Tampilkan postingan dengan label Berdaulat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berdaulat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 April 2017

Birokrasi



Rico Ricardo Lumban Gaol

Tidak bisa dipungkiri bangsa (cie ngomongin bangsa :P) kita masih jauh dari kata bersih, rapi, apalagi transparan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan dikarenakan masalah administrasi yang tumpang tindih dan tidak ada koordinasi antar kepentingan atau birokrasi yang panjang, mutar-mutar, dan tidak ada ujungnya.

Tulisan ini berawal dari cerminan dua hal yang pernah saya alami serta pengalaman mengenal para penguasa dan pengusaha, penggerak sosial, serta melihat langsung di lapangan. Setahun kemaren saya mendapat kesempatan untuk menjadi salah satu koordinator program kementerian yang berinisial ehemmm. Adapun nama program tersebut kalau disingkat yakni “PE”.

Di dalam program tersebut setidaknya ada dua tim, yang pertama tim di lapangan sedang lainnya sebagai koordinator yang bertempat tinggal di pusat sebut saja di Jakarta. Masing-masing memiliki peranan yang cukup penting untuk mencapai tujuan yang sama.

Sekedar untuk diketahui, program tersebut sudah berlangsung selama dua periode. Periode pertama saya dan 79 teman saya jadi peserta yang ada di lapangan, sedang periode kedua saya dan beberapa teman lainnya diminta untuk membantu tim koordinator di Jakarta.

Bagian yang menarik untuk dibahas ialah terkait peran dan fungsi awal koordinator. Sederhananya bisa disebut sebagai “penghubung” kali ya? Bagian konsep dan pengaturan yang bisa menghubungkan antara berbagai pihak baik secara vertikal maupun horizontal merupakan tujuan umum adanya koordinator. Namun sangat disayangkan kenyataannya tidak semudah mendefinisikannya.

Kurang lebih dua bulan kami selaku koordinator hanya melakukan pekerjaan administrasi. Mungkin agak lebih masuk akal jika itu berhubungan dengan periode kegiatan atau masa program yang sama. Kenyataannya kami melakukan “Pertanggungjawaban” kegiatan tahun sebelumnya. Perlu dipertanyakan apakah benar program periode sebelumnya belum tuntas segala syarat dan prasyarat serta “tetek-bengeknya”?

Tidak mungkin tidak! Begitulah keyakinanku, hanya saja karena birokrasi yang saya katakan terlalu berbelit-belit, panjang, dan mutar-mutar serta tidak ada ujungnya alhasil segala sesuatu yang telah diurus oleh koordinator periode sebelumnya, tidak dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban. Apakah karena tidak sesuai koridor, atau tidak sesuai standar? Tentu hal itu tidak mungkin karena semuanya bisa dikomunikasikan pada saat periode program sebelum dilaksanakan atau paling tidak saat periode program berlangsung.

Pengalaman berikutnya dalam beberapa minggu terakhir ialah saya menemukan kenyataan di lapangan terkait dampak birokrasi yang gila dan administrasi yang tumpang tindih. Salah satu contoh sederhananya ialah terkait form isian yang berhubungan dengan kenyataan di lapangan. Pihak A memiliki kepentingan A, pihak B memiliki kepentingan B, dan begitu seterusnya. Seakan tidak ada bagian koordinasi sehingga semua pihak yang berkepentingan membuat keadaan dilapangan semakin kacau.

Sementara kenyataan di lapangan, maaf bukan bermaksud merendahkan, masih banyak informasi yang sampai di lapangan belum disederhanakan. Apakah birokrat yang ada tidak bisa melihat perbedaan keterampilan di hierarki paling atas hingga paling bawah? Bukannya perbedaan keterampilan atau kemampuan SDM tersebut yang membentuk hierarki yang ada? Entahlah, mungkin birokrat punya prinsip tidak mau tahu yang penting konsep sudah dibuat lalu lemparkan saja ke bawah, “top-down method”.


“Masyarakat seharusnya sebagai pelaku bukan sebagai budak!”


Peran yang dimaksud masyarakat sebagai “pelaku” dan bukan sebagai “objek” pasar saja kini dinodai dengan menjadikan masyarakat sebagai buruh di tanahnya sendiri, bisa disebut buruh uang dan bisa juga disebut sebagai budak korporat dan birokrat. Masyarakat hanya melakukan kepentingan pemangku kekuasaan. Masyarakat “ditumpahi” segudang uang tanpa pendidikan dan fungsi kontrol untuk menjamin apakah berjalan atau tidak dan tidak memantau bagaimana proses keberlanjutannya.

Memang sama-sama masyarakat yang harus melakukan. Hanya saja letak perbedaannya ialah, masyarakat saat ini masih sebagai objek pasar dari para pemangku. Yang dimaksud masyarakat sebagai pelaku ialah bahwasanya merekalah yang mengelola semua yang ada di sistem yang berlangsung di masyarakat. Mereka yang lebih tahu kebutuhan mereka. Bukankah makna sederhana kesejahteraan ialah tercapainya segala kebutuhan mendasar? Misalnya pangan, masyarakatlah yang paling tahu makanan apa yang sesuai dengan mereka. Tidak perlu memberikan perintah “Tanam Padi!” atau “Tanam Jagung!” melainkan cukup perintah “Berdaulat Pangan!” karena beberapa di antara masyrakat kita terutama daerah pedalaman nenek moyang mereka hidup berabad-abad tidak dengan padi melainkan Sagu. Dampaknya? Sagu yang ada di sekitar mereka terabaikan dan tinggal kenangan sedang mereka bersusah-susah menanam padi yang bibitnya, pupuknya, dan pestisidanya dari kerjasama antara pemangku kebijakan dan pemodal besar. Wow!

Masyarakat tidak butuh poskamling! Tahukah birokrat dengan hal itu? Kenyataannya, karena uang mereka berlimpah dan mereka pernah melihat ada bangunan yang bernama poskamling, akhirnya mereka membangun akan tetapi tidak memfungsikannya karena mereka memang tidak membutuhkan hal itu. Lalu di mana letak fungsi koordinasi dan fungsi kontrol dari sistem hierarki birokrasi yang kita jalankan?

Percaya atau tidak, sudah terbukti, selama administrasi yang tumpang tindih serta birokrasi yang berputar-putar serta birokrat masih memakai “top-down method” saja, jangan bermimpi bangsa kita menjadi bangsa yang rapi, bersih, transparan, apalagi mandiri pun juga berdaulat. Semuanya tinggal mimpi hitam di atas kertas putih saja.


Pandangan hemat dari pengalaman yang masih seumur jagung.
Borneo, 26 April 2017

Rabu, 21 September 2016

Membangun Dari Desa



Salah satu tantangan utama bangsa Indonesia adalah melemahnya perekonomian bangsa. Hal ini dapat dilihat dari persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, serta ketergantungan baik keuangan, energi, dan bahkan pangan dari negara luar. Negara masih berjuang mencari titik temunya antara persoalan yang ada dengan jawaban yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Negara selama ini belum juga mampu memanfaatkan potensi yang ada di tanah air. Tidak hanya potensi sumber daya alam (SDA) bahkan sumber daya manusianya (SDM) belum mampu dirangkul. Selama hal ini belum teratasi selama itu pula Indonesia akan menghadapi persoalan yang sama atau bisa disebut berjalan di tempat.

Namun, harapan untuk menjawab persoalan tersebut masih ada. Harapan akan tidak ketergantungan lagi bahan pangan dengan pasokan yang datang dari hasil impor. Harapan akan pemerataan penyediaan energi. Tidak lagi bergantung pada hutang luar negeri, masyarakat mendapatkan jaminan kesehatan, hidup yang layak, serta kehidupan yang lebih mandiri.

Rakyat Sebagai Subjek
Jika menilik kembali salah satu komponen dari ideologi negara Indonesia yakni TRISAKTI, maka bangsa Indonesia akan tersadarkan kembali bahwa Indonesia harus mampu menjadikan rakyat sebagai basis ekonomi di negara ini. Rakyat harus menjadi pemegang dan pelaku utama kedaulatan dalam pengelolaan ekonomi negara.

Pemerintah sekarang sudah mulai melek akan persoalan yang dihadapi negara Indonesia selama ini tak lain ialah karena sering sekali masyarakat hanya dijadikan sebagai objek atau mangsa pasar. Dan pemerintahan sekarang telah memiliki visi membangun Indonesia dari pinggiran. Hal ini didukung dengan kerja yang sudah dapat dilihat dengan semakin banyaknya kementerian-kementerian yang melakukan program pengembangan desa dengan mendelegasikan relawan ke pelosok-pelosok negeri ini.

Selain itu, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga sudah mulai tergerak untuk mengambil peran dalam pembangunan bangsa ini serta mendukung visi yang melakukan pembangunan mulai dari pinggiran. Pergerakan bisnis dewasa ini juga melahirkan bisnis yang bergerak di bidang sosial atau social enterprise. Kesadaran ini menunjukkan bahwa rakyat sebagai pelaku utama merupakan kebutuhan bangsa saat ini.

Pudarnya Gotong Royong
Indonesia terkenal akan kekayaan alamnya. Namun alam yang dahulu indah, bersahabat, dan diduduki masyarakat lokal kini tidak lagi. Masyarakat telah kehilangan haknya. Ini terjadi karena kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini terkait ekonomi negara telah memisahkan masyarakat lokal dari pelaku ekonomi dan modal sosialnya bahkan secara tidak langsung telah menjadi proses pemiskinan.

Hutan, gunung, sawah, dan lautan yang dahulunya mampu dikelola oleh masyarakat lokal kini diambil alih oleh pemegang uang. Sehingga pengelolaan sumber daya alam lokal tidak lagi melekat dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak lagi punya waktu untuk melihat daerahnya sendiri. Masyarakat tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengenali potensi daerahnya. Apalagi untuk memanfaatkannya, masyarakat sudah jauh dari hal itu.

Masuk dan merajalelanya perusahaan-perusahaan yang hanya menjadikan rakyat sebagai pasar telah melahirkan tradisi dan budaya baru yang mengubah masyarakat memiliki identitas baru dan menanggalkan kebudayaan lokal. Lebih parahnya orientasi yang dulu sangat kental terkait kerjasama yakni gotong royong sebagai kearifan lokal telah bergeser menjadi orientasi materi, uang. Kearifan lokal, gotong royong, yang sebelumnya sangat kental sudah memudar. Terusiknya kearifan lokal menjadikan daerah tercemar seperti lahan yang habis dan rusak, air yang berkurang dan menjadi tidak layak minum, serta kesatuan masyarakat lokal yang luntur.

Pemuda Harus Mengambil Peran
Pemerintah juga semakin menyadari peran penting kehadiran pemuda bagi bangsa ini. Sehingga wajar program-program kementerian semakin banyak yang mendelegasikan para pemuda untuk menjadi relawan ke desa-desa. Program tersebut terlihat sepele saat ini namun jika dilihat dampaknya untuk waktu yang akan datang sangatlah menjanjikan. Kekuatan pemuda disuatu bangsa tidaklah diragukan lagi. Di Indonesia sendiri sudah terbukti bahwa pemuda mendapatkan posisi dan peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa ini.

Beberapa contohnya ialah peristiwa “Sumpah Pemuda”, peran pemuda dalam kemerdekaan, dan satu lagi peran pemuda yang tidak mungkin dilupakan adalah kejadian reformasi Indonesia pada tahun 1998. Beberapa kisah itu dicatat dalam sejarah Indonesia yang menyatakan bahwa pemuda Indonesia memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa Indonesia.

Penulis juga merupakan salah satu relawan dari program salah satu kementerian yakni program “Patriot Energi” yang diselenggarakan oleh Kementerian ESDM. Adapun tujuan dari program ini merupakan jawaban atas penantian daerah-daerah pinggiran bangsa ini yakni pemerataan energi hingga ke pelosok desa. Tujuan selanjutnya ialah pemanfaatan energi yang dimiliki untuk meningkatkan modal sosial. Selama ini yang terbiasa berlangsung adalah pemerintah hanya datang ke desa-desa sebagai formalitas dan sekedar melihat kemudian pulang pada hari yang sama.

Hadirnya para tunas bangsa, pemuda-pemudi bangsa Indonesia, yang turut mengambil peran dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia merupakan hal yang ditunggu-tunggu masyarakat pedesaan. Pemuda hadir untuk mengembalikan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam mereka sendiri. Pemuda juga memantik untuk menyalakan kembali kearifan lokal dengan menggiatkan kembali gotong royong. Pemuda juga berbagi pengetahuan terkait potensi daerah dan cara pemanfaatannya. Pemuda hadir dan tinggal untuk waktu yang cukup panjang sehingga benar-benar mampu merasakan apa yang dialami masyarakat pedesaan dan bersama-sama dengan masyarakat berjuang menjawab kebutuhan masyarakat desa.

Penulis yakin langkah kecil ini apabila dilakukan berkelanjutan dan “massive” dampaknya akan luar biasa. Indonesia akan mampu menjawab salah satu tantangan utama yang diutarakan sebelumnya. Masyarakat akan mampu menjaga alamnya dari kerusakan yang mengancam masyarakat. Mengembalikan peran masyarakat yang hilang sebagai pelaku utama perekonomian.

Sebagai penutup, pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat setempat dan mimpi membangun bangsa dari pinggiran harus didukung oleh semua pihak. Setiap kelas, golongan, status masyarakat apapun harus menyadari manfaat gerakan seperti ini. Mengembalikan rakyat sebagai subjek utama pembangunan bukan sekedar objek atau pasar. Dengan begitu tidak lama lagi salah dua cita-cita Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 akan terwujud yakni “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”