"Bang, mako taka ki suam?" Tanya seorang pemuda
yang tiba-tiba datang memecahkan lamunanku. Kala itu masih sore hari dan tampak
langit gelap tapi bukan gelap menuju malam karna jam tanganku masih menunjukkan
jam 4 sore.
"Hmmm, kemana kita besok, Bang?" Tanyaku kembali.
"Mana-mana aja bang. Di abang aja. Oh iya, pinjam
korek, Bang" jawabnya menandakan terserah mauku entah kemanapun itu.
Kemudian pemuda itu mengiyakan tawaranku ketika aku meminta
untuk diantarkan saja ke seberang. Lalu dia kembali setelah mendapatkan yang
dia cari.
Pemuda itu bernama Judie. Dia adalah anak tetanggaku yakni
pak Din. Dia putus sekolah dikarenakan biaya yang tidak mencukupi apalagi saat
itu dia dan saudaranya sama-sama lulus dari SMP. Dia temanku memancing di desa.
Keesokan harinya, setelah aku sarapan, dia menghampiriku.
Karena akupun sudah menunggu saat itu, kuputuskan untuk segera jalan saat dia
bertanya memastikan jam keberangkatan. Kemudian dia setuju dan pergi sebentar
untuk mengambil dayung.
Kami berjalan menuju sungai. Tak jauh sungai itu dari
belakang rumahku. Mungkin hanya 100 langkah akan sampai.
Sesampai di sungai, kami melihat ternyata banyak orang di
bawah. Memang sungai ini sering dipakai untuk mandi penduduk desa. Bukan hanya
itu, kalau kemarau tiba, penduduk juga menjadikan sungai ini sebagai sumber
utama untuk melanjutkan hidup. Padahal kalau kulihat, air sungai ini jauh dari
kejernihan air yang biasa kutemui.
Lalu bang Judie menawarkan untuk seberang melalui dermaga
lain. Kami pergi ke arah kanan, sekitar 30 meter. Aku naik setelah dia memilih
perahu mana yang akan kami pakai. Sebuah tradisi yang takkan kudapatkan
diperkotaan. Kalau ingin memakai perahu, langsung pakai asal tidak merusak.
Kuperhatikan bagaimana dia mendayuh perahu itu. Kubentangkan
tanganku dan menyentuh air sungai. Perlahan perahu ini sampai ke seberang. Dia
turun terlebih dahulu, menancapkan dayungnya, mengikatkan tali perahu ke dayung
tersebut.
"Bang, aku antar abang ke tempat bapak itu, terus aku
pulang ya," katanya padaku setelah aku turun dari perahu.
Kami berdua jalan menyusuri rerumputan melewati singkong dan
umbi-umbian lainnya. Kamipun sampai setelah berjalan sekitar satu menit. Memang
tidak jauh tapi dia tetap mengantarku memastikan aku sampai ke tujuan.
Sesampai di tujuan dia memanggil-memanggil si bapak. Entah
apa yang dikatakannya. Agak sedikit samar di telingaku. Apalagi dia teriak
memakai bahasa Dayak. Tak lama setelah itu, mereka berbicara. Kemudian pemuda
itu ijin pulang sembari berkata bahwa nanti pulangnya aku naik perahu si bapak
saja.
"Halo pak, maaf mengganggu. Sering saya lewat jalur ini
kalau memancing. Dan kebetulan hari ini saya tidak ada kegiatan, saya pun
meniatkan diri ke kebun bapak. Kalau bapak tidak keberatan, saya temani bapak
berkebun ya, Pak?" Kataku sebagai pembuka awal pembicaraan kami.
Tanpa penolakan beliau dengan senang hati menerimaku.
Namanya pak Satiau. Dia salah seorang petani yang masih mau bergelut dengan
urusan perkebunan.
Dengan bersemangat pak Satiau mengajakku untuk berkeliling
mengitari kebunnya. Kuperhatikan tiap kata yang disampaikannya, tiap langkah
yang dilemparnya. Aku merasa takjub dengan beliau, satu-satunya petani yang
tiap hari pasti datang untuk berkebun.
Beliau menunjukkanku jenis tanaman apa saja yang ditanamnya.
Ada lombok, umbi-umbian, bayam, terong, pepaya, labuh, dan banyak lagi. Konon
beliau juga pernah menjadi petani kopi. Namun, seiring berjalannya waktu, harga
kopi semakin turun dan beliau beralih jenis tanaman. Apalagi setelah mendapatkan
ilmu dari beberapa anak KKN ke desa itu.
Katanya, dari anak KKN ini beliau mendapatkan ilmu mengenai
bercocok tanam, pembibitan, hingga pada pemupukan juga pengairan.
"Setelah mereka datang, saya pikir sudah waktunya
beralih dari kopi ke sayuran. Meskipun hasilnya tidak seberapa tapi selalu ada
setiap hari, luar biasa," ujarnya.
"Memang sih, kendala bercocok tanam sayur-sayuran lebih
rentan dibandingkan kopi, tapi itu bukan halangan. Bagi saya itu justru
tantangan."
"Apalagi kalau musim penghujan, air sungai itu naik
terus merusak kebun ini. Pernah waktu itu, bibit sudah sekitar 10 cm, tapi
semua habis mati karna air yang naik," tambahnya lagi.
"Lalu apa langkah bapak setelah kejadian itu? Dan
sekarang sepertinya lagi musim kemarau ya pak? Bagaimana sekarang?"
Tanyaku.
Ternyata beliau tetap menanam atau menanam kembali. Jadi,
beliau mengganti bibit yang mati dan yang masih hidup tetap dirawatnya. Baginya
kesabaran adalah kunci utama dalam bertani.
Sempat aku bertanya mengapa beliau tidak tanam sawit seperti
penduduk pada umumnya. Jawabnya ialah sesuatu yang tak pernah kuduga.
"Sawit memang bagus tapi kalau dilihat lebih jauh,
justru perawatannya, pemupukanya menghabiskan materi yang lebih banyak,"
jawabnya dengan tetap bekerja membersihkan rumput-rumput penggangu.
"Tapi keseluruhan, tanah kami mendukung untuk
dimanfaatkan. Sayang tak semua orang bisa berpikir ke sana. Air berlimpah,
hanya saja butuh kerja keras untuk mengolahnya dari sungai, buat capek,"
jelasnya lagi.
Hmmm, beliau bukan seorang yang pandai berbicara layaknya
orang-orang pada umumnya. Beliau tak peduli keringatnya bercucuran, tangannya
kotor. Tapi darinya aku mendapatkan hal yang tak mungkin kudapatkan di
perkotaan.
Mengubah halangan menjadi tantangan yang harus dipecahkan.
Melihat peluang tanpa terpengaruh orang-orang pada umumnya. Dan bekerja
sedikit-demi sedikit yang penting rutin dan bersabar. Hal itu menjadi pelajaran
yang kubawa pulang dikediamanku.
"Mako taka mulik?" Ajaknya siang itu.
Akhirnya kami pulang
dan kuucapkan terima kasih sebagai penutup perjalanan hari itu.
Sekikilan, Tulin Onsoi, Nunukan, Kalimantan Utara,
Indonesia.
Patriot Energi
Rico Ricardo Lumban Gaol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar