Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Oktober 2016

Sajak Dalam Hening



Telaga Warna

Membiarkan dirimu hanyut dalam lelah hanya akan membawamu kepada kematian. Batu yang menghalangi tak pernah memilih siapa yang ada di belakangnya maupun di depannya, di sekitarnya.

Terkadang dan amat sering lelah datang menghampiri makhluk hidup. Hanya segelintir orang yang mampu bertahan terhadapnya, dan selebihnya hanyut. Di antara mereka yang hanyut hanya dalam hitungan jari yang mampu melewati derunya angin dan hempasan ombak. Sisanya mereka-mereka yang pulang tinggal nama.

Tidak, tidak perlu kuatir dengan seberapa banyak atau alangkah sedikitnya bagian-bagian dari mereka. Dari mereka semua kita bisa belajar. Bukan hanya dari orang-orang yang tidak merasa lelah. Bukan juga hanya dari mereka yang bisa melewati dan bangkit saat terjatuh, karena dari mereka yang tenggelam dan hilang ditelan waktu pun kita bisa belajar.
Prau, 8 Oktober 2016
Rico Ricardo Lumban Gaol

Jumat, 23 September 2016

Pemuda Pewaris Tunggal



“Negara kita pernah menjadi rebutan para penjajah tak lain karena melihat bahwa tanah dan air di negara kita adalah titisan surga.”
Pernyataan di atas merupakan pernyataan yang cukup mewakili bahwa sesungguhnya Indonesia memiliki potensi SDA (Sumber Daya Alam) yang tidak semua negara memilikinya. Ingin sekali menampilkan besarannya sebagai data-data pendukung tapi apa daya dari sisi lain tidak ingin menampilkan apa yang bukan hasil sendiri. Tidak ingin asal mencantumkan data-data yang sudah menjadi olahan pihak lain. Tidak ingin karena tidak tahu darimana data itu didapatkan, dengan cara apa, dan bagaimana validitas informasinya. Namun, para pembaca bisa dengan mudah menemukannya dengan hanya mengetikkan “Potensi Energi di Indonesia” pada kolom pencarian di “browser” yang ada di “gadget” pembaca. Tidak sulit pembaca untuk menemukan banyak data yang disediakan di sana.
Setidaknya ada berbagai sumber energi mulai dari yang tidak dapat diperbarui hingga yang dapat diperbarui, semua potensi tersebut ada di negara Indonesia. Dari kehadiran beberapa perusahaan besar di Indonesia cukup menjadi bukti bahwa data itu sesuai kenyataannya meskipun besarannya tidak ada yang tahu keabsahannya. Namun, meskipun Indonesia memiliki banyak potensi energi, hingga saat ini sumber energi fosillah yang masih sering digunakan dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
Inilah sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa serapan energi di Indonesia belum seimbang sehingga pembangunan belum merata dan masih banyak dari warga Indonesia yang berada di pelosok, yang tidak mudah dijangkau oleh sumber energi fosil, belum merasakan potensi yang ada. Sebuah fakta yang miris padahal Indonesia punya potensi lain yang cukup besar. Ini sungguh bukti nyata dari pepatah yang pernah ada yang berbunyi “Ibarat tikus mati di tengah lumbung padi”.
Apa yang membuat hal ini terjadi? Sebenarnya bukan para pembuat kebijakan tidak tahu kondisi nyata Indonesia dewasa ini. Namun, kebanyakan dari mereka tidak terlalu menitikberatkan dirinya pada dasar hidup bernegara sebagai pemangku kebijakan terutama bernegara Indonesia yang jelas-jelas semua termaktub di Pembukaan UUD 1945, Pancasila, dan pasal demi pasal yang tersurat di UUD 1945.
Hal ini sudah diwarisi entah dari sejak kapan. Perilaku konsumtif yang tidak terlalu memikirkan tetangganya dan masa depan anak-cucu kedepannya. Sesungguhnya sesuatu yang tidak dapat diperbarui akan habis seiring berjalannya waktu. Di lain sisi warisan yang tidak didapatkan masyarakat adalah kebanyakan masyarakat tidak tercerdaskan bahwa Indonesia punya potensi lain baik energi baru maupun energi terbarukan. Masyarakat masih terbuai akan nikmatnya energi fosil yang saat ini dan masyarakat tidak sadar bahwa semua itu hanya menunggu waktu.
“Dulu negara kita di atas awan, sekarang jauh di bawah bumi.”
Ada benarnya dan memang kita tidak bisa berkata “tidak” bahwa Indonesia memiliki posisi ternikmat dikarenakan SDA yang dimiliki. Hal itu pula yang seharusnya dapat mengangkat harkat dan martabat Indonesia. Namun, sayang seribu sayang Indonesia tidak memiliki daya tawar yang begitu kuat. Yang ada Indonesia berada di kotak permainan bukan sebagai pemain. Bahkan yang lebih parahnya, masyarakat tidak pernah disadarkan akan dampak negatif dari eksploitasi energi fosil yang berlebihan. Surga yang dahulu katanya tidak sulit ditemukan mungkin beberapa puluh tahun lagi, anak-cucu Indonesia sudah tidak bisa melihatnya. Indonesia yang baru berumur 71 tahun sudah kehilangan wajah ayunya. Bagaimana dengan seratus tahun lagi? Sulit tergambarkan jika Indonesia masih terbuai dengan potensi yang ada tetapi pada kenyataannya penyerapannya belum seimbang.
Selain itu, anak-cucu Indonesia hanya diwariskan jejak-jejak ulah para pendahulunya. Surga hanya tinggal sejarah dan cerita akan membuat mereka enggan untuk bangga dengan negaranya. Mereka hanya akan mendapatkan warisan berupa lingkungan yang bisa disebut rusak. Mereka tidak menemukan lagi di bagian mana Indonesia “Tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman”. Di perairan mana Indonesia “Ikan dan udang menghampiri” mereka. Di pulau Indonesia bagian mana yang tidak mengusik mereka yang katanya “Tiada badai tiada topan”. Hanya orang yang tidak pernah tahu dan tidak mau tahu yang menganggap bahwa eksploitasi bahan bakar fosil di dunia tidak berdampak buruk bagi kehidupan di bumi. Efek rumah kaca yang mengusik kenyamanan, kenaikan suhu bumi sudah menjadi bukti nyata, serta hujan asam, hutan yang rusak, perairan yang tercemar merupakan teguran untuk penduduk bumi. Sudah saatnya beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
“Jika terjatuh bangkitlah hingga kita berdiri dan terus berjuang dengan dungkul kita dan bahkan dengan merangkak sekalipun hingga darah tak mau lagi melekat di daging kita.”
Belum berakhir. Tentu semuanya belum berakhir. Masih ada tunas-tunas pemimpin yang memiliki kepintaran dan wawasan yang mengglobal. Namun, semua perlu diasah, dilatih, sebagai usaha pembiasaan. Terkadang dengan melihat dari layar itu belum cukup. Terkadang dengan mendengar itu tidak mendapatkan perubahan yang cukup berarti. Kita harus siap hadir di tengah-tengah mereka yang hanya mengenal siang. Pernahkah hidup seatap dengan mereka yang tidak mengenal kasur? Pernahkah duduk dan bercengkrama dengan mereka sembari menarik sehelai benang demi mengusir burung dari padi-padi hijau di sawah? Tinggal dan hidup bersama mereka merupakan salah satu cara pemimpin atau calon pemimpin untuk mengetahui kondisi bangsa yang sesungguhnya serta kebutuhan yang benar-benar mereka butuhkan. Proses ini juga bermanfaat bagi pertumbuhan empati pemimpin.
Inilah yang menjadi tantangan generasi penerus bangsa Indonesia kedepannya. Tidak lagi lepas tangan atas realita yang ada. Saatnya membangun dari bawah tak perlu menyalahkan mereka yang di atas sana. Mari mengambil bagian yang bisa kita lakukan. Ketahuilah masa mereka tidak akan lama lagi. Mereka sama saja seperti fosil yang ada, mereka akan punah. Dan kita para pemuda pemudi, tunas bangsa, harus siap menggantikan posisi mereka. Kitalah penerus bangsa, namun bukan meneruskan tradisi dan budaya perusak.
Sebagai generasi penerus bangsa, sudah seharusnya kita sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Tan Malaka, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”. Sindiran halus ini seharusnya bisa menjadi pendobrak semangat kaum muda masa kini dan kedepannya.
Tiap daerah punya potensinya masing-masing. Tidak mesti memaksakan energi fosil dibawa dari benua asing sedang di dalam rumah sendiri sudah tersedia. Saatnya merangkul para warga dan mengedukasi pengelolaan potensi yang dimiliki dengan metoda partisipasi dan bersama-sama melakukan pengembangan teknologi tepat guna baik untuk potensi yang ada maupun untuk limbah yang dihasilkan. Salah satu contoh yang paling mudah semisalnya di desa yang ditemui ada peternak sapi, alangkah baiknya jika mampu memanfaatkannya untuk kompor biogas. Selain itu kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk sedang urinenya bisa digunakan sebagai pestisida yang akan disemprotkan ke daun tanaman. Itu hanya salah satu contoh pemanfaatan potensi lokal dalam pengurangan bahan bakar fosil. Ini bisa menjadi bahan pemikiran awal para pemuda untuk memanfaatkan potensi yang sama untuk penerangan dan sumber listrik.
Oleh karena itu anak muda harus mampu menjawab tantangan Indonesia selama ini. Bukankah selama ini Indonesia juga krisis energi karena kebutuhan energi jauh lebih besar dibanding produksinya. Lebih mirisnya pengelolaan sektor energi belum dimaksimalkan. Karena potensi yang diumbar terlalu melebihi informasi yang seharusnya atau bahasa gaulnya “lebay”, akhirnya hingga saat ini Indonesia lebih memilih mengimpor bahan jadi ketimbang mengelolanya sendiri. Ini sifat buruk yang diwarisi para pendahulu dan tidak boleh diikuti.
Ingat, kaum muda tidak boleh lupa, PR pemuda, selain pemanfaatan sumber energi yang lebih ramah lingkungan juga teknologi tepat guna dan mudah digunakan oleh semua kalangan serta sesuai dengan daya dukung lokal. "Yang paling menyesakkan dari industri modern adalah bahwa dia menuntut terlalu banyak tetapi menghasilkan terlalu sedikit. Industri modern nampak begitu sangat tidak efisien sampai ke taraf yang tak bisa lagi dibayangkan oleh orang awam. Karena itu, ketidak-efisienannya luput dari perhatian. Kebijakan membutuhkan suatu orientasi baru tentang ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang organik, tidak mengandung kekerasan, anggun dan indah." (E.F. Schumacher, Kecil itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Sesuai dengan Rakyat, 1976).
Saatnya kaum muda bangkit dan keluar dari zona nyaman. Mengulurkan tangan sepenuh hati. Mengajak, merangkul, dan mempengaruhi pemuda lain untuk sama-sama terjun dan menciptakan sejarah baru. Karena kemajuan suatu negara berada di tangan pemudanya. Dan pemuda adalah pewaris tunggal bangsanya.

Selasa, 30 Agustus 2016

“Adu Semut”


Pasti beberapa dari kita terutama yang pernah melewati dan menikmati masa kecil akan tahu bagaimana caranya untuk mengadu semut. Iya, tepat sekali dengan merusak, mencabut, salah satu “kumis”, atau bahasa ilmiahnya sering disebut “antennae”, mereka. Terlihat sederhana tapi efeknya tidak bisa dianggap remeh. Bahkan cara tersebut sering digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk merusak hubungan suatu perkumpulan, persaudaraan, atau bahkkan dalam bernegara.

Jika dilihat dari tragedi yang sering diberitakan di dunia yang dewasa ini juga sedang terjadi “massive” di Indonesia merupakan efek “Adu Semut”. Yah, mungkin dipelajaran sejarah sering kita mendengar “Divide et Impera” yakni strategi untuk memecah belah dan menguasai. Caranya tidak jauh berbeda dengan “adu semut” yakni dengan merusak sebagian dari anggota organisasi, persaudaraan, atau bahkan dalam bernegara.

“Adu semut” ini memang sukar untuk ditemukan jalan keluarnya selama semua sisi tidak mau belajar menerima bahwa mereka sedang dimanfaatkan. Apalagi untuk mengantisipasinya karena kebanyakan manusia saat ini begitu mudah terbakar sehingga mata tidak mampu melihat bahwa mereka akan dimanfaatkan dan sedang berada di dalam perangkap permainan para penghancur yang  tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi setiap sisi saat ini memang sudah tidak mau lagi mengkritisi pihak mana yang bisa dipercaya dan pihak mana yang tidak bisa dipercaya, banyaknya kepentingan-kepentingan golongan atau bahkan kepentingan pribadi juga menjadi puncak semuanya.

Kepentingan pribadi atau golongan tertentu sudah menutup tujuan perkumpulan yakni kepentingan bersama, kesejahteraan bersama. “Negative Thinking” merusak persaudaraan, menjerat diri sendiri, dan parahnya menganggap semuanya adalah lawan. Padahal yang seharusnya dibangun adalah “Critical Thinking” yang membawa solusi bukan malah “Negative Thinking” yang menghambat semua proses atau bahkan memutus rantai persaudaraan.

Sebenarnya strategi tersebut, yang saya sebut sebagai “Adu Semut”, sudah terjadi ribuan tahun yang lalu, mungkin sekitar 300-an SM pada zaman Yunani Kuno. Sebuah strategi yang bertujuan untuk menguasai suatu wilayah dengan propaganda perpecahan. Di Indonesia sendiri sering terjadi dan yang paling nyata ialah ketika adanya pemberontakan. Entah itu pemberontakan oleh OPM, PMS, dan lain sebagainya. Itu adalah salah satu contoh pemberontakan yang ditunggangi yang berkepentingan guna untuk menguasai.

Secara tidak sadar, persatuan yang dahulu sudah diperjuangkan dengan darah para pejuang kini dirusak oleh penerusnya. Sudah seharusnya kita menyadari bahwa sesungguhnya pemberontakan tersebut adalah salah satu bentuk perlawanan yang mengakibatkan melemahnya pemerintahan. Kita juga harus mengetahui ketika pemerintahan melemah maka disaat seperti itulah para provokator, yang berniat menguasai negara dan kekayaan negara kita, tersenyum sembari duduk santai menikmati setuang kopi hangatnya.

Setelah itu satu persatu penerus bangsa ini bahkan yang di pemerintahan kita akan diperhamba. Sadarkah kita bahwa pasar telah mempengaruhi negara kita? Siapakah penguasa pasar dunia? Benarkan bangsa Indonesia? Jika memang bangsa Indonesia benarkan dia ialah titisan ibu pertiwi? Atau jangan-jangan hanya segolongan yang bertopeng dewa untuk menguasai kekayaan alam bangsa kita.

Prinsip yang terlalu kental dan semakin kental saat ini ialah begitu mudahnya menyalahkan orang lain. Tidak mengenal usia, dan tidak mengenal profesi. Ada banyak contoh perusakan seperti pengeboman di salah satu tempat, yang sisi dirugikan pasti akan berjuang untuk menghina oknum dan sisi yang dihina akan kembali menghina atau bahkan semakin menyalakan api yang ada. Pernahkah sadar untuk bertanya, “Apakah kita sedang dimanfaatkan, di “Adu semut”? Mengapa kita bisa diadu?”

Jangan pernah lupakan sedikitpun perjuangan dan persatuan para pendiri bangsa ini. Lihatlah betapa indah dan manisnya yang tertulis di kaki burung Garuda, “Bhineka Tunggal Ika”. Jangan pernah menutup mata atau bahkan sedetikpun untuk melupakannya, demi apapun! Atau benarkah seperti yang kata orang bilang bahwa tunas bangsa ini sudah kehilangan jatidirinya dan kehilangan idealismenya dalam bernegara? Saudaraku sebangsa, idealisme kita tidak boleh hilang. Jangankan hilang, sedetikpun pudar maka disaat itu penghancur akan mencoreng nama kita, nama Indonesia!

Biarlah idealisme itu mengakar di darah, di tulang, dan daging kita! Teriakkanlah semboyan “BERSATU KITA TEGUH BERCERAI KITA RUNTUH.” Dan ketahuilah bahwa pepatah tinggallah pepatah, semboyan tinggallah semboyan jika kita tidak menghidupinya di dalam keseharian kita.

Indonesia!

(Narashakti: http://narashakti.org/)

Senin, 27 Juni 2016

Integritas



“Mau belajar? Belajarlah dari teori-teori yang ada! Tapi ingat, integritas bukan sekedar teori,” Andrian Gostik & Dana Telford.

Ada banyak teori yang bertebaran mengenai integritas di era sekarang ini. Cukup dengan mengetik kata “integritas” di kolom fungsi pencarian dari telepon genggam atau “gadget” lainnya maka kita akan mendapatkan hasilnya. Namun, apakah masalahnya selesai? Tentu tidak. Integritas tidak semudah mengucapkan namun tidak sesulit yang ada dipikiran. Pilihannya hanya ada dua yakni mau atau tidak.

Sederhananya, integritas itu kesesuaian antara nilai-nilai yang ada, yang diucapkan, dengan tindakan. Tindakan di sini bukanlah tindakan ketika orang sekitar melihat. Karena di dalam (maaf) toilet pun integritas itu seharusnya berlaku. Sehingga penting disadari bahwa teori hanyalah tangga pertama untuk memahami sesuatu dalam hal ini integritas. Dan kedua ialah kesadaran akan pentingnya integritas, yang selanjutnya ada penanaman nilai-nilai integritas tersebut ke dalam diri. Terakhir dan yang paling penting ialah melakukannya.

Bagi seseorang yang sudah memiliki integritas itu maka dengan mudah ia berkata bahwa dia tidak lagi butuh sebuah teori, dia juga tidak butuh ketenaran, dia yakin bahwa integritas ialah jalan yang harus ditempuh. Jadi, tak ada yang perlu didefinisikan atau dipamerkan, cukup dijalani dengan sungguh-sungguh dan berkelanjutan.

Berbeda dengan lingkungan kita saat ini, sebut saja di negara Indonesia. Di Lingkungan kita sendiri integritas itu dianggap sebagai keset. Contohnya ialah ketika seorang anak sedang melaksanakan ujian. Anak itu punya pepatah bodoh dan diyakini oleh kebanyakan orang bahwa mencontek itu boleh asal tidak ketahuan. Sama saja dengan moto yang bernada serupa yakni mencuri itu tidak apa-apa asal tidak ada yang melihat. Miris ketika mendengar pernyataan itu. Integritas itu tidak berbicara tentang mata kawan! Melainkan hati! Camkan itu baik-baik di dalam hati kita masing-masing.

Integritas itu bukan tentang nilai seperti nilai 90 dari 100, melainkan tentang sikap dan perilaku. Integritas bukan hanya di organisasi, bukan pula di dunia pendidikan saja, bukan terkotak berlaku di pemerintahan, tetapi di segala aspek kehidupan, di kehidupan sehari-hari dan di segala tempat disepanjang waktu.

Integritas juga berlaku ketika kita berteman, ketika kita makan, ketika di lingkungan kerja, ketika di kamar, ketika di dalam angkutan umum. Ketika di jalan, pun ketika hidup bersama masyarakat apalagi ketika mengemban tugas sebagai wakil masyarakat yang katanya ingin mengembangkan potensi lokal demi mendukung terwujudnya salah dua cita-cita negara Indonesia yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub di Pembukaan UUD 1945.

Terakhir sebagai penutup, ketahuilah sesungguhnya seseorang yang telah mengetahui akan sesuatu yang baik dan bermanfaat tetapi tidak dilakukan merupakan salah satu bentuk atau ciri seseorang yang tidak memiliki integritas.