“Negara kita
pernah menjadi rebutan para penjajah tak lain karena melihat bahwa tanah dan
air di negara kita adalah titisan surga.”
Pernyataan di
atas merupakan pernyataan yang cukup mewakili bahwa sesungguhnya Indonesia
memiliki potensi SDA (Sumber Daya Alam) yang tidak semua negara memilikinya.
Ingin sekali menampilkan besarannya sebagai data-data pendukung tapi apa daya
dari sisi lain tidak ingin menampilkan apa yang bukan hasil sendiri. Tidak
ingin asal mencantumkan data-data yang sudah menjadi olahan pihak lain. Tidak
ingin karena tidak tahu darimana data itu didapatkan, dengan cara apa, dan
bagaimana validitas informasinya. Namun, para pembaca bisa dengan mudah
menemukannya dengan hanya mengetikkan “Potensi Energi di Indonesia” pada kolom
pencarian di “browser” yang ada di “gadget” pembaca. Tidak sulit pembaca untuk
menemukan banyak data yang disediakan di sana.
Setidaknya ada
berbagai sumber energi mulai dari yang tidak dapat diperbarui hingga yang dapat
diperbarui, semua potensi tersebut ada di negara Indonesia. Dari kehadiran
beberapa perusahaan besar di Indonesia cukup menjadi bukti bahwa data itu
sesuai kenyataannya meskipun besarannya tidak ada yang tahu keabsahannya.
Namun, meskipun Indonesia memiliki banyak potensi energi, hingga saat ini
sumber energi fosillah yang masih sering digunakan dengan berbagai alasan dan
pertimbangan.
Inilah sebuah
fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa serapan energi di Indonesia belum
seimbang sehingga pembangunan belum merata dan masih banyak dari warga Indonesia
yang berada di pelosok, yang tidak mudah dijangkau oleh sumber energi fosil,
belum merasakan potensi yang ada. Sebuah fakta yang miris padahal Indonesia
punya potensi lain yang cukup besar. Ini sungguh bukti nyata dari pepatah yang
pernah ada yang berbunyi “Ibarat tikus mati di tengah lumbung padi”.
Apa yang
membuat hal ini terjadi? Sebenarnya bukan para pembuat kebijakan tidak tahu
kondisi nyata Indonesia dewasa ini. Namun, kebanyakan dari mereka tidak terlalu
menitikberatkan dirinya pada dasar hidup bernegara sebagai pemangku kebijakan terutama
bernegara Indonesia yang jelas-jelas semua termaktub di Pembukaan UUD 1945,
Pancasila, dan pasal demi pasal yang tersurat di UUD 1945.
Hal ini sudah
diwarisi entah dari sejak kapan. Perilaku konsumtif yang tidak terlalu
memikirkan tetangganya dan masa depan anak-cucu kedepannya. Sesungguhnya
sesuatu yang tidak dapat diperbarui akan habis seiring berjalannya waktu. Di
lain sisi warisan yang tidak didapatkan masyarakat adalah kebanyakan masyarakat
tidak tercerdaskan bahwa Indonesia punya potensi lain baik energi baru maupun
energi terbarukan. Masyarakat masih terbuai akan nikmatnya energi fosil yang saat
ini dan masyarakat tidak sadar bahwa semua itu hanya menunggu waktu.
“Dulu negara
kita di atas awan, sekarang jauh di bawah bumi.”
Ada benarnya
dan memang kita tidak bisa berkata “tidak” bahwa Indonesia memiliki posisi
ternikmat dikarenakan SDA yang dimiliki. Hal itu pula yang seharusnya dapat mengangkat
harkat dan martabat Indonesia. Namun, sayang seribu sayang Indonesia tidak
memiliki daya tawar yang begitu kuat. Yang ada Indonesia berada di kotak
permainan bukan sebagai pemain. Bahkan yang lebih parahnya, masyarakat tidak
pernah disadarkan akan dampak negatif dari eksploitasi energi fosil yang
berlebihan. Surga yang dahulu katanya tidak sulit ditemukan mungkin beberapa
puluh tahun lagi, anak-cucu Indonesia sudah tidak bisa melihatnya. Indonesia
yang baru berumur 71 tahun sudah kehilangan wajah ayunya. Bagaimana dengan
seratus tahun lagi? Sulit tergambarkan jika Indonesia masih terbuai dengan
potensi yang ada tetapi pada kenyataannya penyerapannya belum seimbang.
Selain itu,
anak-cucu Indonesia hanya diwariskan jejak-jejak ulah para pendahulunya. Surga
hanya tinggal sejarah dan cerita akan membuat mereka enggan untuk bangga dengan
negaranya. Mereka hanya akan mendapatkan warisan berupa lingkungan yang bisa disebut
rusak. Mereka tidak menemukan lagi di bagian mana Indonesia “Tongkat kayu dan
batu bisa jadi tanaman”. Di perairan mana Indonesia “Ikan dan udang
menghampiri” mereka. Di pulau Indonesia bagian mana yang tidak mengusik mereka
yang katanya “Tiada badai tiada topan”. Hanya orang yang tidak pernah tahu dan
tidak mau tahu yang menganggap bahwa eksploitasi bahan bakar fosil di dunia
tidak berdampak buruk bagi kehidupan di bumi. Efek rumah kaca yang mengusik
kenyamanan, kenaikan suhu bumi sudah menjadi bukti nyata, serta hujan asam,
hutan yang rusak, perairan yang tercemar merupakan teguran untuk penduduk bumi.
