Tampilkan postingan dengan label cita-cita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cita-cita. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 April 2016

Cinta Takkan Mati

“Sudahlah jangan kau kesini, nanti kau terhimpit. Di sini masih banyak pohon kayu tua, sedang yang muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya.”

Masih jelas diingatanku pesan terakhir bapak meski sudah berlalu 25 tahun yang silam dan bapak pun sudah dijemput Tuhan. Kisahnya ialah ketika aku berumur 18 tahun. Layaknya seorang bapak, ia hendak memberikan pelajaran yang berharga untuk anaknya, aku. Ia ingin sekali menjadi guru terbaik dalam pikiran dan hidup anaknya.

Tepat sebulan sebelum keberangkatanku untuk melanjutkan sekolah ke salah satu kota terkenal di Jawa Barat di salah satu institute ternama di Indonesia, Bapak mengajakku untuk belajar di alam terbuka. Dengan senang hati aku menerimanya, sebab selama SMA aku memang suka mengikuti kegiatan pramuka dan pecinta alam.

“Putra, anakku. Sebulan lagi kau akan pergi mengejar cita-citamu mencari ilmu setinggi-tingginya ke seberang pulau. Memang tidaklah terhitung jauh, tidak juga susah karena mudahnya akses yaitu pesawat. Tapi ketahuilah, bapakmu ini sudah tidak sekuat 40 tahun yang lalu, ya sebesar kau sekarang ini. Jadi, kalau bukan kau yang pulang menemui kami, tidaklah mungkin kita bisa bertatap wajah,” kata bapakku sesaat setelah kami usai makan malam.

“Nak, besok bapak akan mengajakmu ke perbatasan. Perjalanan dari sini ke tujuan jika tidak ada halangan sekitar dua hari. Nanti kita naik bus lima jam, dua jam naik ojeg, dan selebihnya jalan kaki. Tapi tenang, kita akan sering istirahat terutama kalau sudah lelah. Kalau lapar kita makan, kalau haus kita minum. Semua kita sesuaikan dengan kondisi di perjalanan.”

“Apakah kau tertarik?” Tanya bapak dengan penuh harapan aku untuk mengiyakannya.

Tentulah aku menyetujuinya sedang akupun memang menyukai kegiatan outdoor.

Lalu bapak menyarankanku tidur, karena kami akan berangkat pagi sebelum matahari terbit. Beliaupun menyarankanku untuk mengajak pacarku. Sayang sekali saat itu aku belum punya dan bahkan belum terpikirkan untuk memiliki.

Lalu aku melengkapi perlengkapan yang harus dibawa besok pagi, tepat sebelum tidur. Kalau tidak salah, aku tidur lebih dari jam 1 malam saat itu. Saat itu suasana rumahku sudah tidak terdengar suara manusia. Mungkin hanya tersisa suara jangkrik dan hewan-hewan malam.

Aku sempat teriak untuk mengetahui kondisi bapak dan ibu. Aku kuatir mereka belum melengkapi perlengkapan yang akan mereka bawa besok. Tapi karena aku pun mengantuk, aku memilih untuk tidur daripada memeriksa ke kamar mereka. Akupun tidak tega mengganggu tidur mereka.

Jam 5 pagi. “Bangun… Sayang, bangun. Hari sudah pagi,” teriak ibuku saat itu.

Bukan aku tidak mendengar, tapi mataku masih berat, sehingga semuanya masih terasa seperti dalam mimpi. Bahkan, alarm pun kumatikan semua. Hingga aku terbangun karena matahari tepat di atas keningku dan menyinari mataku.

Tak lama, aku langsung keluar. Aku keluar perlahan sebab kutahu bapak dan ibu pasti sudah menunggu dan akan marah. Aku buka pintu kamarku perlahan. Ternyata, mereka benar sudah menungguku.

“Eh Ibu, Bapak. Kalian sudah siap? Maaf putra terlambat bangun,” sapaku.

“Pelajaran pertama hari ini, alam bebas tidak bisa diajak berkompromi,” nasihat ibuku saat itu. Sangat mengherankan. Tidak pernah sebelumnya ibuku berkata seperti itu. Mungkin ketularan bapak, pikirku saat itu. Bahkan aku sempat bertanya kepada ibu maksud dari perkataannya tapi dia tidak menjawabnya. Beliau malah menyuruhku untuk langsung bergegas. Akupun menuruti pesannya, sebab aku takut dimarahin.

Setelah mandi aku disarankan sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat.

“Ayo Pak, Ibu kita sarapan bersama,” ajakku dengan nada kaku.

“Makanlah, kami sudah,” jawab bapakku tanpa memerhatikan ke arahku.

Aku ingat sarapanku saat itu hanya telur rebus, ubi rebus, dan sambal. Aku makan mungkin hanya 5 menit, saking takutnya mereka marah kepadaku. Setelah makan kami memeriksa perlengkapan kami untuk yang terakhir kalinya sebelum kami jalan. Kemudian kami jalan ke loket bus terdekat, tak jauh dari rumah. Mungkin hanya jalan semenit.

Bapak langsung menuju loket tiket, sedang kami diminta menunggu di kursi keberangkatan. Syukurlah bapak berhasil membawa 3 tiket dengan jadwal keberangkatan jam 6 pagi. Bisa mati aku dimarah kalau saja kami tidak dapat tiket, sebab memang itu kesalahanku.

Lima belas menit kemudian bis datang, dan kami memasukkan barang-barang kami dan segera duduk sesuai nomor kursi yang tertera di tiket. Usai semua penumpang, mungkin hanya lima menit, memasukkan barangnya dan duduk sesuai kursinya bis pun jalan.

“Wah, bisnya jalan tepat jam 6, sesuai yang tertera di tiket,” gumamku sembari berpikir dengan kejadian tadi pagi saat aku bangun terlambat dan semuanya kujalani dengan tergesa-gesa.

Ibuku mendengar gumamanku saat itu. Beliau bahkan bertanya apakah aku sudah mengerti kenapa tadi pagi ibuku bersikap seperti itu kepadaku. Tanpa menjawab pertanyaan ibuku, aku merenunginya sendiri dan dengan senyum-senyum aku membodohkan diriku sendiri. Ternyata itulah maksud ibuku. Aku diharapkan supaya selalu berjaga-jaga. Selalu bersiap dan punya rencana dan harus menjalani rencana itu dengan sungguh-sungguh.

Tiga jam kemudian, kami berhenti. Dan tiba-tiba supirnya meminta kami untuk turun sementara. Sependengaranku saat itu, supirnya berkata bahwa bannya mengalami kebocoran. Mau tidak mau kami semua harus turun.

Setelah turun, akupun masih merenung dan mensyukuri punya bapak dan ibu yang sangat sabar menghadapiku, aku masih mengingat kejadian kesalahanku dan kejadian keberangkatan bis hingga bocornya ban bis. Dan aku semakin mengerti kenapa selama ini bapak bersikap berbeda dari bapak yang lainnya.

“Aku harus bisa mengatur waktu sebelum waktu itu sendiri yang menyetirku,” pikirku saat itu.

“Nak, dalam banyak hal ada 2 hal dasar yang harus kita ketahui dan pegang. Pertama apakah hal itu mengandung masalah sehingga kita harus penuh pertimbangan dalam perencanaan akan suatu hal. Kedua apakah jika kita salah dalam melangkah hal tersebut mengundang masalah,” ujar bapakku saat itu sambil menepuk pundakku. Mungkin dia piker aku sedang melamun atau tertidur.

Aku tidak berbicara apapun. Aku hanya mencium tangan bapakku.  Aku tidak tahu apakah dia mengerti atau tidak. Yang pasti dalam pikiranku bahwa bapakku dan ibuku itu orangtua yang luar biasa.

"Masa lalu telah silam, jadikan setiap hal yang berlalu menjadi pelajaran untuk kedepannya. Di depan masih banyak pelajaran yang harus kau ketahui yang harus kau persiapkan untuk masa depanmu," pesan bapakku.

Sekitar 10 menit berlalu supir mengganti ban yang bocor, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan yang sepi, sunyi, para penumpangpun mulai tertidur. Kulihat ibu dan bapak pun sudah tertidur.

Lalu aku berjalan ke arah depan mendekati supir dan bertanya berapa lama lagi sampai tujuan, perbatasan. Jawabannya sekitar 3 jam. Tanpa basa basi aku langsung berpesan untuk menghentikan bis saat tiba di perbatasan nantinya. Karena aku sendiri tidak tahu letak pastinya perbatasan, sedang bapak dan ibu sedang tertidur. Syukurlah beliau tidak keberatan. Akupun bisa kembali ke kursi dan tidur dengan tenang.

3 jam kemudian "Simpang perbatasan turun, simpang perbatasan turun," teriak supir beberapa kali.

Akupun terbangun mendengar teriakan itu. Kulihat bapak dan ibuku masih tertidur. Lalu aku bangunkan mereka. Kami turun bertiga dan langsung menuju pangkalan ojeg.

"Mau kemana, Pak?" Tanya dua orang ojeg.

"Mau ke hulu, Pak," jawab bapakku.

"Siap, Pak!" Kata mereka. "Kita tunggu satu lagi, Pak. Mungkin tidak sampai 5 menit lagi sampai."

Diwaktu yang bersamaan salah satu dari tukang ojeg berbincang dengan ibuku.

"Ibu yakin akan ke hulu? Sebab sudah lama kami tidak mendengar orang ke hulu apalagi menghantar orang ke arah hulu," tanya salah satu ojeg, sependengaranku.

"Iya, ini si Bapak ingin melepaskan rasa kangennya dengan ayahnya, kakek si Putra, Pak," jawab ibuku.

Tidak lama satu ojeg yang dinanti pun tiba. Lalu kulihat bapak tawar menawar harga dengan mereka. Sampai akhirnya kami berangkat.

Kami berangkat bersama dan tidak berjauhan. Bapakku naik ojeg yang berbicara dengannya tadi. Ibuku naik ojeg yang baru saja datang. Sedang aku naik yang satunya lagi, yang tadi berbincang dengan ibuku.

Di tengah jalan aku bertanya kepada si ojeg. "Pak, aku dengar tadi pembicaraan bapak dengan ibuku. Sebenarnya hulu sejauh apa, Pak? Kenapa tidak pernah ada lagi yang berkunjung?"

"Saya kurang tahu, Dek! Tadi kata komandan, yang bersama bapak, sekitar 2 jam," jawab tukang ojeg. "Saya sudah 5 tahun kerja di sini, tapi belum pernah dapat penumpang ke sana. Ini baru pertama kali. Jadi saya kurang tahu pasti, dek."

"Bagus tidak, Pak?" Tanyaku penasaran.

"Sepengetahuan saya, dari cerita-cerita yang pernah saya dengar tempatnya itu unik dan luar biasa. Hampir semua wahana alam ada di sana," jawab tukang ojeg itu dengan semangat.

"Air panas ada, air terjun ada, berbagai jenis hewan masih ada, dan bahkan tumbuhan juga masih banyak yang belum saya ketahui namanya. Namun, sayang belum menjadi tempat wisata. Mungkin karena jalurnya yang sulit juga jauh dari pemukiman. Saya juga pernah dengar ada pengunjung, 15 tahun yang lalu, pulang tanpa sampai tujuan."

Hmmm... Aku masih tetap penasaran dan bahkan penasaranku semakin meledak-ledak setelah mendengar cerita tukang ojeg tersebut. Namun, karena kami sudah sampai, setelah perjalanan 3 jam kurang lebih, akupun mengakhiri penasaranku.

Setelah turun, kami melanjutkan perjalanan masuk ke arah hutan. Saat itu matahari sudah mulai terbenam. Kami pun meraba-raba ketika pembuatan tenda penginapan untuk satu malam. Yang lebih menakutkan lagi, saat itu petir menyambar-nyambar begitu kerasnya, rintik hujan mulai terasa di wajahku.

Aku selalu melihat gerakan tangan bapakku yang begitu lihai membuat tempat kami berteduh. Ibuku memasak air hangat sedang aku hanya bisa melihat. Syukurlah sebelum hujan, tenda sudah terpasang dan air sudang matang.

Tak lama, ibuku mengeluarkan makanan dan menyeduhkan segelah teh hangat buatku juga buat bapakku. Lalu kami meminumnya dengan perlahan. "Luar biasa" itulah tanggapanku saat itu. Memang aku selalu takjub setiap meminum air hangat di tengah hutan apalagi saat hujan.

Sehabis kami minum teh hangat buatan ibuku, kami melanjutkan makan malam. Makan malam terenak yang kurasakan saat itu. Sebab ini pertama kalinya aku dan orangtuaku makan malam bersama di hutan.

Sehabis makan bapak berpesan agar kami segera tidur dan bangun lebih pagi sebab harus melanjutkan perjalanan berikutnya menuju tempat yang dijanjikan. Katanya bahwa kami harus jalan kembali paling lambat jam 6 pagi. Tengah hari akan istirahat untuk makan, dan lanjut jalan sekitar sejam lagi ke tujuan akhir.

Entah apa yang terjadi, tidak seperti biasa, aku terbangun jam 4 pagi. Aku kebingungan hendak berbuat apa. Akhirnya aku memasak air hangat dan sarapan.

Jam 5 kurang, aku membangunkan bapak dan ibu. Meski dalam kondisi mengantuk, bapaknya dan ibunya langsung bangun dan melihat jam tangan. Mereka tersipu-sipu. Aku heran dalam hati.

Namun, aku tidak menghiraukan hal itu. Aku justru menghidangkan sarapan yang telah kubuat. Kami makan bersama. Puji Tuhan, mereka menyukai masakanku. Bapak sempat memujiku. Ibu juga ikut memujiku.

Setelah selesai sarapan, kami membersihkan sekitar kami. Kami membereskan kembali perlengkapan yang akan kami bawa untuk ke tujuan.

Jam setengah 6 kami sudah siap untuk jalan. Meskipun malamnya bapak berpesan akan jalan jam 6. Saat itu kami tidak perlu menunggu lama hingga jam 6. Kami langsung jalan. Untunglah kami membawa pelita untuk menerangi perjalan kami.

Tidak pernah kuduga dan tidak pernah diberitahu sebelumnya. Kami melewati semak belukar, ranting tua, pohon tua, rawa-rawa yang konon banyak hewan buas dan liar seperti ular, buaya, juga lintah. Tapi syukurla bapakku tidak memberitahu diawal. Mungkin saja aku akan takut saat itu jika diawal sudah diberitahu kondisi sebenarnya. Lagipula aku masih ingat prinsip bapak bahwa selama kami tidak berbuat jahat atau mengusik hidup mereka, merekapun tidak akan mengganggu.

Setelah kami beberapa jam melewati berbagai rintangan akhirnya kami melihat tempat peristirahatan. Kulihat bapak begitu senang.

Namun, aku melihat ada satu tantangan yang harus kami lewati yaitu memanjat pohon-pohon tua yang begitu miring. Itu cara satu-satunya menurut bapak. Bapak terlihat takut tapi bapak tidak mau menunjukkan ketakutannya.

Bapak terus memanjat sembari berkata bahwa tempat peristirahatan sudah terlihat, di atas. Dan tujuan pun sudah semakin dekat. Dari tempat peristirahatan juga sudah terlihat.

Saat itu bapak sudah di atas. Dia berjalan ke tempat yang lebih tinggi sembari menunggu kami naik.

Tidak lama kami bertiga berhasil sampai di tempat peristirahatan.

"Pak, sepertinya tempat bapak berdiri itu bagus. Aku ke sana ya, Pak," kataku saat itu karena penasaran melihat bapak yang memandang ke arah tujuan.

"Janganlah kau ke sana, Nak!" Larang ibuku saat itu.

"Sudahlah, jangan kau mendekat nanti kau terhimpit. Di sini pohon tua semua sedang yang muda tak sanggup menahan beban berat yang dipikulnya," pesan bapakku juga saat itu.

Namun, aku tetap melangkah dan menuju tempat bapak berdiri.

"Krek... krek... krek...," terdengar suara kayu yang ingin patah.

"Awas... hati-hati Putra! Mundur!" Sempat terdengarku suara bapak teriak.

Melihat kayu yang kuinjak semakin tidak kuat dan akan patah. Kulihat seakan bapak melompat dan mendorongku ke belakang.

Aku masih ingat, saat itu aku terjatuh kebelakang dan seperti akan jatuh ke jurang. Untunglah dengan cepat tanganku memegang ranting yang masih kuat, dan ibu langsung cepat melangkah dan menolongku.

Setelah aku dalam kondisi aman, kami sadar kalau bapak tidak terlihat bahkan bersuarapun tidak. Ibuku melihat bahwa bapak tadi melompat ke jurang. Sesaat sebelum menolongku, ibuku sempat melihat bapak tertusuk ranting dan masuk ke rawa yang banyak hewan buas.

"Bapakkkk... bapak...," teriak ibuku beberapa kali ke arah bapak terjatuh.

Aku sempat bertanya kemana bapak melompat.

Ibuku menjawab bahwa bapak melompat ke jurang yang berbahaya sembari menunjukkan jarinya.

Lalu ibuku berjalan memastikan tempat itu sembari berpesan agar aku tidak berpergian dan mengeraskan kepalaku. Ibuku marah sekali apalagi dengan tindakan bodohku saat itu.

Akupun hanya bisa terdiam saat itu. Sementara ibuku terus teriak-teriak memanggil bapak. Dia terus melihat ke arah ranting yang sempat menusuk bapak.

Aku melihat ada reaksi yang berbeda di wajah ibuku. Firasatku berkata sepertinya ibuku ingin melakukan hal yang bodoh. Dan memang betul, kulihat ibu semakin mendekati jurang. Dengan cepat aku langsung menangkapnya.

Ibuku marah saat itu. Dia marah sekali dan memukulku dengan ranting yang lumayan besar. Namun, aku hanya bisa terdiam dan membiarkan amarahnya teredam dengan sendirinya.

Saat suasana hening, aku memeluk ibuku. Aku mengaku salah telah keras kepala. Akupun bertanya kemana bapak pergi. Jawabannya pun sangat tidak kuharapkan dan tak pernah terpikirkan olehku.

"Dia sudah tiada. Entah kemanapun dia pergi, ibu tidak tahu. Yang pasti kita tidak akan melihat wajahnya lagi," jawab ibunya dengan teriak tangis keras.

"Maafkan aku ibu. Kalau saja... Hmmm tapi semua sudah terjadi. Namun, aku tidak mau bertindak bodoh lagi. Bapak telah berkorban untukku, artinya aku harus bertanggung jawab dengan segala yang akan terjadi di depan. Aku tidak akan membiarkan ibu pergi begitu saja, apalagi dengan cara bunuh diri. Betapa semakin kecewanya bapak denganku nanti, Bu. Aku akan jaga ibu seperti bapak telah melakukannya untukku," pintaku saat itu ke ibu.

"Jadi, sekarang apa yang akan kita lakukan, Bu?"

Aku sempat kosong hingga bertanya seperti itu ke ibuku.

Apa jawaban ibuku? Sudah kuduga, beliau mau meminta tolong ke perkampungan mencari bapak. Dia ingin melihat wajah bapak yang terakhir kalinya jika memang itu sudah suratan. 

Kami pergi tanpa memikirkan barang bawaan kami. Setelah usai bicara ibu tidak ingin mendengar pendapatku lagi. Bahkan, seingatku kami tidak ada berhenti hingga kami sampai di pangkalan ojeg. Aku kasihan dan takjub dengan ibu. Kami menembus perjalanan 2 hari tanpa makan.

Kemaren, setelah 15 tahun berlalu, ibuku berpesan yang membuat aku semakin takjub dengannya. Dia berpesan seiring semakin bertambahnya usia anakku, kamu, supaya aku mengajari anakku dan menemaninya setiap saat. Jangan sampai kebodohan dan keras kepalaku menurun ke cucunya.

Akupun mengaminkannya sehingga apa yang kamu rasakan selama ini ialah cerminan dari pengalamanku. Syukurlah, ibuku selalu mengingatkanku bahkan hingga aku punya anak. Aku selalu ingat pesan dan cara didikan bapakku. Baik dalam makan, sekolah anakku, tidur, pun dalam kehidupan lainnya.

Aku tahu cinta bapak yang begitu besar untukku harus diturunku untuk keturunannya. Bahkan nyawa taruhannya aku pun akan mengikutnya.

Tamat
                 

Kamis, 07 April 2016

Dua Jalan Satu Tujuan



Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol

“Mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi orang-orang hanya  bisa diam tanpa mengambil tindakan,” teriak salah seorang anak dari desa Penutur, tak jauh dari Sumatra. “Aku si Koko yang berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua jurang kehidupan namun terlihat hanya berujung pada satu arah.”

...

(Tok-tok... Tok-tok... Tok-tok) “Nak. Bangun, Nak. Matahari sudah di atas, berapa lama lagi ibu menunggu?” panggil ibunya sambil menyiapkan peralatan berkebun.

“Iya, Bu. Koko sudah bangun dari subuh tadi,” jawabnya sambil melompat dari kasurnya dan keluar dari kamarnya.

Ayo, Bu. Kita berangkat.

(Di tengah jalan dalam keheningan) “Bu, Koko mau nanya, apa yang membedakan antara bebatuan ini dan kita?” tanya Koko saat perjalanan menuju perkebunan. “Kita tinggal di tempat yang sama dan tidak jauh pula jaraknya.”

“Ketika kamu ingin makan, kamu makan. Ketika kamu ingin tidur, kamu tidur. Ketika kamu ingin teriak, menangis, tertawa? Kamu bisa teriak, menangis, dan tertawa sesukamu,” jawab ibunya. “Batu itu tidak akan berpindah jika tidak ada yang memindahkannya. Tidak seperti kita. Batu itu tidak merasakan apa yang pernah kita rasakan.”

“Kalau begitu Koko bisa pergi kemana saja Koko mau, Bu? Begitu,” celetuk Koko.

“Kamu mau pergi kemana hmmm, Koko? Ayah kamu sudah tua, begitu juga Ibu. Siapa yang akan menemani kami di sini? Tapi itu hak kamu, ibu tidak melarang. Terkadang agar kita mengerti hidup, kita harus pergi jauh, bahkan meninggalkan orang terkasih sekalipun. Tapi kelak, jika kamu merindukan kasih setia, pulanglah, Nak. Pulanglah ke rumah kita, di sini kamu akan mengerti arti kasih, arti dari pentingnya keluarga, arti cinta yang sempurna meski sederhana” tutur ibunya terlihat sambil meneteskan air mata, sebenarnya berat untuk melepaskan anaknya.

“Ibu, lihatlah! Di bawah sana ada dua jurang dan di ujung atas keduanya terlihat samar-samar. Seakan dari awal hanya ada satu jurang. Ibu, ibu pasti tahu Koko. Koko mengumpamakan itu sebagai dua jalan dan satu tujuan. Koko di sini itu untuk Ayah dan Ibu, begitu juga jika Koko pergi, itu juga untuk Ayah dan Ibu. Cintaku pada ibu dan ayah,” jelas Koko sambil menunjuk ke arah jurang dan kadang berbalik menuju ibunya.

“Ada banyak bentuk kasih yang sudah Ibu beri dan Ayah ajarkan, itu akan menjadi senjata utama Koko di tanah rantau. Percayalah, Koko tidak akan mengecewakan kalian. Tidak akan lupa tangan Koko tuk menghapus air mata Ibu. Takkan mungkin beralih mata ini dari tempat tidur Ayah,” jelasnya. “Sampai batu ini berpindahpun, Koko tidak akan meninggalkan kalian. Koko tahu jalan pulang. Koko tahu siapa yang Koko tuju.”

“Baiklah, Nak. Ibu melihat ketulusanmu untuk merantau. Dari air matamu ibu lihat kamu akan kembali sebelum kita berpisah untuk selamanya,” dukung ibunya. “Ingat ya, Nak. Kelak kamu harus seperti ayahmu. Berakit hingga ketepian, berlari hingga ke puncak, dan menyebrangi berbagai tantangan untuk melanjutkan hidupnya. Kelak juga kamu kan temukan seorang wanita yang bersedia menemanimu dalam bangun dan tidurmu dalam sakitmu sekalipun.Dulu  Ayahmu menarik perhatian ibu bukan dari parasnya. Tapi dari kesederhanaannya. Tutur katanya yang tidak meninggi. Melakukan yang terbaik untuk ibu. Berubah haluan menjadi teladan baik bagi sekitarnya, setidaknya untuk ibu. Dan yang terpasti ayahmu selalu ada untuk Ibu, semampu dia. Dia temani ibu dengan penuh kesabaran, dia ajari ibu dengan penuh kasih sayang. Cuma yang ibu takutkan, kamu juga sama seperti ayahmu, yang hanya bisa menunjukkan kasih sayangnya, namun sukar untuk mengungkapkannya.”

“Nak... Kalau tiba saatnya kamu jatuh hati, pilihlah wadah yang pasti bisa menampung benih kasihmu. Yang pasti bisa tumbuh dan berbuah. Yang selalu menatap kedepan dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran berharga,” pesan ibunya sambil mengelus kepala Koko.

“ Memangnya seperti apa hati yang tidak bisa ditanami benih kasih, Bu?” tanya Koko.

 “Ada banyak hati yang sukar ditanami kasih. Salah satunya hati yang sudah tawar, terutama tawar yang dikarenakan bekas kasih yang dulu pernah tumbuh, namun kasih itu pergi dengan alasan tertentu. Wadahnya menjadi tawar dan sukar untuk ditanami,” terang ibunya sambil duduk dan meneguk secangkir air.
Dalam suasana penuh keringat, si Koko dan ibunya tetap bekerja meski terkadang berhenti karena harus bertanya ataupun menjawab pertanyaan.

“Bu, kalau begitu masih ada peluang kan? Ibarat tanah yang di belakang rumah. Dulunya tanah merah. Yang di samping ada dulunya tandus. Tapi setelah kita rawat, kita perhatikan, kita jaga, akhirnya bisa kita tanami berbagai jenis bibit. Bukan begitu bu?” tanya Koko lagi sembari menjelaskan pandangannya.

“Kamu benar nak. Namun hati tidak seutuhnya seperti tanah. Tanah yang tandus bisa kita pupuk lalu menjadi subur. Tanah berpasir dan bebatuan juga begitu. Setelah kita rawat, mereka seutuhnya menjadi subur,” jawab ibunya dengan singkat lalu pergi meninggalkan Koko untuk sejenak berisitirahat, makan.

“Hati bagaimana, Bu?” tanya Koko penasaran.

“Sini, istirahat dulu, kita sambil makan saja. Sepertinya kamu serius untuk menanggapinya,” pecah ibunya. “ Jadi Hati memang bisa kita rawat, dan memang lebih mudah kembali subur, tapi sewaktu-waktu jika ia menemukan benih yang dulu pernah tumbuh, kamu bisa tersakiti. Sesungguhnya hati tidak akan pernah bersih dari masa lalunya,” ringkas ibunya.

“Tanpa terkecuali, Bu?” Tanya Koko dengan penuh kebingungan.

“ Hmmm... Dulu ibu pernah menaruh kasih kepada seorang pria. Dia baik. Cukup perhatian dengan ibu. Kita menjalin kasih diwaktu yang tidak bisa dibilang singkat. Namun, karena alasan tertentu, kita pisah. Ibumu ini hampir tidak bisa melupakannya. Pernah beberapa pria lain mendekati ibu. Ibu tetap tak bisa melupakannya. Sampai akhirnya ayahmu hadir di kehidupan ibu. Ayahmu dengan penampilan yang memang ciri khasnya. Dia mendekati ibu dengan caranya. Dia sangat sabar. Perhatian, dan rela memberikan waktunya untuk ibu,” Jawab ibunya.

“Bahkan ibu sudah melupakannya hingga saat ini, meski dulu sempat lagi berpapasan di transportasi umum yang sama,” tambah ibunya. “Ibu jadi merasa lucu mengingatnya. Mungkin inilah maksud dari pengalaman itu, agar ibu bisa bercerita ke kamu nak.”

“Hmmm... Ibu percaya, tak jauh buah jatuh dari pohonnya. Ayahmu punya cara tersendiri dan ternyata itulah cara terbaik saat itu untuk keadaan ibu. Begitu juga kelak kamu. Apalagi dengan kondisi saat ini. Tak ada lagi hati yang belum pernah ditanami. Hampir semua pernah ditumbuhi benih kasih. Saatnya kamu nak. Kamu jangan mau kalah sama ayahmu,” harap ibunya.

Lalu si Koko sedikit merenungkan apa maksud dari ibunya berkata demikian. Hingga dia berjalan dan kembali lagi, dan berjalan lagi ke tempat yang lebih jauh. Kembali lagi.

“Jadi apa yang harus Koko lakukan Bu misalnya hal itu terjadi pada Koko?”

“Kuncinya hanya ada satu, yakni kesabaran. Dari kesabaran akan tumbuh rasa kasih sayang yang bisa mengalahkan semua benih yang dahulu pernah tumbuh. Teruslah mengasihi meski kasih itu terkadang menyakitimu,” pungkas ibunya.

Terlihat cuaca sudah semakin mendung. Matahari sudah tidak ada. Merekapun bergegas dan segera pulang sebelum turun hujan. Lalu beberapa saat sebelum mereka pulang, ayahnya tiba-tiba datang menghampiri mereka.

“Ketika kamu cinta, kamu tak mengenal waktu. Kamu selalu ingin bersama. Tapi ingat, kamu punya cita-cita, kamu tetap harus meraihnya. Wanita baik ialah wanita yang mendukung yang dikasihinya untuk menatap masa depan dan kesuksesan yang ingin diraihnya. Seperti ibu kamu terhadap ayah. Iya kan, Bu?” jelas papanya sembari mengenang  kembali memori yang sudah lama ia tinggalkan.

“Ayah baru membaca buku kamu, ada sebuah tulisan singkat mengenai cita dan harapanmu. Ayah sangat setuju. Kamu katakan bahwa untuk mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi orang-orang hanya  bisa diam tanpa mengambil tindakan. Kamu berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua jurang kehidupan namun terlihat hanya berujung pada satu arah. Kamu katakan itu sebagai ‘dua jalan satu tujuan’, ayah setuju. Itu artinya kamu sudah mengerti arti hidupmu. Kamu disini itu untuk cintamu, kamu pergipun juga untuk cintamu. Raihlah impianmu. Ketika kamu takut, seketika itu lipatlah tanganmu, tunduklah, dan katakan apa yang kamu takutkan. Akan ada jawaban untuk segalanya,” tutup ayahnya.

Keesokannya, Koko berangkat merantau dan mengikuti arah jurang yang selalu ia lihat setiap kali bangun pagi. Dan bahkan menjadi pembuka mimpi-mimpinya. 

Bintan, 12 Desember 2014