“Hahaha... Akhirnya aku harus melepaskan penatku dengan penat yang lebih mendalam. Menulis! Tunggu, beri aku semenit saja untuk melepaskan sepatu dan menghirup satu tarikan nafas yang cukup dalam. Oke aku, Siap!”
Tak pernah terpikirkan olehku untuk menginjakkan kaki demi
mencari sesuap nasi di kota besar ini. Rasanya lebih baik bagiku tinggal di
tempat yang masih banyak suara jangkrik dan nyanyian merdu burung-burung di
pohon kala aku butuh teman. Bukan! Bukan aku tak ingin hidup berdampingan
dengan manusia.
Hari ini ialah langkah awal aku membuktikan kalau tekadku
untuk tidak berperang demi bagian tubuhku yang hanya sejengkal ini dimulai.
Iya, setidaknya setahun kedepan aku akan tinggal di kota para bos besar ini
tapi bukan untuk urusan perut, melainkan panggilan untuk mengambil bagian
mengisi cawan kotor dengan setetes demi setetes air bersih-bening, semoga bisa.
Hmmm sebenarnya agak kikuk ketika berbicara tentang kota
besar kalau aku tak menyebut namanya, tapi okelah sebut saja namanya Jakarta,
setidaknya begitu kata orang-orang menyebut nama tempat itu.
Agak tidak sopan juga aku menghindari untuk hidup di kota
ini tanpa alasan yang jelas. Baiklah! Pertama aku bukanlah orang yang terlalu
suka dengan keramaian dan ketidaksabaran yang menggebu-gebu. Klakson di
mana-mana tanpa kenal waktu padahal bisa saja saat itu masih lampu merah.
Serobot sana-sini, yang diserobot mobil besar yang berada di jalurnya, sebut
saja transJakarta, yang menyerobot kendaraan yang sudah pasti bukan jalurnya.
Oh iya, salah satu yang paling kutakutin juga untuk tinggal
di kota ini adalah aku takut tua di jalan, haha. Semua orang sudah tahu betapa
nyatanya kemacetan di kota ini. Salah satu siasat orang-orang ialah dengan
mengorbankan tidurnya dengan bangun lebih awal, mungkin jam setengah lima atau
jam lima. Yah mungkin paling siang jam setengah enam atau semalas-malasnya jam
enam. Aku sendiri jam setengah lima sudah bangun, tadi pagi. Bukan menunjukkan
selama ini aku ingin tidur lebih lama dan bangun lebih siang. Yang pasti
bukanlah keinginanku bangun lebih awal dan pulang lebih malam, mungkin jam 8
atau 9 malam, demi menghindari kemacatan akibat kepadatan kota. Ah masih banyak
fakta yang membuatku tidak nyaman di tempat ini.
Baru saja, ketika tulisan ini kutulis di kepalaku, bukan di jidatku,
aku pulang dari daerah Jakarta Selatan menuju Jakarta Timur. Ada banyak yang
ingin kutuliskan hanya dengan melihat 2 jam kondisi malam kota ini. Namun, satu
yang tak mungkin tak ingin kutulis yaitu tentang wanita bergincu di pinggiran
jalan.
Hehe, ingin sesekali berbicara dengan mereka, tapi ingin
juga tidak. Tapi aku penasaran, apa yang ada di benak mereka ketika mereka
pertama kali mengoleskan gincu ke bibir mereka lalu mengatur gaya mereka.
Tapi
aku juga tidak ingin turun dari mobil tumpanganku, sebutlah metro mini, memang
begitu adanya, lalu disebut sebagai pahlawan kost-kostan. Tapi memang aku
tertarik setidaknya untuk menghargai mereka bukan penghinaan kepada pekerjaan
mereka, setidaknya makan bersama di amperan sembari bercerita sana-sini tentang
kota yang menuntut mereka bermain mata.
Sekali lagi, aku juga tak ingin menjadi malaikat yang turun
dari bajaj lalu menghukum dengan tidak jelas. Aku hanya ingin mendengar dan
belajar dari perspektif pekerja “bebas” seperti mereka. Ah tapi itu masih jauh
dari keberanianku, mungkin nanti atau tahun depan. Aku butuh udara segar agar
bisa berbicara lebih tidak kaku dengan mereka nantinya.
Oke, cukup sampai di sini dulu, ingat. Pembaca tak perlu
ikut berpusing-pusing. Ini pergumulanku yang sekarang belum punya atau tidak
punya tempat mencurahkan isi hati daripada dipendam menjadi bisul. Kalau bisa,
biarkan ini menjadi rahasia diantara kita. Tidak perlu diumbar, tapi untuk
didiskusikan, mari kita diskusikan di wadah ini. Terutama mengapa judulnya
begitu sadis, padahal tidak ada yang dibunuh di dalam ceritanya, tampaknya sih
begitu, maka perlu kita menyamakan persepsi kita, hehe. Sekian terima kasih.
Jakarta, 18 April 2016.
Rico Ricardo Lumban Gaol