Hewan tetaplah hewan. Ia tak peduli siapa dan dimana, selama kehidupannya terganggu selama itu ia meraung. Dilema bagai buah simalakama hanyalah milik insan, manusia, biasa.
Menurut kisahnya bahwa gajah di Kalimantan Utara yang disebut
sebagai “Nenek” oleh orang lokal sangat sering masuk desa. Masyarakat sangat
terganggu dengan kehadiran gajah tersebut. Dikatakan bahwa kedatangan Nenek
biasanya di bulan-bulan kering. Nenek akan datang dari hulu desa dan
menjelajahi desa hingga ke hilir. Nenek akan menyebrangi sungai-sungai yang
kering sembari mencari makanan. Tak sedikit masyarakat yang dirugikan dengan
kondisi ini, terutama mental warga lokal.
Meskipun akhir-akhir ini Nenek sudah tidak pernah seberang
ke desa yakni semenjak tahun 2013. Namun, masyarakat tetap waspada akan
kedatangannya. Apalagi kalau sudah mendengar bahwa di hulu desa ditemukan jejak
kakinya. Sungguh mental masyarakat akan terganggu bahkan sampai sukar untuk
tidur. Sebab memang kedatangan Nenek tersebut sangat tidak terduga, tidak
terasa langkahnya.
Syukurlah dahulu masih banyak dari masyarakat setempat tahu
dan sadar bahwa gajah pun makhluk hidup dan mereka butuh makan untuk hidup.
Namun, saat ini kondisi berbeda. Lingkungan mereka telah terusik baik keamanan
gajah maupun masyarakat setempat. Mengapa? Tak lain dikarenakan beberapa
perusahaan mulai bermasukan seperti perusahaan sawit, akasia, tambang, dan
lainnya menguasai daerah mereka.
Dari beberapa kali terakhir gajah masuk ke desa, tak lagi
sekedar lewat, gajah itu masuk dan memorakporandakan pedesaan. Warga hampir
tidak bisa dan tidak tahu harus berbuat apa-apa. Apalagi mereka juga tahu bahwa
membunuh gajah, hewan lindung, merupakan bentuk pelanggaran terhadap
undang-undang yang berlaku di negara ini, Indonesia.
Ironis mendengar cerita itu. Warga lokal yang sangat menjaga
alamnya, mereka terkena dampaknya karena perbuatan dan keserakahan pendatang.
Kini yang terjadi para kaum beruang, berduit, semakin merajalela mengusik
kehidupan yang ada di sana. Rumah kenyamanan gajah terusik, gajah mengusik
perumahan desa, sedang masyarakat setempat hanya bisa duduk dalam diam karena
dilema. Sering mereka melaporkan kejadian itu ke pemerintah setempat bahkan ke
salah satu organisasi pemerhati lingkungan. Namun, tanggapannya negatif. Tidak
ada respon, begitu kata mereka.
Terkadang mendengar cerita mereka, timbul pertanyaan tebersit
di kepala entah sampai kapan mereka sabar dengan kondisi itu? Semoga saja
sampai masalah itu tertangani. Entahlah. Namun, sudah selayaknya ada solusi
dari mereka-mereka yang menganggap bahwa hewan itu harus dilindungi.
Pernah juga ketua adat berkata “Membunuh atau Diinjak” tidak
ada bedanya, saking seringnya merasa terganggu oleh kehadiran gajah ke desa.
Mungkin mereka tinggal menunggu. Entah menunggu tindak lanjut dari yang
berwenang agar kedua hal itu terjadi atau memang menunggu tiba waktunya salah
satu dari kedua pilihan itu terjadi. Pastinya kedua pilihan itu tidaklah mudah
bagi mereka.
Terkadang miris mendengar cerita mereka ketika banyakd ari
pemerhati hewan lindung berkata #SaveGajah #SaveHewanLindung. Namun tidak
berkata #SaveHuman. Padahal kedua-duanya sama-sama objek yang menjadi korban
atas keserakahan orang-orang berduit, sebutlah pengusaha lahan sawit dan
perusahaan lainnya.
Lantas sudah adakah kebijakan yang benar-benar bijak untuk
hal itu, untuk mereka yang terganggu? Sudah adakah kebijakan yang layak bagi
mereka para pengusaha? Entah ada atau tidak adanya pengusaha si gajah tetap
masuk desa, yang pasti kehadiran mereka menjadi katalis keresahan gajah dan
masyarakat setempat. Hal ini harus sesegera mungkin ditindaklanjuti.
#SaveGajah #saveHuman #SaveVillage
Pasti ada pilihan terbaik selain “Diinjak” atau “Membunuh”.
Hilir desa, Desa Sekikilan, Kalimantan Utara.