini. Lihatlah betapa indah dan manisnya yang tertulis di kaki burung Garuda, “Bhineka Tunggal Ika”. Jangan pernah menutup mata atau bahkan sedetikpun untuk melupakannya, demi apapun! Atau benarkah seperti yang kata orang bilang bahwa tunas bangsa ini sudah kehilangan jatidirinya dan kehilangan idealismenya dalam bernegara? Saudaraku sebangsa, idealisme kita tidak boleh hilang. Jangankan hilang, sedetikpun pudar maka disaat itu penghancur akan mencoreng nama kita, nama Indonesia!

Biarlah idealisme itu mengakar di darah, di tulang, dan daging kita! Teriakkanlah semboyan “BERSATU KITA TEGUH BERCERAI KITA RUNTUH.” Dan ketahuilah bahwa pepatah tinggallah pepatah, semboyan tinggallah semboyan jika kita tidak menghidupinya di dalam keseharian kita.

Indonesia!

(Narashakti: http://narashakti.org/)

Kamis, 21 April 2016

Kearifan Lokal



Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol

Masih kuingat hari itu hari Selasa. Aku duduk dan berlayar menjelajahi sungai terlebar yang pernah kulihat selain sungai di daerahku, dan sungai terpanjang yang pernah kuarungi dengan perahu mesin  sepanjang umurku. Lamunan demi lamunan terlahir di benakku hingga dewasa menjadi sebuah tuisan. Berharap pula tulisan ini bisa lahir di dalam hati dan pikiran para pembaca sehingga tidak terbenam dalam anganku saja.


Kearifan lokal di dalam perahu


Sangatlah terlalu dini bagiku berbicara tentang kearifan lokal sedang aku baru saja belajar tentang itu. Sebuah teori yang nyata di depan mata yakni kebijakan yang bijaksana menyentuh hati menampar pipi. Hmmm baru saja perahu berangkat sekitar 10 menit, aku sudah penuh pertanyaan yang sama dengan perilaku pengendali perahu.

“Mengapa si pengendali perahu ini mematikan mesinnya ketika akan berhadapan atau melewati perahu dayung atau bahkan ketinting?” menjadi pertanyaan yang membuatku mendapat pelajaran berharga mengenai arifnya kebijakan lokal. Oh iya, ketinting itu perahu kecil dengan bantuan mesin tetapi bukan mesin speed.

Aku tidak langsung terburu-buru mencari jawabannya. Masih kusimpan rapat-rapat di dalam pikiranku meski sudah tergambar dalam keburaman. Akupun tak lekas ke belakang atau teriak bertanya kepada pengendali perahu itu. Dengan senyuman, kubentangkan tanganku, keduanya, hingga membentuk sudut 180 derajat. Kalau pembaca pernah menonton film yang berjudul “Titanic”, nah seperti itulah kira-kira. Hanya saja posisiku duduk dan sendiri. Seandainya persis seperti film itu kurasa tak sempat aku belajar dari alam yang kulewati.

Kemudian setelah beberapa kali kejadian yang sama terulang. Akupun dengan yakin menyimpulkan bahwa itu adalah tanda toleransi kepada sesama yang berada di atas air. Menghormati sesama dan menjaga perasaan yang lebih kecil. Sengaja dilakukan untuk menghindari guncangan dari ombak yang terbentuk karena perahu besar kea rah perahu kecil. Ya, dengan mematikan mesinnya hingga melewati perahu kecil itu.

Terhanyut aku dalam lamunan siang itu. Aku berandai sekiranya para pengendali Negara ini punya prinsip seperti itu betapa bahagianya kaum yang tergolong kecil. Tidak sekedar duduk menonton di atas kursi empuk sambil tertawa di atas penderitaan warganya. Hmmm tapi sayang, lamunan itu terhenti seiring berhentinya perahu kami.

Dipemberhentian ini aku bertanya-tanya kembali.Kebingungan meningkat sangat cepat ditambah emosi karena mengingat waktu yang akan semakin sore. Karena apa? Ternyata perahu berhenti karena ada salah satu penumpang ingin mengunjungi keluarganya terlebih dahulu. Dan memang pernah kudengar bahwa tradisi di sini ialah mengunjungi rumah keluarganya apabila mereka melewati kawasan rumah keluarga mereka.

Hmmm sepengetahuanku dan sepenglihatanku bentuk pemukiman di daerah ini masih mengikuti arah sungai. Pemukiman hanya ada di sekitaran sungai itu. Jadi desa di hulu dan di hilir hanya bisa dilalui dengan jalur air. Nah melalu teori “mumpung” biasanya mereka berkunjung ke keluarga mereka.

Dengan melihat kejadian itu secara langsung, emosi menghilang dan rasa senang menghampiri, aku bisa belajar tentang sejarah Indonesia yang masih hidup hingga kini. Dahulu sewaktu kecil aku dicekokin cerita yang namanya kehidupan nomaden, system berburu dan nelayan, bahkan system barter. Memang semuanya sudah tidak seutuh yang dahulu. Namun, ruh dari cara hidup itu masih kental terasa. Apalagi oleh orang-orang yang baru datang ke tempat seperti itu.

Lagi-lagi aku terhanyut dalam cerita-cerita di kepalaku. Lamunan yang kian semakin dalam. Berandai orang-orang di perkotaan sesekali mengunjungi tempat-tempat yang seperti ini agar bisa belajar kearifan lokal bangsa ini. Agar tidak lupa bahwa sesungguhnya Indonesia terbentuk karena asas kekeluargaan dan kesamaan penderitaan, bukan yang lain.

Tidak lama kami melanjutkan perjalanan setelah kembalinya penumpang yang tadi naik mengunjungi keluarganya. Kupandangi terus kiri dan kanan sungai yang menjadi basis jalan. Tak jarang memang aku terjatuh dalam kantuk karena kelelahan apalagi pantat yang memanas karena berjam di atas perahu kayu dengan kondisi air yang deras mengalir berlawanan arah dengan perahu.

Ahhh, betapa bahagianya aku saat itu. Ingin rasanya kembali lagi mengarungi tempat yang memberiku arti hidup dan bagaimana cara menghidupi hidup, sederhana dan mengerti satu sama lain; mengerti kebutuhan sesama dan penderitaan sesama.

Perjalanan ke Sumentobol, 15 Maret 2015

Minggu, 17 April 2016

"Petani Yang Mengajariku Hidup"



"Bang, mako taka ki suam?" Tanya seorang pemuda yang tiba-tiba datang memecahkan lamunanku. Kala itu masih sore hari dan tampak langit gelap tapi bukan gelap menuju malam karna jam tanganku masih menunjukkan jam 4 sore.

"Hmmm, kemana kita besok, Bang?" Tanyaku kembali.

"Mana-mana aja bang. Di abang aja. Oh iya, pinjam korek, Bang" jawabnya menandakan terserah mauku entah kemanapun itu. 

Kemudian pemuda itu mengiyakan tawaranku ketika aku meminta untuk diantarkan saja ke seberang. Lalu dia kembali setelah mendapatkan yang dia cari.

Pemuda itu bernama Judie. Dia adalah anak tetanggaku yakni pak Din. Dia putus sekolah dikarenakan biaya yang tidak mencukupi apalagi saat itu dia dan saudaranya sama-sama lulus dari SMP. Dia temanku memancing di desa.

Keesokan harinya, setelah aku sarapan, dia menghampiriku. Karena akupun sudah menunggu saat itu, kuputuskan untuk segera jalan saat dia bertanya memastikan jam keberangkatan. Kemudian dia setuju dan pergi sebentar untuk mengambil dayung.

Kami berjalan menuju sungai. Tak jauh sungai itu dari belakang rumahku. Mungkin hanya 100 langkah akan sampai.

Sesampai di sungai, kami melihat ternyata banyak orang di bawah. Memang sungai ini sering dipakai untuk mandi penduduk desa. Bukan hanya itu, kalau kemarau tiba, penduduk juga menjadikan sungai ini sebagai sumber utama untuk melanjutkan hidup. Padahal kalau kulihat, air sungai ini jauh dari kejernihan air yang biasa kutemui.

Lalu bang Judie menawarkan untuk seberang melalui dermaga lain. Kami pergi ke arah kanan, sekitar 30 meter. Aku naik setelah dia memilih perahu mana yang akan kami pakai. Sebuah tradisi yang takkan kudapatkan diperkotaan. Kalau ingin memakai perahu, langsung pakai asal tidak merusak.

Kuperhatikan bagaimana dia mendayuh perahu itu. Kubentangkan tanganku dan menyentuh air sungai. Perlahan perahu ini sampai ke seberang. Dia turun terlebih dahulu, menancapkan dayungnya, mengikatkan tali perahu ke dayung tersebut.

"Bang, aku antar abang ke tempat bapak itu, terus aku pulang ya," katanya padaku setelah aku turun dari perahu.