Sudah saatnya beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
“Jika
terjatuh bangkitlah hingga kita berdiri dan terus berjuang dengan dungkul kita
dan bahkan dengan merangkak sekalipun hingga darah tak mau lagi melekat di
daging kita.”
Belum berakhir.
Tentu semuanya belum berakhir. Masih ada tunas-tunas pemimpin yang memiliki
kepintaran dan wawasan yang mengglobal. Namun, semua perlu diasah, dilatih, sebagai
usaha pembiasaan. Terkadang dengan melihat dari layar itu belum cukup.
Terkadang dengan mendengar itu tidak mendapatkan perubahan yang cukup berarti. Kita
harus siap hadir di tengah-tengah mereka yang hanya mengenal siang. Pernahkah
hidup seatap dengan mereka yang tidak mengenal kasur? Pernahkah duduk dan
bercengkrama dengan mereka sembari menarik sehelai benang demi mengusir burung
dari padi-padi hijau di sawah? Tinggal dan hidup bersama mereka merupakan salah
satu cara pemimpin atau calon pemimpin untuk mengetahui kondisi bangsa yang
sesungguhnya serta kebutuhan yang benar-benar mereka butuhkan. Proses ini juga
bermanfaat bagi pertumbuhan empati pemimpin.
Inilah yang
menjadi tantangan generasi penerus bangsa Indonesia kedepannya. Tidak lagi
lepas tangan atas realita yang ada. Saatnya membangun dari bawah tak perlu
menyalahkan mereka yang di atas sana. Mari mengambil bagian yang bisa kita
lakukan. Ketahuilah masa mereka tidak akan lama lagi. Mereka sama saja seperti
fosil yang ada, mereka akan punah. Dan kita para pemuda pemudi, tunas bangsa,
harus siap menggantikan posisi mereka. Kitalah penerus bangsa, namun bukan
meneruskan tradisi dan budaya perusak.
Sebagai
generasi penerus bangsa, sudah seharusnya kita sepakat dengan apa yang
dikatakan oleh Tan Malaka, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan
menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat
yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka
lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”. Sindiran halus ini
seharusnya bisa menjadi pendobrak semangat kaum muda masa kini dan kedepannya.
Tiap daerah
punya potensinya masing-masing. Tidak mesti memaksakan energi fosil dibawa dari
benua asing sedang di dalam rumah sendiri sudah tersedia. Saatnya merangkul
para warga dan mengedukasi pengelolaan potensi yang dimiliki dengan metoda
partisipasi dan bersama-sama melakukan pengembangan teknologi tepat guna baik
untuk potensi yang ada maupun untuk limbah yang dihasilkan. Salah satu contoh
yang paling mudah semisalnya di desa yang ditemui ada peternak sapi, alangkah
baiknya jika mampu memanfaatkannya untuk kompor biogas. Selain itu kotorannya
dapat digunakan sebagai pupuk sedang urinenya bisa digunakan sebagai pestisida
yang akan disemprotkan ke daun tanaman. Itu hanya salah satu contoh pemanfaatan
potensi lokal dalam pengurangan bahan bakar fosil. Ini bisa menjadi bahan
pemikiran awal para pemuda untuk memanfaatkan potensi yang sama untuk
penerangan dan sumber listrik.
Oleh karena itu
anak muda harus mampu menjawab tantangan Indonesia selama ini. Bukankah selama
ini Indonesia juga krisis energi karena kebutuhan energi jauh lebih besar
dibanding produksinya. Lebih mirisnya pengelolaan sektor energi belum
dimaksimalkan. Karena potensi yang diumbar terlalu melebihi informasi yang
seharusnya atau bahasa gaulnya “lebay”, akhirnya hingga saat ini Indonesia
lebih memilih mengimpor bahan jadi ketimbang mengelolanya sendiri. Ini sifat buruk
yang diwarisi para pendahulu dan tidak boleh diikuti.
Ingat, kaum
muda tidak boleh lupa, PR pemuda, selain pemanfaatan sumber energi yang lebih
ramah lingkungan juga teknologi tepat guna dan mudah digunakan oleh semua
kalangan serta sesuai dengan daya dukung lokal. "Yang
paling menyesakkan dari industri modern adalah bahwa dia menuntut terlalu
banyak tetapi menghasilkan terlalu sedikit. Industri modern nampak
begitu sangat tidak efisien sampai ke taraf yang tak bisa lagi dibayangkan oleh
orang awam. Karena itu, ketidak-efisienannya luput dari perhatian. Kebijakan
membutuhkan suatu orientasi baru tentang ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah
yang organik, tidak mengandung kekerasan, anggun dan indah." (E.F.
Schumacher, Kecil itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Sesuai
dengan Rakyat, 1976).
Saatnya kaum
muda bangkit dan keluar dari zona nyaman. Mengulurkan tangan sepenuh hati. Mengajak,
merangkul, dan mempengaruhi pemuda lain untuk sama-sama terjun dan menciptakan
sejarah baru. Karena kemajuan suatu negara berada di tangan pemudanya. Dan
pemuda adalah pewaris tunggal bangsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar