Rabu, 21 September 2016

Membangun Dari Desa



Salah satu tantangan utama bangsa Indonesia adalah melemahnya perekonomian bangsa. Hal ini dapat dilihat dari persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, serta ketergantungan baik keuangan, energi, dan bahkan pangan dari negara luar. Negara masih berjuang mencari titik temunya antara persoalan yang ada dengan jawaban yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Negara selama ini belum juga mampu memanfaatkan potensi yang ada di tanah air. Tidak hanya potensi sumber daya alam (SDA) bahkan sumber daya manusianya (SDM) belum mampu dirangkul. Selama hal ini belum teratasi selama itu pula Indonesia akan menghadapi persoalan yang sama atau bisa disebut berjalan di tempat.

Namun, harapan untuk menjawab persoalan tersebut masih ada. Harapan akan tidak ketergantungan lagi bahan pangan dengan pasokan yang datang dari hasil impor. Harapan akan pemerataan penyediaan energi. Tidak lagi bergantung pada hutang luar negeri, masyarakat mendapatkan jaminan kesehatan, hidup yang layak, serta kehidupan yang lebih mandiri.

Rakyat Sebagai Subjek
Jika menilik kembali salah satu komponen dari ideologi negara Indonesia yakni TRISAKTI, maka bangsa Indonesia akan tersadarkan kembali bahwa Indonesia harus mampu menjadikan rakyat sebagai basis ekonomi di negara ini. Rakyat harus menjadi pemegang dan pelaku utama kedaulatan dalam pengelolaan ekonomi negara.

Pemerintah sekarang sudah mulai melek akan persoalan yang dihadapi negara Indonesia selama ini tak lain ialah karena sering sekali masyarakat hanya dijadikan sebagai objek atau mangsa pasar. Dan pemerintahan sekarang telah memiliki visi membangun Indonesia dari pinggiran. Hal ini didukung dengan kerja yang sudah dapat dilihat dengan semakin banyaknya kementerian-kementerian yang melakukan program pengembangan desa dengan mendelegasikan relawan ke pelosok-pelosok negeri ini.

Selain itu, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga sudah mulai tergerak untuk mengambil peran dalam pembangunan bangsa ini serta mendukung visi yang melakukan pembangunan mulai dari pinggiran. Pergerakan bisnis dewasa ini juga melahirkan bisnis yang bergerak di bidang sosial atau social enterprise. Kesadaran ini menunjukkan bahwa rakyat sebagai pelaku utama merupakan kebutuhan bangsa saat ini.

Pudarnya Gotong Royong
Indonesia terkenal akan kekayaan alamnya. Namun alam yang dahulu indah, bersahabat, dan diduduki masyarakat lokal kini tidak lagi. Masyarakat telah kehilangan haknya. Ini terjadi karena kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini terkait ekonomi negara telah memisahkan masyarakat lokal dari pelaku ekonomi dan modal sosialnya bahkan secara tidak langsung telah menjadi proses pemiskinan.

Hutan, gunung, sawah, dan lautan yang dahulunya mampu dikelola oleh masyarakat lokal kini diambil alih oleh pemegang uang. Sehingga pengelolaan sumber daya alam lokal tidak lagi melekat dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak lagi punya waktu untuk melihat daerahnya sendiri. Masyarakat tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengenali potensi daerahnya. Apalagi untuk memanfaatkannya, masyarakat sudah jauh dari hal itu.

Masuk dan merajalelanya perusahaan-perusahaan yang hanya menjadikan rakyat sebagai pasar telah melahirkan tradisi dan budaya baru yang mengubah masyarakat memiliki identitas baru dan menanggalkan kebudayaan lokal. Lebih parahnya orientasi yang dulu sangat kental terkait kerjasama yakni gotong royong sebagai kearifan lokal telah bergeser menjadi orientasi materi, uang. Kearifan lokal, gotong royong, yang sebelumnya sangat kental sudah memudar. Terusiknya kearifan lokal menjadikan daerah tercemar seperti lahan yang habis dan rusak, air yang berkurang dan menjadi tidak layak minum, serta kesatuan masyarakat lokal yang luntur.

Pemuda Harus Mengambil Peran
Pemerintah juga semakin menyadari peran penting kehadiran pemuda bagi bangsa ini. Sehingga wajar program-program kementerian semakin banyak yang mendelegasikan para pemuda untuk menjadi relawan ke desa-desa. Program tersebut terlihat sepele saat ini namun jika dilihat dampaknya untuk waktu yang akan datang sangatlah menjanjikan. Kekuatan pemuda disuatu bangsa tidaklah diragukan lagi. Di Indonesia sendiri sudah terbukti bahwa pemuda mendapatkan posisi dan peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa ini.

Beberapa contohnya ialah peristiwa “Sumpah Pemuda”, peran pemuda dalam kemerdekaan, dan satu lagi peran pemuda yang tidak mungkin dilupakan adalah kejadian reformasi Indonesia pada tahun 1998. Beberapa kisah itu dicatat dalam sejarah Indonesia yang menyatakan bahwa pemuda Indonesia memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa Indonesia.

Penulis juga merupakan salah satu relawan dari program salah satu kementerian yakni program “Patriot Energi” yang diselenggarakan oleh Kementerian ESDM. Adapun tujuan dari program ini merupakan jawaban atas penantian daerah-daerah pinggiran bangsa ini yakni pemerataan energi hingga ke pelosok desa. Tujuan selanjutnya ialah pemanfaatan energi yang dimiliki untuk meningkatkan modal sosial. Selama ini yang terbiasa berlangsung adalah pemerintah hanya datang ke desa-desa sebagai formalitas dan sekedar melihat kemudian pulang pada hari yang sama.

Hadirnya para tunas bangsa, pemuda-pemudi bangsa Indonesia, yang turut mengambil peran dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia merupakan hal yang ditunggu-tunggu masyarakat pedesaan. Pemuda hadir untuk mengembalikan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam mereka sendiri. Pemuda juga memantik untuk menyalakan kembali kearifan lokal dengan menggiatkan kembali gotong royong. Pemuda juga berbagi pengetahuan terkait potensi daerah dan cara pemanfaatannya. Pemuda hadir dan tinggal untuk waktu yang cukup panjang sehingga benar-benar mampu merasakan apa yang dialami masyarakat pedesaan dan bersama-sama dengan masyarakat berjuang menjawab kebutuhan masyarakat desa.

Penulis yakin langkah kecil ini apabila dilakukan berkelanjutan dan “massive” dampaknya akan luar biasa. Indonesia akan mampu menjawab salah satu tantangan utama yang diutarakan sebelumnya. Masyarakat akan mampu menjaga alamnya dari kerusakan yang mengancam masyarakat. Mengembalikan peran masyarakat yang hilang sebagai pelaku utama perekonomian.

Sebagai penutup, pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat setempat dan mimpi membangun bangsa dari pinggiran harus didukung oleh semua pihak. Setiap kelas, golongan, status masyarakat apapun harus menyadari manfaat gerakan seperti ini. Mengembalikan rakyat sebagai subjek utama pembangunan bukan sekedar objek atau pasar. Dengan begitu tidak lama lagi salah dua cita-cita Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 akan terwujud yakni “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Selasa, 30 Agustus 2016

“Adu Semut”


Pasti beberapa dari kita terutama yang pernah melewati dan menikmati masa kecil akan tahu bagaimana caranya untuk mengadu semut. Iya, tepat sekali dengan merusak, mencabut, salah satu “kumis”, atau bahasa ilmiahnya sering disebut “antennae”, mereka. Terlihat sederhana tapi efeknya tidak bisa dianggap remeh. Bahkan cara tersebut sering digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk merusak hubungan suatu perkumpulan, persaudaraan, atau bahkkan dalam bernegara.

Jika dilihat dari tragedi yang sering diberitakan di dunia yang dewasa ini juga sedang terjadi “massive” di Indonesia merupakan efek “Adu Semut”. Yah, mungkin dipelajaran sejarah sering kita mendengar “Divide et Impera” yakni strategi untuk memecah belah dan menguasai. Caranya tidak jauh berbeda dengan “adu semut” yakni dengan merusak sebagian dari anggota organisasi, persaudaraan, atau bahkan dalam bernegara.

“Adu semut” ini memang sukar untuk ditemukan jalan keluarnya selama semua sisi tidak mau belajar menerima bahwa mereka sedang dimanfaatkan. Apalagi untuk mengantisipasinya karena kebanyakan manusia saat ini begitu mudah terbakar sehingga mata tidak mampu melihat bahwa mereka akan dimanfaatkan dan sedang berada di dalam perangkap permainan para penghancur yang  tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi setiap sisi saat ini memang sudah tidak mau lagi mengkritisi pihak mana yang bisa dipercaya dan pihak mana yang tidak bisa dipercaya, banyaknya kepentingan-kepentingan golongan atau bahkan kepentingan pribadi juga menjadi puncak semuanya.

Kepentingan pribadi atau golongan tertentu sudah menutup tujuan perkumpulan yakni kepentingan bersama, kesejahteraan bersama. “Negative Thinking” merusak persaudaraan, menjerat diri sendiri, dan parahnya menganggap semuanya adalah lawan. Padahal yang seharusnya dibangun adalah “Critical Thinking” yang membawa solusi bukan malah “Negative Thinking” yang menghambat semua proses atau bahkan memutus rantai persaudaraan.

Sebenarnya strategi tersebut, yang saya sebut sebagai “Adu Semut”, sudah terjadi ribuan tahun yang lalu, mungkin sekitar 300-an SM pada zaman Yunani Kuno. Sebuah strategi yang bertujuan untuk menguasai suatu wilayah dengan propaganda perpecahan. Di Indonesia sendiri sering terjadi dan yang paling nyata ialah ketika adanya pemberontakan. Entah itu pemberontakan oleh OPM, PMS, dan lain sebagainya. Itu adalah salah satu contoh pemberontakan yang ditunggangi yang berkepentingan guna untuk menguasai.

Secara tidak sadar, persatuan yang dahulu sudah diperjuangkan dengan darah para pejuang kini dirusak oleh penerusnya. Sudah seharusnya kita menyadari bahwa sesungguhnya pemberontakan tersebut adalah salah satu bentuk perlawanan yang mengakibatkan melemahnya pemerintahan. Kita juga harus mengetahui ketika pemerintahan melemah maka disaat seperti itulah para provokator, yang berniat menguasai negara dan kekayaan negara kita, tersenyum sembari duduk santai menikmati setuang kopi hangatnya.

Setelah itu satu persatu penerus bangsa ini bahkan yang di pemerintahan kita akan diperhamba. Sadarkah kita bahwa pasar telah mempengaruhi negara kita? Siapakah penguasa pasar dunia? Benarkan bangsa Indonesia? Jika memang bangsa Indonesia benarkan dia ialah titisan ibu pertiwi? Atau jangan-jangan hanya segolongan yang bertopeng dewa untuk menguasai kekayaan alam bangsa kita.

Prinsip yang terlalu kental dan semakin kental saat ini ialah begitu mudahnya menyalahkan orang lain. Tidak mengenal usia, dan tidak mengenal profesi. Ada banyak contoh perusakan seperti pengeboman di salah satu tempat, yang sisi dirugikan pasti akan berjuang untuk menghina oknum dan sisi yang dihina akan kembali menghina atau bahkan semakin menyalakan api yang ada. Pernahkah sadar untuk bertanya, “Apakah kita sedang dimanfaatkan, di “Adu semut”? Mengapa kita bisa diadu?”

Jangan pernah lupakan sedikitpun perjuangan dan persatuan para pendiri bangsa ini. Lihatlah betapa indah dan manisnya yang tertulis di kaki burung Garuda, “Bhineka Tunggal Ika”. Jangan pernah menutup mata atau bahkan sedetikpun untuk melupakannya, demi apapun! Atau benarkah seperti yang kata orang bilang bahwa tunas bangsa ini sudah kehilangan jatidirinya dan kehilangan idealismenya dalam bernegara? Saudaraku sebangsa, idealisme kita tidak boleh hilang. Jangankan hilang, sedetikpun pudar maka disaat itu penghancur akan mencoreng nama kita, nama Indonesia!

Biarlah idealisme itu mengakar di darah, di tulang, dan daging kita! Teriakkanlah semboyan “BERSATU KITA TEGUH BERCERAI KITA RUNTUH.” Dan ketahuilah bahwa pepatah tinggallah pepatah, semboyan tinggallah semboyan jika kita tidak menghidupinya di dalam keseharian kita.

Indonesia!

(Narashakti: http://narashakti.org/)

Selasa, 09 Agustus 2016

Kekuatan Menerima dan Melepaskan


“Karena akhir-akhir ini semakin banyak orang yang enggan menerima, semakin susah untuk memaafkan, semakin sulit untuk melepaskan, maka apa salahnya sedikit berbagi cerita yang barangkali bisa membantu. Terima kasih buat yang kemaren mengingatkan kembali kisah ini. Semoga dengan saling berbagi semakin banyak orang yang mendapatkan pelajaran dan menatap masa depannya.”
Ada sebuah kisah nyata tentang monyet dan kacang dalam toples. Konon para pemburu monyet di Afrika hanya menggunakan toples sempit yang diisi dengan kacang-kacang yang wangi, kesukaan monyet hutan Afrika, untuk menangkap monyet. Lalu toples-toples tersebut ditanam ke tanah dengan menyisakan mulut toples di permukaan tanah tanpa penutup. Biasanya para pemburu membuat jebakan pada sore hari dan besoknya para pemburu tinggal menangkap monyet-monyet yang tangannya masuk dalam perangkap.

Mungkin banyak orang yang bertanya mengapa bisa dan sebodoh itu. Ceritanya ialah monyet yang tertarik pada wewangian yang ada akan mencari dan mendekatinya dan kemudian memasukkan tangannya kedalam toples tersebut. Nah karena monyet-monyet tersebut biasanya harus mengepalkan tangannya untuk menggenggam kacang yang akan diambilnya maka akibat genggaman itulah tangannya tidak bisa ditarik keluar dari toples.

Dan sudah menjadi perilaku, ciri-ciri yang pasti dimiliki, monyet untuk mempertahankan apa yang ingin dimiliki apalagi kalau sudah digenggamannya. Monyet-monyet pun terkenal tidak akan pernah melepaskan genggaman tangannya tersebut. Bahkan monyet tersebut tidak akan pernah mengenal waktu sampai kacang itu berhasil dibawanya keluar.

Pada saat pemburu datang keesokan harinya, pemburu akan dengan mudah menangkapnya sebab si monyet tidak akan bisa bergerak jauh dari toples perangkap. Pemburu dengan mudah mengurung kepalanya atau bahkan menjerat kedua tangan dan kakinya agar tidak meronta.

Yah… Monyet itu terdengar bodoh dan wajar saja setiap pendengar atau pembaca merasa lebih pintar dan tertawa hingga terbahak-bahak. Jika benar begitu adanya, marilah kita alihkan tawa kita ke diri kita sendiri. Karena tanpa kita sadari, sering sekali, kita pun melakukan hal yang sama.

Kita sering sekali sukar melepaskan genggaman atas apa yang kita inginkan. Kita jarang sekali memahami lingkungan sekitar sehingga kita tidak dapat membaca bahwa kita sedang berada dalam masalah besar. Setiap permasalahan yang kita miliki selalu kita pelihara di dalam kepala kita, di dalam hati kita seperti cerita monyet di atas yang menggenggam kacang itu dengan ego dan nafsu. Kita bahkan sering menyimpan permasalahan yang ada hingga tak peduli waktu sudah pukul berapa.

Padahal begitu mudah cara untuk mengeluarkan tangan dari perangkap toples tersebut yaitu hanya dengan melepaskan genggaman yang ada. Hanya dengan sikap berbesar hati bahwa kacang hanyalah kacang yang bisa di dapatkan di tempat lain. Hanya dengan berlapang dada dan menenangkan diri serta menerima bahwa kacang itu harus dilepaskan.

Pun dengan setiap masalah yang kita miliki. Yang membuat kita terperangkap di dalamnya adalah diri kita sendiri, pikiran-pikiran kita sendiri. Padahal hanya dengan menerima sakit yang kita rasakan dan melepaskannya, untuk kesembuhan fisik dan jiwa, kita bisa keluar dari masalah yang ada; Untuk kebaikan di masa depan.

Mari kita ambil salah satu contoh yang sedang “booming” akhir-akhir ini yakni gagal “move on” dari mantan. Ada banyak orang begitu sukar untuk keluar dari masalah itu. Ada banyak orang tahu bahwa itu masalah namun tetap saja mereka tidak ingin melepaskannya. Padahal bisa saja mantan tersebut sudah tidak memikirkan kita atau bahkan sudah memiliki kekasih lain. Lalu sampai kapan kita harus memenjarakan pikiran kita yang sudah kita tahu tidak akan bisa kembali. Mengapa tidak berjalan dan menatap masa depan.

Atau ada juga beberapa orang yang begitu sukar untuk memaafkan orang yang menyakiti hatinya sehingga mereka-mereka yang disakiti sering memendam amarah yang membuat dirinya sendiri merugi. Benarkah orang yang menyakiti kita sedang memikirkan sakit yang kita rasa? Jika ya, mengapa dia menyakiti kita? Mungkin dia tidak memikirkan kita. Lantas masihkah kita mau tenggelam dalam dendam yang justru melukai dan semakin menyayat perasaan kita? Caranya mudah saja, terimalah bahwa kita memang sudah terluka dan disakiti namun jangan simpan dan jangan genggam rasa dendam yang ada jika kita masih ingin melihat masa depan.

Jumat, 08 Juli 2016

Menaklukkan Diri



Gbr. Dari Hutan Jayagiri Hingga Ke Cikole
 “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.” Atau kata pepatah, “Mulutmu Harimaumu.”

Terkadang aku menulis memang bukan untuk orang lain atau pembaca. Makanya banyak dari tulisanku hanya kutulis di secarik kertas lalu terbuang entah kemana. Baru akhir-akhir ini saja aku menulis dibuku lalu kusalin ke media sosial sebut saja “blog”. Tak lain ialah supaya aku selalu ingat bahwa apa yang ada di hatiku, saat aku menulis, tetap ada sebagai pengingat diriku, setidaknya tiap kali aku menghela nafas. Sedang kalau ada pembaca yang baik hati ingin membaca dan ingin berbagi pandangannya dari apa yang kutulis, maka dengan senang hati aku menanggapinya untuk perbaikan diriku kedepannya.

Adapun “Menaklukkan Diri” di sini ialah ujian untuk tulisan demi tulisan, entah tulisan yang terbuang ataupun sempat kusalin, yang pernah ada. Tentang “Kekuatan Mengenal Rasa”, tentang “Manusia Dewasa”, “Integritas”, dan tentang tulisan lainnya. Agar tulisanku tak sekedar tulisan yang berlalu bagai secarik kertas terbang ditelan waktu. Apalagi telingaku terlatih mendengar semboyan “Belajarlah dari Alam” sebab memang alam tidak pernah berbohong. Bagaimana diciptakan, begitu adanya. Apa yang dilihat mata itulah sesungguhnya. Apa yang didengar telinga itulah yang terjadi. Apa yang dirasakan hati itu pula yang tergambarkan di alam bebas. Sesungguhnya hanya manusia yang ada tidak seperti adanya.

Pada tulisan sebelumnya tentang “Menerima Tantangan” aku memaknainya sebagai jalan sebelum aku mampu menaklukkan diriku sendiri. Ketika aku menantang diriku, semesta menjawabnya dan aku menerima semuanya dengan senyuman. Mungkin semesta berkata bahwa hanya-sekedar tidur di alam itu mudah bagi siapapun. Sehingga tidak seorangpun ada yang “mau” menemaniku menjalani tantangan yang ada dalam rencanaku. Tak cukup sampai di situ, aku juga diberi pemanasan, pendahuluan, untuk menelusuri hutan belantara selama 3 (tiga) jam sebagai bahan tambahan untuk merefleksikan diriku lebih dalam. Karena semua bisa terjadi saat itu juga.

Kalau aku mundur, sebenarnya mudah saja. Tetapi bagaimana tentang “Integritas” yang pernah kutulis? Orang lain mungkin akan mengerti dengan kukatakan bahwa aku tidak punya teman sehingga aku tidak jadi berkelana di hutan Cikole. Padahal karena takut, mungkin. Sedang bagaimana pertanggungjawabannya kepada diriku? Karena hanya diriku yang tahu seberapa besar makna segala yang tertulis dan seberapa besar pembuktian untuk semuanya itu. Bisa saja aku mundur dan orang-orang menerimaku dengan biasa. Tetapi hatiku akan meronta bahwa apa yang kutulis hanyalah dusta belaka, hanyalah tentang teori dan tidak mampu kubuktikan, meskipun banyak dari tulisanku itu ialah pengalaman yang sudah kualami.

Aku tidak ingin hidup seperti orang mati. Atau orang hidup yang hanya bernafas tetapi tidak menghidupi nafasnya. Karena tulisan bagiku bukan sekedar tulisan, melainkan ungkapan nafas dan detak jantungku. Bagiku tulisanku hidup. Dan sesungguhnya seharusnya semua tulisan memang hidup dan melekat di sanubari setiap penulisnya.

Mungkin terlihat bodoh bagi beberapa orang. Tetapi aku sendiri tidak ingin main-main dengan setiap apa yang terlontar dari mulutku apalagi berupa tulisan, yang mungkin beberapa puluh tahun lagi orang lain membacanya, atau bahkan anak-cucuku jika memang hidupku sampai pada tahap itu. Aku juga ingat bahwa perjalananku dari jam 12 siang hari pertama hingga hari kedua pada jam yang sama aku ingin menjalaninya dengan berpuasa, sebagai bentuk penghormatan dan mendekatkan diri lebih jauh dengan alam dan pencipta.

Dalam keheningan, dalam ribuan rasa yang ada saat itu, dalam kegelapan, dalam kesendirian sebagai manusia. Ya, hanya ada aku manusia di situ pada malam itu. Malam dalam kesejukan, sebenarnya sangat dingin, aku menggigil. Hingga aku tak tahu kata apalagi yang ingin kutuliskan untuk menggambarkan malam itu. Aku tidak tidur hingga kudengar suara merdu Adzan Subuh. Kupejamkan mataku dan kuucapkan begitu pelan “ujianmu selesai, sahabatku.”

Bangun dari tidur, sekitar jam 6 pagi, setelah semua perlengkapan kubungkus rapi dan kumasukkan dalam tasku. Kupeluk diriku sendiri sembari berkata, “Engkau kunobatkan sebagai seseorang yang telah berhasil menaklukkan diri!”

Musuh terkuatku ada di dalam hati dan pikiranku!
Cikole, 8 Juli 2016