Kami berdua jalan menyusuri rerumputan melewati singkong dan umbi-umbian lainnya. Kamipun sampai setelah berjalan sekitar satu menit. Memang tidak jauh tapi dia tetap mengantarku memastikan aku sampai ke tujuan.

Sesampai di tujuan dia memanggil-memanggil si bapak. Entah apa yang dikatakannya. Agak sedikit samar di telingaku. Apalagi dia teriak memakai bahasa Dayak. Tak lama setelah itu, mereka berbicara. Kemudian pemuda itu ijin pulang sembari berkata bahwa nanti pulangnya aku naik perahu si bapak saja.

"Halo pak, maaf mengganggu. Sering saya lewat jalur ini kalau memancing. Dan kebetulan hari ini saya tidak ada kegiatan, saya pun meniatkan diri ke kebun bapak. Kalau bapak tidak keberatan, saya temani bapak berkebun ya, Pak?" Kataku sebagai pembuka awal pembicaraan kami.

Tanpa penolakan beliau dengan senang hati menerimaku. Namanya pak Satiau. Dia salah seorang petani yang masih mau bergelut dengan urusan perkebunan.

Dengan bersemangat pak Satiau mengajakku untuk berkeliling mengitari kebunnya. Kuperhatikan tiap kata yang disampaikannya, tiap langkah yang dilemparnya. Aku merasa takjub dengan beliau, satu-satunya petani yang tiap hari pasti datang untuk berkebun.

Beliau menunjukkanku jenis tanaman apa saja yang ditanamnya. Ada lombok, umbi-umbian, bayam, terong, pepaya, labuh, dan banyak lagi. Konon beliau juga pernah menjadi petani kopi. Namun, seiring berjalannya waktu, harga kopi semakin turun dan beliau beralih jenis tanaman. Apalagi setelah mendapatkan ilmu dari beberapa anak KKN ke desa itu.

Katanya, dari anak KKN ini beliau mendapatkan ilmu mengenai bercocok tanam, pembibitan, hingga pada pemupukan juga pengairan.

"Setelah mereka datang, saya pikir sudah waktunya beralih dari kopi ke sayuran. Meskipun hasilnya tidak seberapa tapi selalu ada setiap hari, luar biasa," ujarnya.

"Memang sih, kendala bercocok tanam sayur-sayuran lebih rentan dibandingkan kopi, tapi itu bukan halangan. Bagi saya itu justru tantangan."

"Apalagi kalau musim penghujan, air sungai itu naik terus merusak kebun ini. Pernah waktu itu, bibit sudah sekitar 10 cm, tapi semua habis mati karna air yang naik," tambahnya lagi.

"Lalu apa langkah bapak setelah kejadian itu? Dan sekarang sepertinya lagi musim kemarau ya pak? Bagaimana sekarang?" Tanyaku.

Ternyata beliau tetap menanam atau menanam kembali. Jadi, beliau mengganti bibit yang mati dan yang masih hidup tetap dirawatnya. Baginya kesabaran adalah kunci utama dalam bertani.

Sempat aku bertanya mengapa beliau tidak tanam sawit seperti penduduk pada umumnya. Jawabnya ialah sesuatu yang tak pernah kuduga.

"Sawit memang bagus tapi kalau dilihat lebih jauh, justru perawatannya, pemupukanya menghabiskan materi yang lebih banyak," jawabnya dengan tetap bekerja membersihkan rumput-rumput penggangu.

"Tapi keseluruhan, tanah kami mendukung untuk dimanfaatkan. Sayang tak semua orang bisa berpikir ke sana. Air berlimpah, hanya saja butuh kerja keras untuk mengolahnya dari sungai, buat capek," jelasnya lagi.

Hmmm, beliau bukan seorang yang pandai berbicara layaknya orang-orang pada umumnya. Beliau tak peduli keringatnya bercucuran, tangannya kotor. Tapi darinya aku mendapatkan hal yang tak mungkin kudapatkan di perkotaan.

Mengubah halangan menjadi tantangan yang harus dipecahkan. Melihat peluang tanpa terpengaruh orang-orang pada umumnya. Dan bekerja sedikit-demi sedikit yang penting rutin dan bersabar. Hal itu menjadi pelajaran yang kubawa pulang dikediamanku.

"Mako taka mulik?" Ajaknya siang itu.

 Akhirnya kami pulang dan kuucapkan terima kasih sebagai penutup perjalanan hari itu.

Sekikilan, Tulin Onsoi, Nunukan, Kalimantan Utara, Indonesia.
Patriot Energi
Rico Ricardo Lumban Gaol