Rico Ricardo Lumban Gaol
Tidak bisa
dipungkiri bangsa (cie ngomongin bangsa :P) kita masih jauh dari kata bersih,
rapi, apalagi transparan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan dikarenakan
masalah administrasi yang tumpang tindih dan tidak ada koordinasi antar
kepentingan atau birokrasi yang panjang, mutar-mutar, dan tidak ada ujungnya.
Tulisan ini
berawal dari cerminan dua hal yang pernah saya alami serta pengalaman mengenal
para penguasa dan pengusaha, penggerak sosial, serta melihat langsung di
lapangan. Setahun kemaren saya mendapat kesempatan untuk menjadi salah satu
koordinator program kementerian yang berinisial ehemmm. Adapun nama program
tersebut kalau disingkat yakni “PE”.
Di dalam
program tersebut setidaknya ada dua tim, yang pertama tim di lapangan sedang
lainnya sebagai koordinator yang bertempat tinggal di pusat sebut saja di
Jakarta. Masing-masing memiliki peranan yang cukup penting untuk mencapai
tujuan yang sama.
Sekedar
untuk diketahui, program tersebut sudah berlangsung selama dua periode. Periode
pertama saya dan 79 teman saya jadi peserta yang ada di lapangan, sedang
periode kedua saya dan beberapa teman lainnya diminta untuk membantu tim
koordinator di Jakarta.
Bagian yang
menarik untuk dibahas ialah terkait peran dan fungsi awal koordinator. Sederhananya
bisa disebut sebagai “penghubung” kali ya? Bagian konsep dan pengaturan yang
bisa menghubungkan antara berbagai pihak baik secara vertikal maupun horizontal
merupakan tujuan umum adanya koordinator. Namun sangat disayangkan kenyataannya
tidak semudah mendefinisikannya.
Kurang lebih
dua bulan kami selaku koordinator hanya melakukan pekerjaan administrasi.
Mungkin agak lebih masuk akal jika itu berhubungan dengan periode kegiatan atau
masa program yang sama. Kenyataannya kami melakukan “Pertanggungjawaban”
kegiatan tahun sebelumnya. Perlu dipertanyakan apakah benar program periode
sebelumnya belum tuntas segala syarat dan prasyarat serta “tetek-bengeknya”?
Tidak
mungkin tidak! Begitulah keyakinanku, hanya saja karena birokrasi yang saya
katakan terlalu berbelit-belit, panjang, dan mutar-mutar serta tidak ada
ujungnya alhasil segala sesuatu yang telah diurus oleh koordinator periode
sebelumnya, tidak dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban. Apakah karena
tidak sesuai koridor, atau tidak sesuai standar? Tentu hal itu tidak mungkin
karena semuanya bisa dikomunikasikan pada saat periode program sebelum
dilaksanakan atau paling tidak saat periode program berlangsung.
Pengalaman
berikutnya dalam beberapa minggu terakhir ialah saya menemukan kenyataan di lapangan
terkait dampak birokrasi yang gila dan administrasi yang tumpang tindih. Salah
satu contoh sederhananya ialah terkait form isian yang berhubungan dengan
kenyataan di lapangan. Pihak A memiliki kepentingan A, pihak B memiliki
kepentingan B, dan begitu seterusnya. Seakan tidak ada bagian koordinasi sehingga
semua pihak yang berkepentingan membuat keadaan dilapangan semakin kacau.
Sementara
kenyataan di lapangan, maaf bukan bermaksud merendahkan, masih banyak informasi
yang sampai di lapangan belum disederhanakan. Apakah birokrat yang ada tidak
bisa melihat perbedaan keterampilan di hierarki paling atas hingga paling
bawah? Bukannya perbedaan keterampilan atau kemampuan SDM tersebut yang
membentuk hierarki yang ada? Entahlah, mungkin birokrat punya prinsip tidak mau
tahu yang penting konsep sudah dibuat lalu lemparkan saja ke bawah, “top-down
method”.
“Masyarakat seharusnya sebagai pelaku bukan sebagai budak!”
Peran yang
dimaksud masyarakat sebagai “pelaku” dan bukan sebagai “objek” pasar saja kini
dinodai dengan menjadikan masyarakat sebagai buruh di tanahnya sendiri, bisa disebut
buruh uang dan bisa juga disebut sebagai budak korporat dan birokrat. Masyarakat
hanya melakukan kepentingan pemangku kekuasaan. Masyarakat “ditumpahi” segudang
uang tanpa pendidikan dan fungsi kontrol untuk menjamin apakah berjalan atau
tidak dan tidak memantau bagaimana proses keberlanjutannya.
Memang
sama-sama masyarakat yang harus melakukan. Hanya saja letak perbedaannya ialah,
masyarakat saat ini masih sebagai objek pasar dari para pemangku. Yang dimaksud
masyarakat sebagai pelaku ialah bahwasanya merekalah yang mengelola semua yang
ada di sistem yang berlangsung di masyarakat. Mereka yang lebih tahu kebutuhan
mereka. Bukankah makna sederhana kesejahteraan ialah tercapainya segala kebutuhan
mendasar? Misalnya pangan, masyarakatlah yang paling tahu makanan apa yang
sesuai dengan mereka. Tidak perlu memberikan perintah “Tanam Padi!” atau “Tanam
Jagung!” melainkan cukup perintah “Berdaulat Pangan!” karena beberapa di antara
masyrakat kita terutama daerah pedalaman nenek moyang mereka hidup berabad-abad
tidak dengan padi melainkan Sagu. Dampaknya? Sagu yang ada di sekitar mereka
terabaikan dan tinggal kenangan sedang mereka bersusah-susah menanam padi yang
bibitnya, pupuknya, dan pestisidanya dari kerjasama antara pemangku kebijakan
dan pemodal besar. Wow!
Masyarakat
tidak butuh poskamling! Tahukah birokrat dengan hal itu? Kenyataannya, karena
uang mereka berlimpah dan mereka pernah melihat ada bangunan yang bernama
poskamling, akhirnya mereka membangun akan tetapi tidak memfungsikannya karena
mereka memang tidak membutuhkan hal itu. Lalu di mana letak fungsi koordinasi
dan fungsi kontrol dari sistem hierarki birokrasi yang kita jalankan?
Percaya atau
tidak, sudah terbukti, selama administrasi yang tumpang tindih serta birokrasi
yang berputar-putar serta birokrat masih memakai “top-down method” saja, jangan
bermimpi bangsa kita menjadi bangsa yang rapi, bersih, transparan, apalagi
mandiri pun juga berdaulat. Semuanya tinggal mimpi hitam di atas kertas putih
saja.
Pandangan hemat dari pengalaman yang masih seumur jagung.
Borneo, 26 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar