Aku
Bangga Keragaman Bangsa Indonesia
Tapi
PERSATUAN Itu Harus
Sontak berpikir, “Apakah
bangsa yang besar, bangsa yang maju, bangsa yang kaya, yang sejahtera, dan
berperikemanusiaan tidak pernah jatuh dan merasakan sakit? Sekalipun bangsa
yang hanya ada dalam angan tetap merasakan tantangannya sendiri. Dan rasa sakit
itu yang menjadi awal pemersatu bangsa Indonesia.”
Membaca sejarah dari
berbagai sumber dan mencoba menempatkan diri sebagai pribadi yang menjadi
pelaku utama. Mencoba masuk ke alam pikiran dan perasaan mereka para pejuang.
Meskipun aku tak jua mampu mengerti seutuhnya, setidaknya aku merasakan getaran
denyut nadi yang lama-kelamaan berhenti dari setiap pejuang yang pergi,
ketakutan yang disembunyikan dalam langkah yang tegap dan mengangkat senjata,
nafsu pemuda yang membara mendesak dan mempengaruhi satu sama lainnya, petuah
lembut para pendahulu, apalagi semangat untuk memperjuangkan kesatuan yang
dilontarkan di depan para patriot bumi pertiwi. Perjuangan yang selalu mencari
jalan baik di antara jalan terbaik menurut beberapa ego. Semuanya masuk dalam
satu impian yaitu kemerdekaan, dan kemerdekaan hanya dapat diraih (pun
dipertahankan) jika persatuan ada dan hidup rukun.
Atau adakah yang tidak setuju bahwa tujuan yang sama pada saat itu yakni kemerdekaan?
Saat Bung Hatta memikirkan
pembentukan sistem negara (konsepsi negara) berdasarkan pada otonomi daerah dan
juga atas pertimbangan golongan yang ada di wilayah bagian tersebut, justru
Soekarno melihatnya harus bersatu. Bersatu bukan berarti yang golongan Nasionalis
berubah menjadi paham Agamais atau Komunis, bukan juga meminta yang Komunis
berubah menjadi paham Nasionalis atau Agamais. Persatuan tidak bisa dipandang
semudah itu, pada jaman dimana ego dan rasa takut meluap dan mendidih.
Soekarno dengan lantang
mengatakan bahwa basis dari kemerdekaan ialah persatuan, persatuan atas
kesamaan merasakan penderitaan. Berjuang bersama untuk lepas dari cengkraman
para penjajah. Maka atas dasar senasib seperjuangan itulah Indonesia ada. Pada
Kongres Pemuda 1928, yang akhirnya disebut sebagai Sumpah Pemuda, Soekarno
menutup pidatonya dengan kalimat, “Perangilah pengaruh bercerai-berai dan
majulah terus ke arah Indonesia bersatu yang kita cintai.”
Apakah ego golongan bisa mempertahankan kemerdekaan atau menghadirkan petaka dan perpecahan?
Pada kisah yang tertulis
dalam sejarah tentang “Maklumat X” oleh Hatta dan Syahrir terkait memberikan
peluang bagi bangsa untuk mendirikan banyak partai di Indonesia. Hasilnya? Partai-partai
politik saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat. Para wakil partai
yang yang duduk dalam pemerintahan pun lebih condong bersikap sebagai orang
partai daripada bersikap sebagai negarawan. Dan kebanyakan orang partai yang
partainya sedang berkuasa, dengan kekuasaan di tangannya mengambil sikap lebih
mementingkan politik serta aspirasi partainya daripada kepentingan pembangunan
bangsa dan negara. Hal-hal tersebutlah yang mendorong Bung Hatta mengambil keputusan
untuk meletakkan jabatan.
Sekarang? Tak hanya partai
yang saling sikut, bahkan golongan Agama semakin mencuat untuk diperhatikan dan
bahkan ingin menguasai. Ditambah lagi organisasi non-pemerintah yang menambah
kericuhan di lapangan, mengotori makna persatuan dan berselimut di balik “Menyejahterahkan
Masyarakat”. Terlebih golongan yang disetir berbagai pihak baik oleh anak
bangsa pemilik modal maupun oleh negara asing yang dengan sengaja ingin
merobohkan perjuangan terdahulu.
Persatuan kini sedang
dipertanyakan oleh kebanyakan orang bukan hanya melalui lisan bahkan telah
merasuk hingga perubahan prilaku yang mementingkan golongan tertentu. Siapa
yang bisa meredakan api yang menyala, siapa yang mampu menahan gelombang laut,
siapa yang kuat meredam bumi yang gempa?
Jika benar tujuan kita
sama pada saat ini dan kedepannya ialah mempertahankan kemerdekaan maka kita
patut mengevaluasi diri apakah sungguh kita telah berjuang mempertahankan
persatuan bangsa ini? Jika ya, maka marilah mengamalkan PANCASILA dengan
sungguh-sungguh. Jika kita mengatakan Pancasila sangat tidak pantas di
Indonesia, pertanyaannya kapan kamu tahu rasa singkong itu asin, pedas, atau
manis sebelum kamu sungguh merasakannya. Jangan pernah mengutak-atik persatuan
bangsa Indonesia demi secuil kepentingan golongan, karena terlalu besar nilai
persatuan bangsa Indonesia dicoreng oleh kepentingan golongan tertentu.
Jika ingin menunjukkan
sebuah dedikasi yang berarti bagi persatuan dan cita-cita bangsa Indonesia,
maka tunjukkanlah dengan gagah dan berani tanpa menjelek-jelekkan golongan
lain.
Memaknai hari buruh dan hari pendidikan
Berau, 1-2 Mei 2017
Rico Ricardo Lumban Gaol