Oleh: Rico Ricardo
Lumban Gaol
“Mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi
orang-orang hanya bisa diam tanpa
mengambil tindakan,” teriak salah seorang anak dari desa Penutur, tak jauh dari
Sumatra. “Aku si Koko yang berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua
jurang kehidupan namun terlihat hanya berujung pada satu arah.”
...
(Tok-tok... Tok-tok... Tok-tok) “Nak. Bangun, Nak. Matahari
sudah di atas, berapa lama lagi ibu menunggu?” panggil ibunya sambil menyiapkan
peralatan berkebun.
“Iya, Bu. Koko sudah bangun dari subuh tadi,” jawabnya
sambil melompat dari kasurnya dan keluar dari kamarnya.
Ayo, Bu. Kita berangkat.
(Di tengah jalan dalam keheningan) “Bu, Koko mau nanya, apa
yang membedakan antara bebatuan ini dan kita?” tanya Koko saat perjalanan
menuju perkebunan. “Kita tinggal di tempat yang sama dan tidak jauh pula
jaraknya.”
“Ketika kamu ingin makan, kamu makan. Ketika kamu ingin
tidur, kamu tidur. Ketika kamu ingin teriak, menangis, tertawa? Kamu bisa
teriak, menangis, dan tertawa sesukamu,” jawab ibunya. “Batu itu tidak akan
berpindah jika tidak ada yang memindahkannya. Tidak seperti kita. Batu itu
tidak merasakan apa yang pernah kita rasakan.”
“Kalau begitu Koko bisa pergi kemana saja Koko mau, Bu?
Begitu,” celetuk Koko.
“Kamu mau pergi kemana hmmm, Koko? Ayah kamu sudah tua,
begitu juga Ibu. Siapa yang akan menemani kami di sini? Tapi itu hak kamu, ibu
tidak melarang. Terkadang agar kita mengerti hidup, kita harus pergi jauh,
bahkan meninggalkan orang terkasih sekalipun. Tapi kelak, jika kamu merindukan
kasih setia, pulanglah, Nak. Pulanglah ke rumah kita, di sini kamu akan
mengerti arti kasih, arti dari pentingnya keluarga, arti cinta yang sempurna
meski sederhana” tutur ibunya terlihat sambil meneteskan air mata, sebenarnya
berat untuk melepaskan anaknya.
“Ibu, lihatlah! Di bawah sana ada dua jurang dan di ujung
atas keduanya terlihat samar-samar. Seakan dari awal hanya ada satu jurang.
Ibu, ibu pasti tahu Koko. Koko mengumpamakan itu sebagai dua jalan dan satu
tujuan. Koko di sini itu untuk Ayah dan Ibu, begitu juga jika Koko pergi, itu
juga untuk Ayah dan Ibu. Cintaku pada ibu dan ayah,” jelas Koko sambil menunjuk
ke arah jurang dan kadang berbalik menuju ibunya.
“Ada banyak bentuk kasih yang sudah Ibu beri dan Ayah
ajarkan, itu akan menjadi senjata utama Koko di tanah rantau. Percayalah, Koko
tidak akan mengecewakan kalian. Tidak akan lupa tangan Koko tuk menghapus air
mata Ibu. Takkan mungkin beralih mata ini dari tempat tidur Ayah,” jelasnya.
“Sampai batu ini berpindahpun, Koko tidak akan meninggalkan kalian. Koko tahu
jalan pulang. Koko tahu siapa yang Koko tuju.”
“Baiklah, Nak. Ibu melihat ketulusanmu untuk merantau. Dari
air matamu ibu lihat kamu akan kembali sebelum kita berpisah untuk selamanya,”
dukung ibunya. “Ingat ya, Nak. Kelak kamu harus seperti ayahmu. Berakit hingga
ketepian, berlari hingga ke puncak, dan menyebrangi berbagai tantangan untuk
melanjutkan hidupnya. Kelak juga kamu kan temukan seorang wanita yang bersedia
menemanimu dalam bangun dan tidurmu dalam sakitmu sekalipun.Dulu Ayahmu menarik perhatian ibu bukan dari
parasnya. Tapi dari kesederhanaannya. Tutur katanya yang tidak meninggi.
Melakukan yang terbaik untuk ibu. Berubah haluan menjadi teladan baik bagi
sekitarnya, setidaknya untuk ibu. Dan yang terpasti ayahmu selalu ada untuk
Ibu, semampu dia. Dia temani ibu dengan penuh kesabaran, dia ajari ibu dengan
penuh kasih sayang. Cuma yang ibu takutkan, kamu juga sama seperti ayahmu, yang
hanya bisa menunjukkan kasih sayangnya, namun sukar untuk mengungkapkannya.”
“Nak... Kalau tiba saatnya kamu jatuh hati, pilihlah wadah
yang pasti bisa menampung benih kasihmu. Yang pasti bisa tumbuh dan berbuah.
Yang selalu menatap kedepan dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran berharga,”
pesan ibunya sambil mengelus kepala Koko.
“ Memangnya seperti apa hati yang tidak bisa ditanami benih
kasih, Bu?” tanya Koko.
“Ada banyak hati yang
sukar ditanami kasih. Salah satunya hati yang sudah tawar, terutama tawar yang
dikarenakan bekas kasih yang dulu pernah tumbuh, namun kasih itu pergi dengan
alasan tertentu. Wadahnya menjadi tawar dan sukar untuk ditanami,” terang
ibunya sambil duduk dan meneguk secangkir air.
Dalam suasana penuh keringat, si Koko dan ibunya tetap
bekerja meski terkadang berhenti karena harus bertanya ataupun menjawab
pertanyaan.
“Bu, kalau begitu masih ada peluang kan? Ibarat tanah yang
di belakang rumah. Dulunya tanah merah. Yang di samping ada dulunya tandus.
Tapi setelah kita rawat, kita perhatikan, kita jaga, akhirnya bisa kita tanami
berbagai jenis bibit. Bukan begitu bu?” tanya Koko lagi sembari menjelaskan
pandangannya.
“Kamu benar nak. Namun hati tidak seutuhnya seperti tanah.
Tanah yang tandus bisa kita pupuk lalu menjadi subur. Tanah berpasir dan
bebatuan juga begitu. Setelah kita rawat, mereka seutuhnya menjadi subur,”
jawab ibunya dengan singkat lalu pergi meninggalkan Koko untuk sejenak
berisitirahat, makan.
“Hati bagaimana, Bu?” tanya Koko penasaran.
“Sini, istirahat dulu, kita sambil makan saja. Sepertinya
kamu serius untuk menanggapinya,” pecah ibunya. “ Jadi Hati memang bisa kita
rawat, dan memang lebih mudah kembali subur, tapi sewaktu-waktu jika ia
menemukan benih yang dulu pernah tumbuh, kamu bisa tersakiti. Sesungguhnya hati
tidak akan pernah bersih dari masa lalunya,” ringkas ibunya.
“Tanpa terkecuali, Bu?” Tanya Koko dengan penuh kebingungan.
“ Hmmm... Dulu ibu pernah menaruh kasih kepada seorang pria.
Dia baik. Cukup perhatian dengan ibu. Kita menjalin kasih diwaktu yang tidak
bisa dibilang singkat. Namun, karena alasan tertentu, kita pisah. Ibumu ini
hampir tidak bisa melupakannya. Pernah beberapa pria lain mendekati ibu. Ibu
tetap tak bisa melupakannya. Sampai akhirnya ayahmu hadir di kehidupan ibu.
Ayahmu dengan penampilan yang memang ciri khasnya. Dia mendekati ibu dengan
caranya. Dia sangat sabar. Perhatian, dan rela memberikan waktunya untuk ibu,”
Jawab ibunya.
“Bahkan ibu sudah melupakannya hingga saat ini, meski dulu
sempat lagi berpapasan di transportasi umum yang sama,” tambah ibunya. “Ibu
jadi merasa lucu mengingatnya. Mungkin inilah maksud dari pengalaman itu, agar
ibu bisa bercerita ke kamu nak.”
“Hmmm... Ibu percaya, tak jauh buah jatuh dari pohonnya.
Ayahmu punya cara tersendiri dan ternyata itulah cara terbaik saat itu untuk
keadaan ibu. Begitu juga kelak kamu. Apalagi dengan kondisi saat ini. Tak ada
lagi hati yang belum pernah ditanami. Hampir semua pernah ditumbuhi benih
kasih. Saatnya kamu nak. Kamu jangan mau kalah sama ayahmu,” harap ibunya.
Lalu si Koko sedikit merenungkan apa maksud dari ibunya
berkata demikian. Hingga dia berjalan dan kembali lagi, dan berjalan lagi ke
tempat yang lebih jauh. Kembali lagi.
“Jadi apa yang harus Koko lakukan Bu misalnya hal itu
terjadi pada Koko?”
“Kuncinya hanya ada satu, yakni kesabaran. Dari kesabaran
akan tumbuh rasa kasih sayang yang bisa mengalahkan semua benih yang dahulu
pernah tumbuh. Teruslah mengasihi meski kasih itu terkadang menyakitimu,”
pungkas ibunya.
Terlihat cuaca sudah semakin mendung. Matahari sudah tidak
ada. Merekapun bergegas dan segera pulang sebelum turun hujan. Lalu beberapa
saat sebelum mereka pulang, ayahnya tiba-tiba datang menghampiri mereka.
“Ketika kamu cinta, kamu tak mengenal waktu. Kamu selalu
ingin bersama. Tapi ingat, kamu punya cita-cita, kamu tetap harus meraihnya.
Wanita baik ialah wanita yang mendukung yang dikasihinya untuk menatap masa
depan dan kesuksesan yang ingin diraihnya. Seperti ibu kamu terhadap ayah. Iya
kan, Bu?” jelas papanya sembari mengenang
kembali memori yang sudah lama ia tinggalkan.
“Ayah baru membaca buku kamu, ada sebuah tulisan singkat
mengenai cita dan harapanmu. Ayah sangat setuju. Kamu katakan bahwa untuk
mengetahui secara sadar ialah sesuatu keharusan, tetapi orang-orang hanya bisa diam tanpa mengambil tindakan. Kamu
berdiri di atas gunung dan dihadapkan dengan dua jurang kehidupan namun
terlihat hanya berujung pada satu arah. Kamu katakan itu sebagai ‘dua jalan
satu tujuan’, ayah setuju. Itu artinya kamu sudah mengerti arti hidupmu. Kamu
disini itu untuk cintamu, kamu pergipun juga untuk cintamu. Raihlah impianmu.
Ketika kamu takut, seketika itu lipatlah tanganmu, tunduklah, dan katakan apa
yang kamu takutkan. Akan ada jawaban untuk segalanya,” tutup ayahnya.
Keesokannya, Koko berangkat merantau dan mengikuti arah
jurang yang selalu ia lihat setiap kali bangun pagi. Dan bahkan menjadi pembuka
mimpi-mimpinya.
Bintan, 12 Desember 2014