Pasti beberapa dari kita terutama yang pernah melewati dan menikmati masa kecil akan tahu bagaimana caranya untuk mengadu semut. Iya, tepat sekali dengan merusak, mencabut, salah satu “kumis”, atau bahasa ilmiahnya sering disebut “antennae”, mereka. Terlihat sederhana tapi efeknya tidak bisa dianggap remeh. Bahkan cara tersebut sering digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk merusak hubungan suatu perkumpulan, persaudaraan, atau bahkkan dalam bernegara.
Jika
dilihat dari tragedi yang sering diberitakan di dunia yang dewasa ini juga sedang
terjadi “massive” di Indonesia merupakan efek “Adu Semut”. Yah, mungkin
dipelajaran sejarah sering kita mendengar “Divide et Impera” yakni strategi
untuk memecah belah dan menguasai. Caranya tidak jauh berbeda dengan “adu semut”
yakni dengan merusak sebagian dari anggota organisasi, persaudaraan, atau bahkan
dalam bernegara.
“Adu
semut” ini memang sukar untuk ditemukan jalan keluarnya selama semua sisi tidak
mau belajar menerima bahwa mereka sedang dimanfaatkan. Apalagi untuk
mengantisipasinya karena kebanyakan manusia saat ini begitu mudah terbakar
sehingga mata tidak mampu melihat bahwa mereka akan dimanfaatkan dan sedang
berada di dalam perangkap permainan para penghancur yang tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi setiap
sisi saat ini memang sudah tidak mau lagi mengkritisi pihak mana yang bisa
dipercaya dan pihak mana yang tidak bisa dipercaya, banyaknya
kepentingan-kepentingan golongan atau bahkan kepentingan pribadi juga menjadi puncak
semuanya.
Kepentingan
pribadi atau golongan tertentu sudah menutup tujuan perkumpulan yakni
kepentingan bersama, kesejahteraan bersama. “Negative Thinking” merusak
persaudaraan, menjerat diri sendiri, dan parahnya menganggap semuanya adalah
lawan. Padahal yang seharusnya dibangun adalah “Critical Thinking” yang membawa
solusi bukan malah “Negative Thinking” yang menghambat semua proses atau bahkan
memutus rantai persaudaraan.
Sebenarnya
strategi tersebut, yang saya sebut sebagai “Adu Semut”, sudah terjadi ribuan
tahun yang lalu, mungkin sekitar 300-an SM pada zaman Yunani Kuno. Sebuah
strategi yang bertujuan untuk menguasai suatu wilayah dengan propaganda
perpecahan. Di Indonesia sendiri sering terjadi dan yang paling nyata ialah
ketika adanya pemberontakan. Entah itu pemberontakan oleh OPM, PMS, dan lain
sebagainya. Itu adalah salah satu contoh pemberontakan yang ditunggangi yang
berkepentingan guna untuk menguasai.
Secara
tidak sadar, persatuan yang dahulu sudah diperjuangkan dengan darah para pejuang
kini dirusak oleh penerusnya. Sudah seharusnya kita menyadari bahwa
sesungguhnya pemberontakan tersebut adalah salah satu bentuk perlawanan yang
mengakibatkan melemahnya pemerintahan. Kita juga harus mengetahui ketika
pemerintahan melemah maka disaat seperti itulah para provokator, yang berniat
menguasai negara dan kekayaan negara kita, tersenyum sembari duduk santai
menikmati setuang kopi hangatnya.
Setelah
itu satu persatu penerus bangsa ini bahkan yang di pemerintahan kita akan
diperhamba. Sadarkah kita bahwa pasar telah mempengaruhi negara kita? Siapakah
penguasa pasar dunia? Benarkan bangsa Indonesia? Jika memang bangsa Indonesia
benarkan dia ialah titisan ibu pertiwi? Atau jangan-jangan hanya segolongan yang
bertopeng dewa untuk menguasai kekayaan alam bangsa kita.
Prinsip
yang terlalu kental dan semakin kental saat ini ialah begitu mudahnya
menyalahkan orang lain. Tidak mengenal usia, dan tidak mengenal profesi. Ada
banyak contoh perusakan seperti pengeboman di salah satu tempat, yang sisi
dirugikan pasti akan berjuang untuk menghina oknum dan sisi yang dihina akan
kembali menghina atau bahkan semakin menyalakan api yang ada. Pernahkah sadar
untuk bertanya, “Apakah kita sedang dimanfaatkan, di “Adu semut”? Mengapa kita
bisa diadu?”
Jangan
pernah lupakan sedikitpun perjuangan dan persatuan para pendiri bangsa ini.
Lihatlah betapa indah dan manisnya yang tertulis di kaki burung Garuda,
“Bhineka Tunggal Ika”. Jangan pernah menutup mata atau bahkan sedetikpun untuk
melupakannya, demi apapun! Atau benarkah seperti yang kata orang bilang bahwa
tunas bangsa ini sudah kehilangan jatidirinya dan kehilangan idealismenya dalam
bernegara? Saudaraku sebangsa, idealisme kita tidak boleh hilang. Jangankan
hilang, sedetikpun pudar maka disaat itu penghancur akan mencoreng nama kita,
nama Indonesia!
Biarlah
idealisme itu mengakar di darah, di tulang, dan daging kita! Teriakkanlah semboyan
“BERSATU KITA TEGUH BERCERAI KITA RUNTUH.” Dan ketahuilah bahwa pepatah
tinggallah pepatah, semboyan tinggallah semboyan jika kita tidak menghidupinya
di dalam keseharian kita.
Indonesia!
(Narashakti: http://narashakti.org/)