“Sudahlah jangan kau kesini, nanti kau terhimpit. Di sini masih banyak pohon kayu tua, sedang yang muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya.”
Masih jelas diingatanku pesan
terakhir bapak meski sudah berlalu 25 tahun yang silam dan bapak pun sudah
dijemput Tuhan. Kisahnya ialah ketika aku berumur 18 tahun. Layaknya seorang
bapak, ia hendak memberikan pelajaran yang berharga untuk anaknya, aku. Ia ingin
sekali menjadi guru terbaik dalam pikiran dan hidup anaknya.
Tepat
sebulan sebelum keberangkatanku untuk melanjutkan sekolah ke salah satu kota
terkenal di Jawa Barat di salah satu institute ternama di Indonesia, Bapak
mengajakku untuk belajar di alam terbuka. Dengan senang hati aku menerimanya,
sebab selama SMA aku memang suka mengikuti kegiatan pramuka dan pecinta alam.
“Putra,
anakku. Sebulan lagi kau akan pergi mengejar cita-citamu mencari ilmu
setinggi-tingginya ke seberang pulau. Memang tidaklah terhitung jauh, tidak
juga susah karena mudahnya akses yaitu pesawat. Tapi ketahuilah, bapakmu ini
sudah tidak sekuat 40 tahun yang lalu, ya sebesar kau sekarang ini. Jadi, kalau
bukan kau yang pulang menemui kami, tidaklah mungkin kita bisa bertatap wajah,”
kata bapakku sesaat setelah kami usai makan malam.
“Nak, besok
bapak akan mengajakmu ke perbatasan. Perjalanan dari sini ke tujuan jika tidak
ada halangan sekitar dua hari. Nanti kita naik bus lima jam, dua jam naik ojeg,
dan selebihnya jalan kaki. Tapi tenang, kita akan sering istirahat terutama
kalau sudah lelah. Kalau lapar kita makan, kalau haus kita minum. Semua kita
sesuaikan dengan kondisi di perjalanan.”
“Apakah kau
tertarik?” Tanya bapak dengan penuh harapan aku untuk mengiyakannya.
Tentulah aku
menyetujuinya sedang akupun memang menyukai kegiatan outdoor.
Lalu bapak
menyarankanku tidur, karena kami akan berangkat pagi sebelum matahari terbit.
Beliaupun menyarankanku untuk mengajak pacarku. Sayang sekali saat itu aku
belum punya dan bahkan belum terpikirkan untuk memiliki.
Lalu aku
melengkapi perlengkapan yang harus dibawa besok pagi, tepat sebelum tidur.
Kalau tidak salah, aku tidur lebih dari jam 1 malam saat itu. Saat itu suasana
rumahku sudah tidak terdengar suara manusia. Mungkin hanya tersisa suara
jangkrik dan hewan-hewan malam.
Aku sempat
teriak untuk mengetahui kondisi bapak dan ibu. Aku kuatir mereka belum
melengkapi perlengkapan yang akan mereka bawa besok. Tapi karena aku pun
mengantuk, aku memilih untuk tidur daripada memeriksa ke kamar mereka. Akupun
tidak tega mengganggu tidur mereka.
Jam 5 pagi.
“Bangun… Sayang, bangun. Hari sudah pagi,” teriak ibuku saat itu.
Bukan aku
tidak mendengar, tapi mataku masih berat, sehingga semuanya masih terasa
seperti dalam mimpi. Bahkan, alarm pun kumatikan semua. Hingga aku terbangun
karena matahari tepat di atas keningku dan menyinari mataku.
Tak lama,
aku langsung keluar. Aku keluar perlahan sebab kutahu bapak dan ibu pasti sudah
menunggu dan akan marah. Aku buka pintu kamarku perlahan. Ternyata, mereka
benar sudah menungguku.
“Eh Ibu,
Bapak. Kalian sudah siap? Maaf putra terlambat bangun,” sapaku.
“Pelajaran
pertama hari ini, alam bebas tidak bisa diajak berkompromi,” nasihat ibuku saat
itu. Sangat mengherankan. Tidak pernah sebelumnya ibuku berkata seperti itu.
Mungkin ketularan bapak, pikirku saat itu. Bahkan aku sempat bertanya kepada
ibu maksud dari perkataannya tapi dia tidak menjawabnya. Beliau malah
menyuruhku untuk langsung bergegas. Akupun menuruti pesannya, sebab aku takut
dimarahin.
Setelah
mandi aku disarankan sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat.
“Ayo Pak,
Ibu kita sarapan bersama,” ajakku dengan nada kaku.
“Makanlah,
kami sudah,” jawab bapakku tanpa memerhatikan ke arahku.
Aku ingat
sarapanku saat itu hanya telur rebus, ubi rebus, dan sambal. Aku makan mungkin
hanya 5 menit, saking takutnya mereka marah kepadaku. Setelah makan kami
memeriksa perlengkapan kami untuk yang terakhir kalinya sebelum kami jalan.
Kemudian kami jalan ke loket bus terdekat, tak jauh dari rumah. Mungkin hanya
jalan semenit.
Bapak
langsung menuju loket tiket, sedang kami diminta menunggu di kursi
keberangkatan. Syukurlah bapak berhasil membawa 3 tiket dengan jadwal
keberangkatan jam 6 pagi. Bisa mati aku dimarah kalau saja kami tidak dapat tiket,
sebab memang itu kesalahanku.
Lima belas
menit kemudian bis datang, dan kami memasukkan barang-barang kami dan segera
duduk sesuai nomor kursi yang tertera di tiket. Usai semua penumpang, mungkin
hanya lima menit, memasukkan barangnya dan duduk sesuai kursinya bis pun jalan.
“Wah, bisnya
jalan tepat jam 6, sesuai yang tertera di tiket,” gumamku sembari berpikir
dengan kejadian tadi pagi saat aku bangun terlambat dan semuanya kujalani
dengan tergesa-gesa.
Ibuku
mendengar gumamanku saat itu. Beliau bahkan bertanya apakah aku sudah mengerti
kenapa tadi pagi ibuku bersikap seperti itu kepadaku. Tanpa menjawab pertanyaan
ibuku, aku merenunginya sendiri dan dengan senyum-senyum aku membodohkan diriku
sendiri. Ternyata itulah maksud ibuku. Aku diharapkan supaya selalu
berjaga-jaga. Selalu bersiap dan punya rencana dan harus menjalani rencana itu
dengan sungguh-sungguh.
Tiga jam
kemudian, kami berhenti. Dan tiba-tiba supirnya meminta kami untuk turun
sementara. Sependengaranku saat itu, supirnya berkata bahwa bannya mengalami
kebocoran. Mau tidak mau kami semua harus turun.
Setelah
turun, akupun masih merenung dan mensyukuri punya bapak dan ibu yang sangat
sabar menghadapiku, aku masih mengingat kejadian kesalahanku dan kejadian
keberangkatan bis hingga bocornya ban bis. Dan aku semakin mengerti kenapa
selama ini bapak bersikap berbeda dari bapak yang lainnya.
“Aku harus
bisa mengatur waktu sebelum waktu itu sendiri yang menyetirku,” pikirku saat
itu.
“Nak, dalam
banyak hal ada 2 hal dasar yang harus kita ketahui dan pegang. Pertama apakah
hal itu mengandung masalah sehingga kita harus penuh pertimbangan dalam
perencanaan akan suatu hal. Kedua apakah jika kita salah dalam melangkah hal
tersebut mengundang masalah,” ujar bapakku saat itu sambil menepuk pundakku.
Mungkin dia piker aku sedang melamun atau tertidur.
Aku tidak
berbicara apapun. Aku hanya mencium tangan bapakku. Aku tidak tahu apakah dia mengerti atau
tidak. Yang pasti dalam pikiranku bahwa bapakku dan ibuku itu orangtua yang
luar biasa.
"Masa
lalu telah silam, jadikan setiap hal yang berlalu menjadi pelajaran untuk
kedepannya. Di depan masih banyak pelajaran yang harus kau ketahui yang harus
kau persiapkan untuk masa depanmu," pesan bapakku.
Sekitar 10
menit berlalu supir mengganti ban yang bocor, akhirnya kami melanjutkan
perjalanan. Dalam perjalanan yang sepi, sunyi, para penumpangpun mulai
tertidur. Kulihat ibu dan bapak pun sudah tertidur.
Lalu aku
berjalan ke arah depan mendekati supir dan bertanya berapa lama lagi sampai
tujuan, perbatasan. Jawabannya sekitar 3 jam. Tanpa basa basi aku langsung
berpesan untuk menghentikan bis saat tiba di perbatasan nantinya. Karena aku
sendiri tidak tahu letak pastinya perbatasan, sedang bapak dan ibu sedang
tertidur. Syukurlah beliau tidak keberatan. Akupun bisa kembali ke kursi dan
tidur dengan tenang.
3 jam
kemudian "Simpang perbatasan turun, simpang perbatasan turun," teriak
supir beberapa kali.
Akupun
terbangun mendengar teriakan itu. Kulihat bapak dan ibuku masih tertidur. Lalu
aku bangunkan mereka. Kami turun bertiga dan langsung menuju pangkalan ojeg.
"Mau
kemana, Pak?" Tanya dua orang ojeg.
"Mau ke
hulu, Pak," jawab bapakku.
"Siap,
Pak!" Kata mereka. "Kita tunggu satu lagi, Pak. Mungkin tidak sampai
5 menit lagi sampai."
Diwaktu yang
bersamaan salah satu dari tukang ojeg berbincang dengan ibuku.
"Ibu
yakin akan ke hulu? Sebab sudah lama kami tidak mendengar orang ke hulu apalagi
menghantar orang ke arah hulu," tanya salah satu ojeg, sependengaranku.
"Iya,
ini si Bapak ingin melepaskan rasa kangennya dengan ayahnya, kakek si Putra,
Pak," jawab ibuku.
Tidak lama
satu ojeg yang dinanti pun tiba. Lalu kulihat bapak tawar menawar harga dengan
mereka. Sampai akhirnya kami berangkat.
Kami
berangkat bersama dan tidak berjauhan. Bapakku naik ojeg yang berbicara
dengannya tadi. Ibuku naik ojeg yang baru saja datang. Sedang aku naik yang
satunya lagi, yang tadi berbincang dengan ibuku.
Di tengah
jalan aku bertanya kepada si ojeg. "Pak, aku dengar tadi pembicaraan bapak
dengan ibuku. Sebenarnya hulu sejauh apa, Pak? Kenapa tidak pernah ada lagi
yang berkunjung?"
"Saya
kurang tahu, Dek! Tadi kata komandan, yang bersama bapak, sekitar 2 jam,"
jawab tukang ojeg. "Saya sudah 5 tahun kerja di sini, tapi belum pernah
dapat penumpang ke sana. Ini baru pertama kali. Jadi saya kurang tahu pasti,
dek."
"Bagus
tidak, Pak?" Tanyaku penasaran.
"Sepengetahuan
saya, dari cerita-cerita yang pernah saya dengar tempatnya itu unik dan luar
biasa. Hampir semua wahana alam ada di sana," jawab tukang ojeg itu dengan
semangat.
"Air
panas ada, air terjun ada, berbagai jenis hewan masih ada, dan bahkan tumbuhan
juga masih banyak yang belum saya ketahui namanya. Namun, sayang belum menjadi
tempat wisata. Mungkin karena jalurnya yang sulit juga jauh dari pemukiman.
Saya juga pernah dengar ada pengunjung, 15 tahun yang lalu, pulang tanpa sampai
tujuan."
Hmmm... Aku
masih tetap penasaran dan bahkan penasaranku semakin meledak-ledak setelah
mendengar cerita tukang ojeg tersebut. Namun, karena kami sudah sampai, setelah
perjalanan 3 jam kurang lebih, akupun mengakhiri penasaranku.
Setelah
turun, kami melanjutkan perjalanan masuk ke arah hutan. Saat itu matahari sudah
mulai terbenam. Kami pun meraba-raba ketika pembuatan tenda penginapan untuk
satu malam. Yang lebih menakutkan lagi, saat itu petir menyambar-nyambar begitu
kerasnya, rintik hujan mulai terasa di wajahku.
Aku selalu
melihat gerakan tangan bapakku yang begitu lihai membuat tempat kami berteduh.
Ibuku memasak air hangat sedang aku hanya bisa melihat. Syukurlah sebelum
hujan, tenda sudah terpasang dan air sudang matang.
Tak lama,
ibuku mengeluarkan makanan dan menyeduhkan segelah teh hangat buatku juga buat
bapakku. Lalu kami meminumnya dengan perlahan. "Luar biasa" itulah
tanggapanku saat itu. Memang aku selalu takjub setiap meminum air hangat di
tengah hutan apalagi saat hujan.
Sehabis kami
minum teh hangat buatan ibuku, kami melanjutkan makan malam. Makan malam
terenak yang kurasakan saat itu. Sebab ini pertama kalinya aku dan orangtuaku
makan malam bersama di hutan.
Sehabis
makan bapak berpesan agar kami segera tidur dan bangun lebih pagi sebab harus
melanjutkan perjalanan berikutnya menuju tempat yang dijanjikan. Katanya bahwa
kami harus jalan kembali paling lambat jam 6 pagi. Tengah hari akan istirahat
untuk makan, dan lanjut jalan sekitar sejam lagi ke tujuan akhir.
Entah apa
yang terjadi, tidak seperti biasa, aku terbangun jam 4 pagi. Aku kebingungan
hendak berbuat apa. Akhirnya aku memasak air hangat dan sarapan.
Jam 5
kurang, aku membangunkan bapak dan ibu. Meski dalam kondisi mengantuk, bapaknya
dan ibunya langsung bangun dan melihat jam tangan. Mereka tersipu-sipu. Aku
heran dalam hati.
Namun, aku
tidak menghiraukan hal itu. Aku justru menghidangkan sarapan yang telah kubuat.
Kami makan bersama. Puji Tuhan, mereka menyukai masakanku. Bapak sempat
memujiku. Ibu juga ikut memujiku.
Setelah
selesai sarapan, kami membersihkan sekitar kami. Kami membereskan kembali
perlengkapan yang akan kami bawa untuk ke tujuan.
Jam setengah
6 kami sudah siap untuk jalan. Meskipun malamnya bapak berpesan akan jalan jam
6. Saat itu kami tidak perlu menunggu lama hingga jam 6. Kami langsung jalan.
Untunglah kami membawa pelita untuk menerangi perjalan kami.
Tidak pernah
kuduga dan tidak pernah diberitahu sebelumnya. Kami melewati semak belukar,
ranting tua, pohon tua, rawa-rawa yang konon banyak hewan buas dan liar seperti
ular, buaya, juga lintah. Tapi syukurla bapakku tidak memberitahu diawal.
Mungkin saja aku akan takut saat itu jika diawal sudah diberitahu kondisi
sebenarnya. Lagipula aku masih ingat prinsip bapak bahwa selama kami tidak
berbuat jahat atau mengusik hidup mereka, merekapun tidak akan mengganggu.
Setelah kami
beberapa jam melewati berbagai rintangan akhirnya kami melihat tempat
peristirahatan. Kulihat bapak begitu senang.
Namun, aku
melihat ada satu tantangan yang harus kami lewati yaitu memanjat pohon-pohon
tua yang begitu miring. Itu cara satu-satunya menurut bapak. Bapak terlihat
takut tapi bapak tidak mau menunjukkan ketakutannya.
Bapak terus
memanjat sembari berkata bahwa tempat peristirahatan sudah terlihat, di atas.
Dan tujuan pun sudah semakin dekat. Dari tempat peristirahatan juga sudah
terlihat.
Saat itu
bapak sudah di atas. Dia berjalan ke tempat yang lebih tinggi sembari menunggu
kami naik.
Tidak lama
kami bertiga berhasil sampai di tempat peristirahatan.
"Pak,
sepertinya tempat bapak berdiri itu bagus. Aku ke sana ya, Pak," kataku
saat itu karena penasaran melihat bapak yang memandang ke arah tujuan.
"Janganlah
kau ke sana, Nak!" Larang ibuku saat itu.
"Sudahlah,
jangan kau mendekat nanti kau terhimpit. Di sini pohon tua semua sedang yang
muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya," pesan bapakku juga
saat itu.
Namun, aku
tetap melangkah dan menuju tempat bapak berdiri.
"Krek...
krek... krek...," terdengar suara kayu yang ingin patah.
"Awas...
hati-hati Putra! Mundur!" Sempat terdengarku suara bapak teriak.
Melihat kayu
yang kuinjak semakin tidak kuat dan akan patah. Kulihat seakan bapak melompat
dan mendorongku ke belakang.
Aku masih
ingat, saat itu aku terjatuh kebelakang dan seperti akan jatuh ke jurang.
Untunglah dengan cepat tanganku memegang ranting yang masih kuat, dan ibu
langsung cepat melangkah dan menolongku.
Setelah aku
dalam kondisi aman, kami sadar kalau bapak tidak terlihat bahkan bersuarapun
tidak. Ibuku melihat bahwa bapak tadi melompat ke jurang. Sesaat sebelum
menolongku, ibuku sempat melihat bapak tertusuk ranting dan masuk ke rawa yang
banyak hewan buas.
"Bapakkkk...
bapak...," teriak ibuku beberapa kali ke arah bapak terjatuh.
Aku sempat
bertanya kemana bapak melompat.
Ibuku
menjawab bahwa bapak melompat ke jurang yang berbahaya sembari menunjukkan
jarinya.
Lalu ibuku
berjalan memastikan tempat itu sembari berpesan agar aku tidak berpergian dan
mengeraskan kepalaku. Ibuku marah sekali apalagi dengan tindakan bodohku saat
itu.
Akupun hanya
bisa terdiam saat itu. Sementara ibuku terus teriak-teriak memanggil bapak. Dia
terus melihat ke arah ranting yang sempat menusuk bapak.
Aku melihat
ada reaksi yang berbeda di wajah ibuku. Firasatku berkata sepertinya ibuku
ingin melakukan hal yang bodoh. Dan memang betul, kulihat ibu semakin mendekati
jurang. Dengan cepat aku langsung menangkapnya.
Ibuku marah
saat itu. Dia marah sekali dan memukulku dengan ranting yang lumayan besar.
Namun, aku hanya bisa terdiam dan membiarkan amarahnya teredam dengan
sendirinya.
Saat suasana
hening, aku memeluk ibuku. Aku mengaku salah telah keras kepala. Akupun
bertanya kemana bapak pergi. Jawabannya pun sangat tidak kuharapkan dan tak
pernah terpikirkan olehku.
"Dia
sudah tiada. Entah kemanapun dia pergi, ibu tidak tahu. Yang pasti kita tidak
akan melihat wajahnya lagi," jawab ibunya dengan teriak tangis keras.
"Maafkan
aku ibu. Kalau saja... Hmmm tapi semua sudah terjadi. Namun, aku tidak mau
bertindak bodoh lagi. Bapak telah berkorban untukku, artinya aku harus
bertanggung jawab dengan segala yang akan terjadi di depan. Aku tidak akan
membiarkan ibu pergi begitu saja, apalagi dengan cara bunuh diri. Betapa
semakin kecewanya bapak denganku nanti, Bu. Aku akan jaga ibu seperti bapak
telah melakukannya untukku," pintaku saat itu ke ibu.
"Jadi,
sekarang apa yang akan kita lakukan, Bu?"
Aku sempat
kosong hingga bertanya seperti itu ke ibuku.
Apa jawaban
ibuku? Sudah kuduga, beliau mau meminta tolong ke perkampungan mencari bapak.
Dia ingin melihat wajah bapak yang terakhir kalinya jika memang itu sudah
suratan.
Kami pergi
tanpa memikirkan barang bawaan kami. Setelah usai bicara ibu tidak ingin
mendengar pendapatku lagi. Bahkan, seingatku kami tidak ada berhenti hingga
kami sampai di pangkalan ojeg. Aku kasihan dan takjub dengan ibu. Kami menembus
perjalanan 2 hari tanpa makan.
Kemaren,
setelah 15 tahun berlalu, ibuku berpesan yang membuat aku semakin takjub
dengannya. Dia berpesan seiring semakin bertambahnya usia anakku, kamu, supaya
aku mengajari anakku dan menemaninya setiap saat. Jangan sampai kebodohan dan
keras kepalaku menurun ke cucunya.
Akupun
mengaminkannya sehingga apa yang kamu rasakan selama ini ialah cerminan dari
pengalamanku. Syukurlah, ibuku selalu mengingatkanku bahkan hingga aku punya
anak. Aku selalu ingat pesan dan cara didikan bapakku. Baik dalam makan,
sekolah anakku, tidur, pun dalam kehidupan lainnya.
Aku tahu
cinta bapak yang begitu besar untukku harus diturunku untuk keturunannya.
Bahkan nyawa taruhannya aku pun akan mengikutnya.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar