Minggu, 17 April 2016

"Petani Yang Mengajariku Hidup"



"Bang, mako taka ki suam?" Tanya seorang pemuda yang tiba-tiba datang memecahkan lamunanku. Kala itu masih sore hari dan tampak langit gelap tapi bukan gelap menuju malam karna jam tanganku masih menunjukkan jam 4 sore.

"Hmmm, kemana kita besok, Bang?" Tanyaku kembali.

"Mana-mana aja bang. Di abang aja. Oh iya, pinjam korek, Bang" jawabnya menandakan terserah mauku entah kemanapun itu. 

Kemudian pemuda itu mengiyakan tawaranku ketika aku meminta untuk diantarkan saja ke seberang. Lalu dia kembali setelah mendapatkan yang dia cari.

Pemuda itu bernama Judie. Dia adalah anak tetanggaku yakni pak Din. Dia putus sekolah dikarenakan biaya yang tidak mencukupi apalagi saat itu dia dan saudaranya sama-sama lulus dari SMP. Dia temanku memancing di desa.

Keesokan harinya, setelah aku sarapan, dia menghampiriku. Karena akupun sudah menunggu saat itu, kuputuskan untuk segera jalan saat dia bertanya memastikan jam keberangkatan. Kemudian dia setuju dan pergi sebentar untuk mengambil dayung.

Kami berjalan menuju sungai. Tak jauh sungai itu dari belakang rumahku. Mungkin hanya 100 langkah akan sampai.

Sesampai di sungai, kami melihat ternyata banyak orang di bawah. Memang sungai ini sering dipakai untuk mandi penduduk desa. Bukan hanya itu, kalau kemarau tiba, penduduk juga menjadikan sungai ini sebagai sumber utama untuk melanjutkan hidup. Padahal kalau kulihat, air sungai ini jauh dari kejernihan air yang biasa kutemui.

Lalu bang Judie menawarkan untuk seberang melalui dermaga lain. Kami pergi ke arah kanan, sekitar 30 meter. Aku naik setelah dia memilih perahu mana yang akan kami pakai. Sebuah tradisi yang takkan kudapatkan diperkotaan. Kalau ingin memakai perahu, langsung pakai asal tidak merusak.

Kuperhatikan bagaimana dia mendayuh perahu itu. Kubentangkan tanganku dan menyentuh air sungai. Perlahan perahu ini sampai ke seberang. Dia turun terlebih dahulu, menancapkan dayungnya, mengikatkan tali perahu ke dayung tersebut.

"Bang, aku antar abang ke tempat bapak itu, terus aku pulang ya," katanya padaku setelah aku turun dari perahu.

Kami berdua jalan menyusuri rerumputan melewati singkong dan umbi-umbian lainnya. Kamipun sampai setelah berjalan sekitar satu menit. Memang tidak jauh tapi dia tetap mengantarku memastikan aku sampai ke tujuan.

Sesampai di tujuan dia memanggil-memanggil si bapak. Entah apa yang dikatakannya. Agak sedikit samar di telingaku. Apalagi dia teriak memakai bahasa Dayak. Tak lama setelah itu, mereka berbicara. Kemudian pemuda itu ijin pulang sembari berkata bahwa nanti pulangnya aku naik perahu si bapak saja.

"Halo pak, maaf mengganggu. Sering saya lewat jalur ini kalau memancing. Dan kebetulan hari ini saya tidak ada kegiatan, saya pun meniatkan diri ke kebun bapak. Kalau bapak tidak keberatan, saya temani bapak berkebun ya, Pak?" Kataku sebagai pembuka awal pembicaraan kami.

Tanpa penolakan beliau dengan senang hati menerimaku. Namanya pak Satiau. Dia salah seorang petani yang masih mau bergelut dengan urusan perkebunan.

Dengan bersemangat pak Satiau mengajakku untuk berkeliling mengitari kebunnya. Kuperhatikan tiap kata yang disampaikannya, tiap langkah yang dilemparnya. Aku merasa takjub dengan beliau, satu-satunya petani yang tiap hari pasti datang untuk berkebun.

Beliau menunjukkanku jenis tanaman apa saja yang ditanamnya. Ada lombok, umbi-umbian, bayam, terong, pepaya, labuh, dan banyak lagi. Konon beliau juga pernah menjadi petani kopi. Namun, seiring berjalannya waktu, harga kopi semakin turun dan beliau beralih jenis tanaman. Apalagi setelah mendapatkan ilmu dari beberapa anak KKN ke desa itu.

Katanya, dari anak KKN ini beliau mendapatkan ilmu mengenai bercocok tanam, pembibitan, hingga pada pemupukan juga pengairan.

"Setelah mereka datang, saya pikir sudah waktunya beralih dari kopi ke sayuran. Meskipun hasilnya tidak seberapa tapi selalu ada setiap hari, luar biasa," ujarnya.

"Memang sih, kendala bercocok tanam sayur-sayuran lebih rentan dibandingkan kopi, tapi itu bukan halangan. Bagi saya itu justru tantangan."

"Apalagi kalau musim penghujan, air sungai itu naik terus merusak kebun ini. Pernah waktu itu, bibit sudah sekitar 10 cm, tapi semua habis mati karna air yang naik," tambahnya lagi.

"Lalu apa langkah bapak setelah kejadian itu? Dan sekarang sepertinya lagi musim kemarau ya pak? Bagaimana sekarang?" Tanyaku.

Ternyata beliau tetap menanam atau menanam kembali. Jadi, beliau mengganti bibit yang mati dan yang masih hidup tetap dirawatnya. Baginya kesabaran adalah kunci utama dalam bertani.

Sempat aku bertanya mengapa beliau tidak tanam sawit seperti penduduk pada umumnya. Jawabnya ialah sesuatu yang tak pernah kuduga.

"Sawit memang bagus tapi kalau dilihat lebih jauh, justru perawatannya, pemupukanya menghabiskan materi yang lebih banyak," jawabnya dengan tetap bekerja membersihkan rumput-rumput penggangu.

"Tapi keseluruhan, tanah kami mendukung untuk dimanfaatkan. Sayang tak semua orang bisa berpikir ke sana. Air berlimpah, hanya saja butuh kerja keras untuk mengolahnya dari sungai, buat capek," jelasnya lagi.

Hmmm, beliau bukan seorang yang pandai berbicara layaknya orang-orang pada umumnya. Beliau tak peduli keringatnya bercucuran, tangannya kotor. Tapi darinya aku mendapatkan hal yang tak mungkin kudapatkan di perkotaan.

Mengubah halangan menjadi tantangan yang harus dipecahkan. Melihat peluang tanpa terpengaruh orang-orang pada umumnya. Dan bekerja sedikit-demi sedikit yang penting rutin dan bersabar. Hal itu menjadi pelajaran yang kubawa pulang dikediamanku.

"Mako taka mulik?" Ajaknya siang itu.

 Akhirnya kami pulang dan kuucapkan terima kasih sebagai penutup perjalanan hari itu.

Sekikilan, Tulin Onsoi, Nunukan, Kalimantan Utara, Indonesia.
Patriot Energi
Rico Ricardo Lumban Gaol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar