“Jakartaaaaaaaa...”“Ah... Betapa malunya membuat suatu tulisan yang menceritakan ketidakmampuan kita sendiri. Sangat tidak elegan ketika aku mengutuk kegelapan, bukannya menyalakan lilin. Akan tetapi semua ini realita dan bukan andai-mengandai, kawan. Iya, ini fakta tentang kota besar itu.”
Hari ini adalah hari ke dua aku di kota ini. Bangun lebih
siang karena pertemuan lebih siang, yakni jam sepuluh pagi. Berani lebih siang
karena berangkatpun sudah direncanakan menggunakan motor. Namun tetap saja,
tiga jam atau setidaknya dua jam sebelumnya sudah harus berangkat. Benar saja,
hari ini aku berangkat jam delapan lebih sedikit.
Aku tidak ingin bercerita tentang kemacetan, keributan,
panasnya Jakarta, tentang wanita malamnya lagi. Aku hanya ingin teriak kalau di
kota itu semuanya serba mahal. Untuk makan, sekali makan, dengan menu sederhana
aku harus mengeluarkan setidaknya lima belas ribu rupiah, makan siang di hari
pertama. Oh tidak.
Iya, akupun menyadari memang tak pantas hal ini diangkat
menjadi sebuah tulisan. Karena bisa saja pembaca menyalahkanku. “Salah sendiri
main di Jakarta. Kalau tidak sanggup mengapa harus di Jakarta. Iri tanda tak
mampu.” Dan lain circaan bisa terungkap dari pembaca. Tapi aku tidak peduli,
barangkali masih ada yang akan memberi tanggapan, “Iya juga ya...” atas tulisan
ini, dan aku lebih suka dengan mereka.
Sehabis pertemuan pagi itu aku menemani teman bertemu dengan
temannya. Kali ini bertemu di tempat yang mewah, selevel mall. Kusadari ini
bukan tempatku tapi tidak ada salahnya mencoba hal-hal baru. Dan sampailah pada
tahap pemilihan menu yang akan dipesan, aku memilih “matcha xyz”. Ouw, kupilih
menu itu karena harga tiap menunya tidak berbeda jauh, namun ukuran yang
kupilih lebih besar, akhirnya itulah menjadi santapan siang itu.
Wah, rasanya nikmat sekali senikmat harganya. Aku mencoba
menikmati rasanya tiap sedotan sembari mengingat-ingat harganya, jujur
nikmatnya tiga kali lipat. Kalau tidak percaya, silahkan dibuktikan sendiri.
Namun, dilain cerita, sempat terpikir, setelah minuman itu habis, “aku tidak
akan makan siang, kenyang.” Padahal bukan kenyang karena perut sudah penuh,
melainkan menghitung-hitung pengeluaran selama dua hari di kota itu.
Baiklah, perjalanan itupun berakhir dan segera menuju travel
ke arah bandung. Aku dan teman mendapat keberangkatan jam 5 sore. Tentu saja,
melihat jam segitu, dan memperhitungkan waktu tiba di bandung, waktunya makan
sebelum berangkat.
Aku memilih makan dengan menu ayam saja. Aku tidak melihat
harganya, karena lama-kelamaan bisa pusing sendiri, hehe. Dan tibalah tahap
membayar.
“Ayam doang kan Co, 14.000,” kata temanku.
Oke, kuberikan seperti yang tertera di menunya. Tentu saja
aku curiga, karena baru kali ini menemukan menu ayam dengan harga seperti itu,
di kota ini. Dan tak lama, kulihat dia kebingungan di depan kasir.
“Jadi itu baru harga ayamnya, untuk nasinya 4 ribu, mas,”
kata kasir itu kudengar dari kejauhan.
Kudekati temanku, lalu kuselipkan lima ribu dan kami keluar
menuju ruang tunggu travel. Haha
Yah, selesailah perjalanan hari itu, dengan beberapa
pengalaman harga makanan dan minuman di kota besar yang sangat dikejar-kejar
orang, kecuali aku, sebagai tempat mencari kerja.
Jakarta, 19 April 2016
Rico Ricardo Lumban Gaol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar