Jumat, 08 Juli 2016

Menerima Tantangan



Gbr. Setelah melalui para pengemudi "off-road"

Tentang jutaan rasa atau tentang ketercapaian? Bingung harus mau menulis apa dan bagaimana memulainya. Biarlah tulisan kali ini kutulis tentang dua kata saja yakni “Menerima Tantangan”.

Sesuatu yang tak kusangka-sangka dan jauh dari prediksi bahkan tidak masuk dalam rencana awal. Namun, kujadikan ini sebagai tantangan. Sebab rencana awalku hanyalah mencoba menginap di pinggiran hutan Cikole, Jawa Barat. Lalu pada tanggal 3 Juli aku mencari teman lewat semua media sosial yang kupunya. Sampai pada tanggal 5 Juli tidak ada satupun yang bersedia untuk bergabung di tanggal itu, yakni tanggal 7-8 Juli, tapi kalau setelah tanggal 10 ada banyak yang mau, aku sendiri yang tidak bisa selain pada tanggal itu. Ini menjadi tantangan pertamaku, aku akan “camping” sendiri di hutan.

Tanpa berpikir lebih lama, kuputuskan untuk tetap berangkat. Kusiapkan apa saja perlengkapan yang kubutuhkan. Pada tanggal 6 Juli semua perlengkapan sudah lengkap, beberapa diantaranya merupakan hasil pinjaman dan sebagiannya lagi milik sendiri. Dan ada beberapa bagian kulengkapi, kubeli, saat perjalanan tanggal 7.

Tanggal 7 Juli


Aku berangkat pagi jam 10 kurang dari Cisitu Indah ke terminal Ledeng. Karena masih dalam suasana lebaran kondisi jalan sangat ramai. Untunglah hanya tertahan kurang dari 2 jam di jalan. Yang selanjutnya aku makan dan kemudian berangkat lagi menuju Lembang. Syukurlah jalan ke Lembang tidak melalui jalan utama, melainkan jalan potong Ci Jengkol, baru tahu ternyata ada jalan potong. Sekitar 30 menit aku telah sampai di pasar Lembang.

“Dek, sudah sampai,” kata supirnya.

Aku terbengong. Setahuku dari pasar lembang ke Cikole masih jauh.

“Mau lanjut naik mobil atau jalan kaki?” tanya supir itu yang semakin membuatku bingung.

“Hmmm... Jalan kaki saja, Pak,” jawabku.

“Adek lurus aja, sekitar 2 km dari sini,” tambahnya.

Di dalam benakku, berjalan dua kilometer melalui aspal mungkin akan memakan waktu 15 menit. Setelah kubayar ongkosnya, akupun langsung berjalan. Kususuri jalan itu dan sudah melebihi 15 menit tetapi aku belum sampai juga. Dan ternyata tidak jauh lagi kulihat aku sudah berada di kaki hutan. Aku semakin bingung. Aku masuk melalui gapura yang bertuliskan “Selamat Datang di Wana Wisata LHI Jayagiri”.


“Mau ke mana, Dek?” tanya orang tua yang duduk tak jauh dari gerbang masuk tadi.

“Mau nanya, Kek. Kalau mau ke Tangkuban Perahu lewat mana?” tanyaku dengan senyuman yang penuh kebingungan.

“Oh, dari sini bisa, jalan aja sekitar 4 kilometer. Tapi bayar dulu, 7.500 rupiah,” jelasnya.

Kemudian aku bingung dan sembari berjalan menuju arah yang ditunjuknya yakni hutan Jayagiri. Aku berjalan secepat-cepatnya. Mengumpamakan diriku sebagai “Trail-Runner”. Aku masuk hutan tanpa memegang peta apalagi kompas. Tentu saja aku semakin bingung. Tiba di percabangan pertama. Jalan mana yang akan kupilih? Seandainya ada peta, mungkin aku sedikit lebih aman. Kupilihlah jalan ke kiri. Dengan resiko jika salah jalan aku harus kembali ke percabangan pertama.

Sepanjang jalan kepalaku bertambah besar, entah apa yang membuat kepalaku besar apalagi apabila bertemu percabangan. Mungkin rasa takut yang murutku wajar. Seorang diri masuk hutan. Menyusuri jalan tua yang sudah tidak ada jejak kaki sedikitpun. Hanya terlihat itupun terkadang saja ada jejak motor “off-road”. Hanya itulah sedikit tanda yang membuatku tenang, kucium seperti jejak baru. Namun, jejak itu perlahan hilang setelah kutemukan percabangan yang kesekian kalinya.

Entah sudah berapa puluh menit kutelusuri hutan itu, entah apa pula dasarnya aku tidak mengikuti jejak “off-road” yang terakhir. Aku cukup mengikuti jalan lama yang bentuknya berlobang dan berlumut. Membuatku sadar bahwa mungkin telah ada jalan baru. Mungkin beberapa percabangan tadi salah satunya. Tapi dengan keyakinan itu kepalaku kembali normal dan aku fokus kepada apa yang ada di depan yakni tujuanku, Cikole.

Sejam berlalu. Memilih mundur atau lanjut adalah dua pilihan yang tidak mudah bagiku. Di tengah hutan belantara. Hanya ada aku dan suara burung serta percabangan yang meragukan. Satu ke arah kanan, bersih. Satu ke arah kiri, menanjak. Dan satu lagi, jalan yang kutempuh, lurus dan berlubang serta berjamur. Hanya itu yang bisa kutulis. Tak ada tulisan yang bisa mewakili rasaku saat itu.

Suara anjing yang meraung mengalihkan perhatianku dari yang awalnya mengikuti alunan nafasku, kini mencari sumber suara anjing yang kian semakin mendekat. Ternyata, suaranya memang terlihat semakin mendekat tapi bentuknya, wujudnya, tidak terlihat. Kuanggap, di dalam benakku, itu anjing berburu yang mungkin sedang mengejar buruannya. Akupun tetap fokus pada jalanku dan kembali ke detak jantungku. Aku tak mau tersesat oleh pikiran-pikiranku yang negatif terlebih yang aneh-aneh.

Mungkin sudah satu setengah jam aku berjalan kencang sekencang-kencangnya. Dan, kulihat ada satu gubuk kecil dan beberapa motor “off-road”. Astaga, mungkin inilah motor yang tadi yang menuju ke kanan di percabangan terakhir.


“Punten, kalau ke simpang utama tangkuban perahu ke arah mana ya, Kang?” tanyaku ke mereka.

“Oh, ikutin saja jalan berbatu ini. Nanti kalau ketemu perempatan, ambil ke kiri,” jawab salah dua orang dari mereka sembari melihatku dengan aneh dan mungkin ingin bertanya dari mana, tapi aku langsung berangkat. Sebab yang ada dipikiranku saat itu, aku harus sampai jam 2 ke cikole. Padahal jam 2 hanya tersisa beberapa menit.

Akupun melanjutkan perjalananku mengikuti petunjuk mereka. Sekitar 10 menit aku berjalan, mungkin sudah hampir 2 kilometer. Aku berhadapan dengan pertigaan. Seingatku tidak ada pertigaan yang disebutkan mereka tadi. Aku mengamati satu persatu arah jalan yang ada. Kemudian aku melihat tanda panah ke kiri. Sebenarnya aku tidak yakin itu tanda panah ke arah tujuanku atau tidak. Tapi tak ada pilihan lain. Aku memilih untuk berbelok ke kiri.

Dan, di sini ada dua pertigaan lagi. Yang masing-masing memiliki tanda panah. Persis seperti di pertigaan tadi. Dan bahkan ketika aku menoleh ke belakang, akupun melihat ada tanda panah ke arah dari mana aku datang tadi. Karena mundur bukan pilihan, maka aku memilih ke kiri. Setidaknya aku hanya berputar-putar kalaupun memang tersesat.

Kulihat jam tanganku menunjukkan sekitar setengah 3 kurang, aku dihadapkan dengan perempatan. Awalnya kupikir perempatan itu adalah aspal. Kenyataannya jalan tanah yang berukuran besar. Dan keempatnya jalan besar yang dilalui mobil “off-road”. Di benakku pastilah kalau pada dasarnya aku tersesat, sudah dari awal aku akan tersesat. Tapi kali ini aku menar-benar bingung karena perjalananku sudah sangat jauh. Aku memilih jalan yang agak ke kanan, atau agak ke kiri atau bahkan yang dekat di sisi kiriku. Perempatan yang ada bukan merupakan sudut 360 dibagi 4 seperti perempatan di kota-kota. Hmmm, karena naluri menunjukkan bahwa ini adalah percabangan terakhir, bukan menjawab keraguan tetapi menghilangkan keraguan, aku tidak takut untuk kembali jika memang itu yang harus kutempuh. Aku memilih sebelah kiri yang paling dekat denganku.

Jam 3 kurang, setelah berjalan hampir 30 menit, aku bertemu pertigaan dan kali ini aspal, sepertinya baru diaspal. Aku mulai tersenyum. Dengan mudah aku memilih sebelah kanan. Sebab kemungkinan sebelah kiri adalah jalan menuju Tangkuban Perahu, terlihat menara signal. Benar saja, 30 menit aku berjalan ke kanan terdengar suara mobil di depan, jalan utama. Akhirnya aku melewati tantangan kedua. Menyusuri hutan yang sama sekali bukan rencanaku dan belum pernah kulalui sebelumnya.

Belum berakhir sampai di situ. Itu "hanya" perjalanan menuju tantangan utamaku yakni menginap sendiri di hutan Cikole. Namun, untuk yang ini akan kutulis di tulisan berikutnya dengan judul “Menaklukkan Diri”.


Semesta menjawab tantanganku!
Cikole, 7 Juli 2016.

Rabu, 06 Juli 2016

Jangan Kau Baca!!!


Tak Cukup Menjadi Religius!

“Kenistaan yang terjadi tak lain karena kaum religius yang tidak memiliki nilai spiritual.”
Betapa lantangnya seseorang yang di hadapanku sore itu berkata demikian. Tentu pikiranku sontak melayang entah kemana. Seakan aku pernah meyakini hal yang sama. Oh yah, tak lama, hanya hitungan detik jiwaku mengarahkanku ke media sosial yang berinisial FB. Aku pernah dan bahkan belum kuganti hingga saat ini yang tertulis di kolom “About” bagian “Religious Views”.

“Jangan sebut aku punya agama kalau agama itu memisahkan kita. Sebab Dia menciptakan kita bukan beserta agama, melainkan KASIH. Jadi kalau aku punya agama dan kamu punya agama, tapi agama itu justru digunakan sebagai alat pemisah, lebih baik tidak sama sekali. Jadi dari sekarang sebut saja aku sebagai orang Kristen, sebab aku yakin Kristus hadir dalam diriku setiap saat. Bukan atas nama agama yang anda tangkap. (maaf kalo ada yang kurang sopan, ini menurutku, peganganku) I JESUS YOU.”

Berat bagiku mengulik bagian ini sebab tidak bisa dipungkiri akan ada pro-kontra. Tetapi aku menguatkan diriku kepada nilai yang ingin kusampaikan bukan pada hasil. Jika ingin frontal, sikapilah dengan dewasa, kedatangan Nabi pun masih ada pro-kontra hingga saat ini, dan bahkan keberadaan Tuhan pun begitu. Maka hanya sedikit takut yang tersisa dan keberanian yang membawaku ke topik ini.

Akupun mendalami sembari mengamati dan mengalami segala yang bergerak di sekitarku. Tentu saja, kutemukan seorang religius lebih besar peranannya terkait agamanya dan di luar itu dia akan lupa bahwa dia seorang manusia. Entah akan ada yang akan menyerangku setelah ini atau tidak, koreksi aku kalau aku salah, manusia diciptakan, bagi yang percaya bahwa manusia diciptakan, disertai dengan akal-budi. Ialah yang mampu membuat gelisah, yang membuat tenang, yang mampu melihat keindahan, yang tahu tentang agama, yang mampu “merasakan” banyak hal lainnya.

Lantas aku menelaah lebih dalam benda apa itu spiritual dan mengapa begitu penting peranannya menurut beliau. Kucari dan selalu kucari. Kulihat, kupelajari, kudengar, dan kupelajari hingga tulisan ini ada. Kutemukan kebenaran yang kuyakini bahwa orang-orang yang religius belum tentu memiliki nilai kejiwaan yang hakiki. Dan jiwa itulah yang disebut sebagai spiritual. Sehingga dengan yakin aku menyimpulkan seseorang yang nilai spiritualnya tinggi tentu dia seorang religius. Karena sesungguhnya spiritual itu bercerita tentang kebatinan, kejiwaan, dan kerohaniaan. Mengingatkanku pula pada apa yang pernah kubaca dan kuyakini dia adalah seorang yang memiliki nilai spiritual “Why are you depressed, o my soul? Why are you upset? Wait for God!”

Mudah saja untuk melihat orang-orang religius yang tidak melekat nilai spiritualnya. Pada ajaran yang kuyakini ada perintah untuk mengasihi sesamaku manusia, dan itu tidak menarik untuk kutulis. Aku ingin menulis tentang perintah untuk mengasihi musuh. “Jika ditampar pipi kanan, berikan juga pipi kiri.” Berbuat baik kepada musuh dan turut membawanya kedalam doa. Hahhhhh jangankan melakukannya, mengingatnya saja tidak ketika ada yang tidak suka dengannya. Semisal ada yang memaki, sontak akan memaki kembali. Apakah orang yang memaki ulang itu tidak religius? Tentu tidak. Hanya saja ia tidak mampu mengimplementasikan apa yang diyakininya. Sebutlah spiritualnya masih rendah.

Bagiku religius tentang kepintaran, tetapi spiritual tentang rasa; tentang jiwa. Seorang religius mengetahui banyak hal tentang kitab-kitab tetapi tidak mampu menerapkannya maka yang ia lakukan hanyalah ritual semata. Seorang religius menyalin apa yang tertulis sebagai “quote” tetapi mengabaikan jiwanya maka ia sedang menghafal dan semua sekedar teori. Seorang religius terjebak pada kotak simbol dan cara-cara sedang seseorang yang memiliki nilai spiritual mampu melihat hakikatnya.

Seorang religius akan dengan yakin berkata bahwa agamanya adalah agama yang paling benar dan kitabnya adalah kitab yang terbaik. Seorang spiritual akan berkata bahwa manusia sama-sama diciptakan oleh pencipta. Tentu saja bahwa manusia memang diciptakan oleh pencipta. Masak iya aku tahu diciptakan oleh Tuhan yang beragama Kristen, kamu tahu diciptakan oleh Tuhan yang beragama Islam, mereka diciptakan dewi bulan, sebagiannya diciptakan dewa matahari? Itu hakNya.

Jika percaya bahwa surga neraka itu ada, benarkah ada kaum yang direncanakan akan diciptakan sebagai penghuni neraka atau penghuni surga? Entahlah! Ada Indonesia, ada Amerika, ada Arab, ada Jawa, ada Nias, ada Minang, ada Cipit, ada Mancung, ada Keriting, dan perbedaan lainnya. Ada yang tidak memiliki mata, ada yang hanya satu kaki, ada yang tidak bernafas sebelum keluar dari rahim ibunya. Siapakah diantara mereka penghuni surga? Siapa pula penghuni neraka? Bukankah hanya pencipta itu sendiri yang tahu siapa yang layak dan siapa yang tidak layak?

Lalu bagaimana jika surga dan neraka seperti salah satu lagu rohani yang menyentil kaum religius, aku sebut sebagai kaum religius sebab kaum spiritual percaya bahwa urusan surga dan neraka bukan urusan yang diciptakan, benar-benar tidak pernah ada? Benarkah kita umat yang beragam ini masih percaya dan menyembah pencipta kita? Masih kah kita takut kepadaNya? Masihkah kita cinta kepadaNya?

Kaum religius akan melarang anaknya untuk tidak mencuri karena pencuri nanti akan masuk neraka. Kaum spiritual akan memberitahu anaknya tentang derita yang dialami oleh korban pencurian dan derita itu pula yang tidak bisa dipungkiri, tidak dapat dielakkan, akan diterima oleh si pencuri, entah itu upahnya neraka atau langsung seperti dihakimi warga sekitar atau bahkan dipenjara.

Kaum religius akan berkata “Hanya dengan percaya kepada Dia dan hanya melalui Dialah kita masuk surga”, sedang kaum spiritual akan berkata, “Tak usah kita muluk-muluk berjuang untuk sesuatu yang tak tampak oleh kita, kalau sesama kita saja yang tampak oleh kita tak kita kasihi!” Akupun setuju barang siapa berkata mengasihi Tuhannya, tentulah dia juga mengasihi sesamanya. Maka jika ada yang berkata “AKU CINTA TUHAN” tetapi ia menghancurkan sesamanya, itulah religius tingkat tinggi. Sebab seorang yang memiliki nilai spiritual akan menambahkan “DAN CIPTAANNYA”. Barang siapa memilah dan memisahkan manusia A, manusia B, dan manusia Z, juga merupakan kaum-kaum religius. Karena kaum spiritual tidak mampu memilah manusia. Bagi mereka manusia adalah manusia itu sendiri.

Maaf bukan tentang benar dan salah. Hanya bercermin dari nista yang ada. Mari sama-sama mengoreksi diri sendiri. Dan ini bukan tentang teori karena teori sudah ada di mana-mana melainkan tentang sesuatu yang sudah terjadi dan mungkin akan terjadi. Entahlah! Qalbu-ku berbisik, aku sudah melangkah di jalan yang seharusnya. Dan aku sudah bisa tidur.

Rabu, 29 Juni 2016

Pengalaman Menempaku

Ibarat rantai besi, tidak serta merta rantai yang kita lihat sudah seperti itu bentuknya sedari awal. Yang kita lihat merupakan rantai yang ditempa melalui proses demi proses.
Adalah sebuah proses melalui penambangan terlebih dahulu. Kemudian biji besi yang dihasilkan dibakar pada suhu yang tinggi dan bahkan sangat tinggi. Di dalam tabung pembakaran mengalami proses pembersihan atau penguraian kotoran yang ada. Setelah itu dihasilkanlah yang disebut kepingan besi.

Belum berakhir sampai di situ saja. Untuk menjadi rantai maka kepingan besi harus melalui proses pembakaran lagi. Selanjutnya diberikan tekanan dan pukulan. Dan pada akhirnya dibentuk dengan terus melakukan proses demi proses. Hal inilah yang disebut proses menempa.

Pun kehidupan setiap orang dapat diumpamakan seperti itu. Segala sesuatu yang dialami manusia ialah proses penempaan menuju pribadi yang kuat dan tentunya untuk bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Setidaknya sadar bahwa bumi tidak hanya dihuni oleh makhluk yang bernama manusia. Bukankah masih ada pepohonan dan tumbuhan lainnya? Masih ada bebatuan, tanah, hewan, dan masih banyak lagi yang ada di bumi ini termasuk air.

Melalui pengalaman setiap manusia, yang aku rasakan, sedang ditempa menjadi manusia yang seharusnya manusia, manausia bukan sekedar hidup lalu mengabaikan yang lainnya. Manusia bukan hewan yang tidak menggunakan empatinya. Sedang hewan tidak sehina itu, karena hewan masih peduli dengan kawanan dan keluarganya. Aku menjadi berpikir ulang untuk melakukan atau membuang sampah sembarangan. Berpikir lebih keras ketika makanan yang dihadapanku tidak kuhabiskan. Berpikir panjang saat aku tidak menghargai orang yang sedang berbicara. Mencoba lebih menghargai lingkungan sekitar dengan tidak mencemarkannya.

Aku sendiri sedang berusaha menghargai apa yang kumiliki, bukan mencari apa yang belum kumiliki. Aku tahu kebutuhanku, dan aku sadar yang kulakukan. Oleh karena itu aku selalu berusaha tampil dengan apa yang kumiliki dan mengucap terima kasih ternyata aku masih diberikan sesuatu untuk kumiliki. Tampil setelah melakukan atau dari hasil refleksi diri dan dengan tujuan berbagi bukan pamer. Fokus pada bagian memberi sebanyak-banyaknya, bermanfaat, bukan hanya memikirkan apa untungnya bagiku. Namun, aku tak pernah berpikir untuk berbagi setelah memiliki A, Punya B, atau C terlebih dahulu. Selalu berjuang untuk hidup. Kupahami aku bertahan hidup bukan karena takut akan mati atau kematian. Tetapi karena keduanya merupakan satu bagian utuh.

Terima kasih untuk setiap pengalaman yang ada dan akan ada.

Senin, 27 Juni 2016

Integritas



“Mau belajar? Belajarlah dari teori-teori yang ada! Tapi ingat, integritas bukan sekedar teori,” Andrian Gostik & Dana Telford.

Ada banyak teori yang bertebaran mengenai integritas di era sekarang ini. Cukup dengan mengetik kata “integritas” di kolom fungsi pencarian dari telepon genggam atau “gadget” lainnya maka kita akan mendapatkan hasilnya. Namun, apakah masalahnya selesai? Tentu tidak. Integritas tidak semudah mengucapkan namun tidak sesulit yang ada dipikiran. Pilihannya hanya ada dua yakni mau atau tidak.

Sederhananya, integritas itu kesesuaian antara nilai-nilai yang ada, yang diucapkan, dengan tindakan. Tindakan di sini bukanlah tindakan ketika orang sekitar melihat. Karena di dalam (maaf) toilet pun integritas itu seharusnya berlaku. Sehingga penting disadari bahwa teori hanyalah tangga pertama untuk memahami sesuatu dalam hal ini integritas. Dan kedua ialah kesadaran akan pentingnya integritas, yang selanjutnya ada penanaman nilai-nilai integritas tersebut ke dalam diri. Terakhir dan yang paling penting ialah melakukannya.

Bagi seseorang yang sudah memiliki integritas itu maka dengan mudah ia berkata bahwa dia tidak lagi butuh sebuah teori, dia juga tidak butuh ketenaran, dia yakin bahwa integritas ialah jalan yang harus ditempuh. Jadi, tak ada yang perlu didefinisikan atau dipamerkan, cukup dijalani dengan sungguh-sungguh dan berkelanjutan.

Berbeda dengan lingkungan kita saat ini, sebut saja di negara Indonesia. Di Lingkungan kita sendiri integritas itu dianggap sebagai keset. Contohnya ialah ketika seorang anak sedang melaksanakan ujian. Anak itu punya pepatah bodoh dan diyakini oleh kebanyakan orang bahwa mencontek itu boleh asal tidak ketahuan. Sama saja dengan moto yang bernada serupa yakni mencuri itu tidak apa-apa asal tidak ada yang melihat. Miris ketika mendengar pernyataan itu. Integritas itu tidak berbicara tentang mata kawan! Melainkan hati! Camkan itu baik-baik di dalam hati kita masing-masing.

Integritas itu bukan tentang nilai seperti nilai 90 dari 100, melainkan tentang sikap dan perilaku. Integritas bukan hanya di organisasi, bukan pula di dunia pendidikan saja, bukan terkotak berlaku di pemerintahan, tetapi di segala aspek kehidupan, di kehidupan sehari-hari dan di segala tempat disepanjang waktu.

Integritas juga berlaku ketika kita berteman, ketika kita makan, ketika di lingkungan kerja, ketika di kamar, ketika di dalam angkutan umum. Ketika di jalan, pun ketika hidup bersama masyarakat apalagi ketika mengemban tugas sebagai wakil masyarakat yang katanya ingin mengembangkan potensi lokal demi mendukung terwujudnya salah dua cita-cita negara Indonesia yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub di Pembukaan UUD 1945.

Terakhir sebagai penutup, ketahuilah sesungguhnya seseorang yang telah mengetahui akan sesuatu yang baik dan bermanfaat tetapi tidak dilakukan merupakan salah satu bentuk atau ciri seseorang yang tidak memiliki integritas.