Sabtu, 25 Juni 2016

Bukan Satu atau Dua



Bagi ibu pertiwi tak ada patriot satu atupun patriot dua. Patriot ialah mereka-mereka yang mampu memberikan jiwanya dan hatinya dengan sungguh-sungguh. Totalitas jiwa!

Terkadang level terkesan memisahkan, entahlah. Padahal itu hanya sebuah angka yang datang dari kesepakatan untuk mempermudah mengenal. Tapi, tak bisa dipungkiri, hal itu berefek kepada setiap orang yang mendengarnya, contohnya patriot angkatan atau yang diberangkatkan pertama dan patriot yang akan diberangkatkan kedua.

Selama pelatihan, seakan ada yang memisahkan antar angkatan. Bukan tentang materi atau teori yang didapatkan, karena memang kebutuhannya berbeda. Namun, lebih ke sikap dan perilaku. Untuk mempermudahnya sebutlah angkatan pertama sebagai P1 dan angkatan dua sebagai P2.

Dari beberapa kegiatan yang sering terlihat ialah P1 menganggap dirinya paling berpengalaman. Ada keangkuhan muncul dalam diri mereka ketika berhadapan dengan P2. Terpancar jiwa membedakan yang dialaminya dengan yang dilihatnya. Pun P2 memandang P1. Seakan P1 menjadi anak emas dan yang paling baik dari setiap pemateri bahkan induk semang atau bahkan penyelenggara, menurut kacamata P2. Perbandingan menjadi bom peledak. Padahal, seharusnya perbandingan itu hanyalah landasan untuk terus tumbuh.

Kedua angkatan ini, baik P1 terhadap P2 maupun sebaliknya, semakin hari terlihat semakin terpisah. Bahkan ada beberapa yang sebelum mengikuti patriot ini adalah sahabat sekarang mereka menjadi tidak nyaman. Aneh bukan? Pergerakan ini sebenarnya mati tanpa orang-orang yang di dalamnya. Dan jika orang di dalamnya pecah, apa jadinya patriot ini? Apa akhirnya pergerakan ini?


Usia hanyalah usia. Bukan dari besarnya angka atau banyaknya rambut yang memutih membuat orang dihormati, melainkan seberapa banyak garam yang ditabur, seberapa sering dia bermanfaat bagi sesamanya.


Lagipula, mengapa harus saling menganggap negatif? Mengapa tidak berkolaborasi? Bukankah  semboyan Indonesia “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” sudah cukup menjadi pegangan? Ketahuilah bahwa sesungguhnya tanah tumpah darah kita, Ibu Pertiwi, tidak berharap atau bahkan tidak peduli kita patriot satu atau patriot dua. Penantian hingga saat ini ialah sentuhan lembut dari kasih sayang kita semua.

Masih banyak hal yang harus kita lakukan bersama-sama. Terlalu sayang waktu yang singkat ini dihabiskan hanya untuk saling menyakiti. Lebih baik bergandengan tangan, saling menguatkan, saling melengkapi, membangun Indonesia yang lebih baik untuk kesejahteraan bangsa, untuk kemanusiaan.

#Patriot! #SiapMembangunBangsa!

Jumat, 24 Juni 2016

Membunuh atau Diinjak



Hewan tetaplah hewan. Ia tak peduli siapa dan dimana, selama kehidupannya terganggu selama itu ia meraung. Dilema bagai buah simalakama hanyalah milik insan, manusia, biasa.

Menurut kisahnya bahwa gajah di Kalimantan Utara yang disebut sebagai “Nenek” oleh orang lokal sangat sering masuk desa. Masyarakat sangat terganggu dengan kehadiran gajah tersebut. Dikatakan bahwa kedatangan Nenek biasanya di bulan-bulan kering. Nenek akan datang dari hulu desa dan menjelajahi desa hingga ke hilir. Nenek akan menyebrangi sungai-sungai yang kering sembari mencari makanan. Tak sedikit masyarakat yang dirugikan dengan kondisi ini, terutama mental warga lokal.

Meskipun akhir-akhir ini Nenek sudah tidak pernah seberang ke desa yakni semenjak tahun 2013. Namun, masyarakat tetap waspada akan kedatangannya. Apalagi kalau sudah mendengar bahwa di hulu desa ditemukan jejak kakinya. Sungguh mental masyarakat akan terganggu bahkan sampai sukar untuk tidur. Sebab memang kedatangan Nenek tersebut sangat tidak terduga, tidak terasa langkahnya.

Syukurlah dahulu masih banyak dari masyarakat setempat tahu dan sadar bahwa gajah pun makhluk hidup dan mereka butuh makan untuk hidup. Namun, saat ini kondisi berbeda. Lingkungan mereka telah terusik baik keamanan gajah maupun masyarakat setempat. Mengapa? Tak lain dikarenakan beberapa perusahaan mulai bermasukan seperti perusahaan sawit, akasia, tambang, dan lainnya menguasai daerah mereka.

Dari beberapa kali terakhir gajah masuk ke desa, tak lagi sekedar lewat, gajah itu masuk dan memorakporandakan pedesaan. Warga hampir tidak bisa dan tidak tahu harus berbuat apa-apa. Apalagi mereka juga tahu bahwa membunuh gajah, hewan lindung, merupakan bentuk pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku di negara ini, Indonesia.

Ironis mendengar cerita itu. Warga lokal yang sangat menjaga alamnya, mereka terkena dampaknya karena perbuatan dan keserakahan pendatang. Kini yang terjadi para kaum beruang, berduit, semakin merajalela mengusik kehidupan yang ada di sana. Rumah kenyamanan gajah terusik, gajah mengusik perumahan desa, sedang masyarakat setempat hanya bisa duduk dalam diam karena dilema. Sering mereka melaporkan kejadian itu ke pemerintah setempat bahkan ke salah satu organisasi pemerhati lingkungan. Namun, tanggapannya negatif. Tidak ada respon, begitu kata mereka.

Terkadang mendengar cerita mereka, timbul pertanyaan tebersit di kepala entah sampai kapan mereka sabar dengan kondisi itu? Semoga saja sampai masalah itu tertangani. Entahlah. Namun, sudah selayaknya ada solusi dari mereka-mereka yang menganggap bahwa hewan itu harus dilindungi.

Pernah juga ketua adat berkata “Membunuh atau Diinjak” tidak ada bedanya, saking seringnya merasa terganggu oleh kehadiran gajah ke desa. Mungkin mereka tinggal menunggu. Entah menunggu tindak lanjut dari yang berwenang agar kedua hal itu terjadi atau memang menunggu tiba waktunya salah satu dari kedua pilihan itu terjadi. Pastinya kedua pilihan itu tidaklah mudah bagi mereka.

Terkadang miris mendengar cerita mereka ketika banyakd ari pemerhati hewan lindung berkata #SaveGajah #SaveHewanLindung. Namun tidak berkata #SaveHuman. Padahal kedua-duanya sama-sama objek yang menjadi korban atas keserakahan orang-orang berduit, sebutlah pengusaha lahan sawit dan perusahaan lainnya.

Lantas sudah adakah kebijakan yang benar-benar bijak untuk hal itu, untuk mereka yang terganggu? Sudah adakah kebijakan yang layak bagi mereka para pengusaha? Entah ada atau tidak adanya pengusaha si gajah tetap masuk desa, yang pasti kehadiran mereka menjadi katalis keresahan gajah dan masyarakat setempat. Hal ini harus sesegera mungkin ditindaklanjuti.

#SaveGajah #saveHuman #SaveVillage

Pasti ada pilihan terbaik selain “Diinjak” atau “Membunuh”.

Hilir desa, Desa Sekikilan, Kalimantan Utara.

Kamis, 23 Juni 2016

Matahari dan Hujan



Aku mengumpamakan, dari rangkuman hasil perbincangan dengan beberapa orang, matahari sebagai lambang sumber bahagia sebab ia mampu mengendalikan gelap menjadi terang dan dingin menjadi hangat. Hujan sebagai lambang ratapan atau kesedihan sebab ketika ia datang banyak tangis yang mengerang hingga senyum menghilang. Meskipun kenyataannya kedua-duanya ialah anugerah yang begitu besar maknanya, aku minta maaf untuk hal ini. Hanya untuk mempermudah memahami tulisan ini.

Sangat disayangkan ketika hari kita penuh dengan kesedihan, sukar kebahagiaan masuk ke dalam diri. Hal itu bagai goa. Goa tak mungkin mampu menerima cahaya sebab memang goa tertutup dan selamanya akan begitu. Sukar bagi manusia bangkit atau menerima sebuah nasehat atau cahaya yang ingin memberinya kehangatan jika manusia itu menolak untuk bahagia. Selamanya manusia akan dideru pedih jika ia tak mampu membuka hati.

Sesungguhnya cahaya selalu menantikan pintu yang terbuka. Sebab ia enggan untuk meronta memaksa diri. Jika pintu tidak dibuka maka cahayapun tak akan masuk ke dalam kamar. Pun kebahagiaan. Kebahagiaan layaknya cahaya. Ia selalu ada di hadapan setiap manusia. Tantangannya ialah manusia sudah terbiasa terlarut dalam kegelapan, dalam kesedihan. Sehingga mereka tak tahu ke mana tujuan mereka. Sedang berjalan dalam terang, kebahagiaan, saja masih banyak percabangan yang membingungkan, apalagi berjalan dalam kegelapan, kesedihan.

Kesedihan, yang melarut, mampu mengusir kebahagiaan. Ibarat awan hitam, ia mampu menutup pintu cahaya, meskipun kenyataannya cahaya selalu ada, tetapi ia tak mampu menyinari bumi. Bahayanya, awan gelap tak hanya mampu menutup cahaya, ia juga mampu mengundang kesedihan hingga tangis yang terisak. Bahkan rela mengabaikan bahagia hingga malam tiba, kegelapan datang lagi.

Hmmm memang terkadang ada hujan dan ada cahaya matahari yang berkejar-kejaran. Aku sendiri mengumpamakannya sebagai lambang kebingungan. Entah manusia menangis karena kebahagiaan atau bahkan manusia pura-pura bahagia padahal sesungguhnya ia sedang bersedih. Hanya manusia itu sendiri yang tahu. Dan semoga bukan yang kedua.

Sebagai pelengkap, masuklah dalam sedalam-dalamnya, seperti udara yang terhirup masuk ke seluruh tubuh. Terimalah sesungguhnya bersedih ialah hal yang wajar dan tak perlu menyembunyikannya atau bahkan sampai berpura-pura kuat, pura-pura bahagia. Pun terimalah, ketika bersedih tak perlu sampai melewatkan hari hingga berlarut-larut dan mengabaikan pagi yang menanti, seperti kebahagiaan yang selalu menanti masuk. Cobalah buka sedikit jendela kamar maka dengan cepat cahaya itu masuk dan membawa senyum kebahagiaan. Terlalu sayang hidup ini hanya dihabiskan untuk meratapi kegagalan atau kepedihan.

Dan tiliklah kembali bahwa ternyata baik matahari maupun hujan sama-sama sumber kebahagiaan dan lambang kehidupan. Mereka bahkan tidak peduli bagaimana manusia mendefinisikannya, tetapi mereka senantiasa berbagi dan tak kenal siapa yang akan mendapatkannya.

Rabu, 22 Juni 2016

Kenyamanan Itu Semu



Selama ini aku mencari kenyamanan jauh dari hadapanku. Tak jarang kutemukan tempat yang paling nyaman ialah hutan, gunung, sawah, lautan, dan alam terbuka lainnya. Pernah juga mendapat masukan dari teman tentang ciri dari nyaman itu ketika aku bertanya. Sempat kami mengaitkannya dengan hubungan seseorang. Tak sedikit di dalam suatu hubungan nyaman menjadi parameter. Merasa pasangannya sangat memberi kenyamanan, dan aku sendiri pernah mengalami hal itu.


Namun pertanyaan saat ini ialah, bisakah aku menemukan sesuatu yang membuatku nyaman dari lingkunganku? Aku sempat mencoba hingga berhari-hari. Tentunya aku membuat syarat agar aku bisa merasakan apakah benar inilah kenyamanan bagiku yakni bila aku menemukan satu bentuk, posisi, keberadaan, kenyamanan aku tidak boleh berpaling darinya pun berganti posisi jika memang posisilah yang membuatku nyaman.

Misalnya, aku pernah mencoba dalam hal duduk. Aku mencoba untuk bersandar dan memposisikan diriku senyaman mungkin dan sesuai syarat bahwa aku tidak boleh berpindah atau mengubah gerakan. Hasilnya? Aku tidak kuat. Sehingga posisi yang kuanggap diawal paling nyaman, ternyata malah membuatku tidak nyaman.

Setahun yang lalu aku juga pernah mencari kenyamanan di tengah hutan dan gunung. Pun, pernah ke pantai, ke sawah, dan ke pedesaan “Live In” hanya untuk mencari kenyamanan. Hasilnya? Memang aku tenang di sana, mendapatkan kenyamanan. Namun, seiring bergulirnya waktu, kenyamanan itu terbawa pergi menghilang bersama berlalunya malam. Inilah yang kusebut kenyamanan semu.

Lalu beberapa bulan terakhir aku mencoba untuk memaknai kenyamanan itu. Aku tidak mencari yang jauh di luar, aku masuk ke dalam diriku, aku bertanya sesungguhnya apa yang membuatku nyaman, jawabannya sangat sederhana, dimanapun aku berada, dengan siapapun aku berteman jika aku ingin nyaman dengannya, dengan kondisi apapun, jika aku sendiri memberikan rasa nyaman dari diriku untuk diriku, maka kenyamanan itu hadir, kenyamanan itu ada.

Dan setelah itu aku sering berbagi cerita kepada beberapa orang, untuk meyakinkan diriku,  bahwa kenyamanan itu sejauh dua jengkal. Untuk menemukan kenyamanan selamilah diri kita sendiri, dari pikiran hingga ke hati, sebelum memberi syarat atau mencari sesuatu yang ada di luar. Berbagai metoda pernah kucoba salah satunya dengan metoda yang menurutku posisi paling tidak nyaman jika dilihat oleh mata yakni menahan posisi kuda-kuda selama 4 menit, Viksana (posisi Yoga) dengan kaki penyangga ditahan ditekuk, dan bahkan pernah berbagi dengan posisi “headstand”.

Setelah itu aku meminta mereka untuk fokus ke diri mereka, bukan mengosongkan pikiran mereka, jauh ke dalam diri mereka dan mengikuti aliran nafas, setelah itu aliran darah, dan meminta mereka untuk merangkul dan menerima rasa tidak nyaman dengan mensyukuri anugerah yang ada dan selalu gratis yang setiap saat mereka hirup, yakni udara segar.

Apa hasilnya? Tidak sedikit yang berkata bahwa sungguh ketika bisa fokus dengan aliran nafas, detakan jantung, dan darah yang mengalir ke seluruh tubuh, mereka merasa nyaman dan sejenak ketidaknyamanan menjadi nikmat. Namun, banyak juga yang berkata belum mampu fokus. Wajar saja bagiku untuk yang tidak terbiasa dan belum mampu untuk memfokuskan diri. Terkadang orang yang menolak sesuatu yang tidak masuk akal, menurutnya, mereka tidak akan mampu mendapatkannya hingga mereka sendiri mau menerima dan mencobanya dengan sungguh-sungguh.

Sesungguhnya kenyamanan itu hanya sejauh dua jengkal yakni sejauh pikiran kita dan hati kita. Jika kita tak mampu masuk ke dalam diri kita, selama itu pula kenyamanan menjadi semu.

@ricolg

Selasa, 21 Juni 2016

Manusia Dewasa



Dia yang berdiri tetapi tidak meninggi
Dia yang merendah tetapi tidak hina
Dia yang terbuka bukan karena bodoh
Karena dia berjalan bukan sekedar jalan


Berawal dari satu pertanyaan konyol yakni perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa. HIngga saat ini aku melihat belum seorangpun anak-anak yang mampu merefleksikan kesehariannya, sesuatu yang dihadapinya, kehidupannya. Anak kecil selalu melihat apa yang terjadi dengan mata kepalanya. Semisal ia dimarahi ibunya, maka ia akan mengatakan ibunya pemarah. Kedepannya ia akan mendekati orang-orang yang tidak pernah marah. Akan menyebut ayahnya sebagai orang jahat ketika dibentak oleh ayahnya. Segala sesuatu perlu dihidangkan, disuap.

Sedang manusia dewasa seharusnya mampu sebaliknya. Mampu bercermin ke diri sendiri ketika terjadi sesuatu atau apapun yang dilihatnya terlebih yang menimpanya. Mampu melihat jauh ke dalam diri sendiri ketika mendapat amarah dari ibunya, ayahnya, lingkungan sekitarnya. Mampu melihat hal positif sekalipun hal buruk terjadi. Karena sesungguhnya seorang dewasa memiliki kemampuan untuk merefleksikan diri dari setiap kejadian yang ada disekitarnya.

Seorang dewasa tidak berdiri di atas tangga benar dan salah apalagi surga dan neraka, sesungguhnya tidak. Seorang dewasa tidak peduli arti kata, tidak lagi memerhatikan ketenaran, pujian, atau bahkan cacian. Ibarat pengembara, sekali dua kali ia mencari tahu arti dari kata berkelana. Mencari peta atau petunjuk menuju suatu desa, sebut saja desa “A”. Selanjutnya, esok hari jika ingin berkunjung ke desa tersebut, dia hanya akan berpikir, fokus, bagaimana perjalanannya berarti bagi setiap makhluk yang ada di sekitarnya dan mengabaikan arti kata berkelana sebab sesungguhnya dialah pengelana.

Bagi manusia dewasa pengalaman adalah ajaran. Mereka memahami bahwa nasehat berguna sebagai pelita bagi kakinya dan terang bagi jalannya. Mencoba bukan untuk bermain-main melainkan untuk mengetahui. Selalu berlatih karena sadar dengan melatih mampu menanam nilai yang ingin dimiliki. Selalu melakukan kini di sini bukan nanti di sana.

Terakhir, seharusnya seseorang yang mengaku dewasa mampu merefleksikan diri yakni melihat dan memaknai sesuatu hingga ke bagian terdalam dari suatu peristiwa, bukan hanya sejauh kemampuan mata.

@ricolg